GUNTUR KADARUSMAN
Lahir: Pamekasan, Jawa Timur, 27 Juni 1968
Istri: Idawati
Pendidikan:
- SDN 1 Bagandan, Pamekasan
- SMPN 1 Gorang Gareng, Magetan
- SMAN 1 Gorang Gareng, Magetan
- SGPLB Surabaya
Penghargaan:
- Juara I Guru Berdedikasi Kabupaten Madiun, Jawa Timur, 2013
- Juara I Guru Berdedikasi Provinsi Jawa timur, 2013
Dunia kerja di sektor formal yang tak memberikan banyak peluang bagi anak berkebutuhan khusus membuat Guntur Kadarusman prihatin. Ia bertekad menularkan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan kepada anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka mampu mengukir masa depannya sendiri.
OLEH RUNIK SRI ASTUTI
Hari menjelang siang ketika kami bertemu guntur (45) di tempatnya mengajar, Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Wanita di Desa Jiwan, Kecamatan Jiwan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Dengan santun dan ramah, dia menyapa tamu.
Di ruang kelas yang kosong, kami mengobrol. Perbincangan mengalir meski ditingkahi suara keras murid-murid yang tengah belajar menyanyi dan bermain musik di kelas sebelah.
"Mengajar anak-anak berkebutuhan khusus tak pernah membosankan. Sebaliknya, setiap hari penuh kejutan karena ada saja tingkah mereka yang membuat kita tersenyum," ujarnya.
Guntur seperti umumnya guru yang bekerja dan mengharap gaji untuk bekal menapaki kehidupan. Bahkan, motivasinya memilih belajar di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa di Surabaya pun dilandasi keinginan mendapatkan lapangan pekerjaan.
Dasar pemikirannya sederhana. Guru sekolah umum pasti banyak peminat sehingga persaingannya ketat.Menjadi guru SLB relatif kurang peminat sehingga kesempatan berkarier lebih terbuka.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, makin sering berinteraksi dengan anak-anak luar biasa, ia makin jatuh hati. Tak sekadar menularkan ilmu akademik, guntur pun tergerak memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi penyandang tunarungu, autis, dan tunagrahita.
Keinginan itu memuncak saat dia memperhatikan murid-murid yang lulus sekolah. Dari tahun ke tahun tak banyak lulusan SLB yang bisa bekerja di sektor formal. Ini sekalipun para guru telah berupaya keras mencarikan mereka pekerjaan, bahkan mendampingi saat seleksi.
"Padahal, pihak sekolah sudah kerja sama dengan sejumlah perusahaan. Tetapi, yang diterima itu 1:100, artinya dari 100 anak yang lulus, hanya satu yang bekerja di perusahaan," katanya.
Hati guru mana yang tidak pilu melihat murid-muridnya menganggur. Kalaupun bekerja, mereka menjadi buruh tani dan kuli bangunan. Pekerjaan itu tak setara dengan pendidikan yang telah mereka jalani.
Apalagi mengingat perjuangan anak-anak untuk bersekolah menengah atas. Hampir semuanya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Orangtua mereka membantung tulang demi memenuhi biaya mereka.
Semakin gelisah
Guntur kerap bertanya sendiri mengapa pemerintah tak menyediakan sekolah kejuruan untuk anak-anak luar biasa? Mereka juga membutuhkan pendidikan keterampilan seperti anak-anak biasa.
Ia tak jua menemukan jawaban walaupun telah bertahun-tahun menjadi pengajar di SLB. Sebaliknya, Guntur semakin gelisah melihat masa depan murid yang makin suram. Mereka tak mampu melanjutkan pendidikan tinggi karena ekonomi orangtuanya terbatas.
Dari kegelisahan itu, Guntur lalu mengjari para murid berwirausaha, mulai dari beternak ayam kampung, beternak lele, hingga budidaya hortikultura. Ternyata usaha itu terlalu rumit bagi anak berkebutuhan khusus.
Suatu ketika, Guntur bertemu dengan petani jamur tiram di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Setelah melihat proses budidayanya, dia merasa usaha ini cocok untuk mereka. Selain perawatannya mudah, nilai ekonomisnya tinggi.
Petani itu kemudian datang ke sekolah agar siswa dapat menyerap ilmunya secara langsung. Apalagi anak berkebutuhan khusus lebih suka ilmu terapan dibandingkan teori. Guntur lalu membangun laboratorium jamur tiram mini di sekolah sebagai tempat praktik. Sekitar 300 baglog sebagai media tumbuh bibit jamur tiram ditata di rak.
Baglog siap tumbuh banyak dipasarkan. Ini memudahkan anak berkebutuhan khusus membudidayakan jamur tiram. Baglog berisi campuran serbuk kayu, bekatul halus, kalsium, dan glukosa. Pemeliharaannya sederhana. Mereka tinggal menyiram bagian bawahnya agar pertumbuhan jamur lebih maksimal.
Selain perawatan yang mudah, pemasaran jamur tiram pun relatif tak terkendala. Banyak pedagang yang membeli jamur tiram dari rumah-rumah pembudidaya. Industri rumah tangga di Madiun juga mau menyerap jamur tiram. Mereka mengolahnya menjadi aneka makanan, seperti keripik jamur, pepes jamur, botok jamur, sop jamur, dan oseng jamur.
Harga di tingkat petani cukup kompetitif, sekitar Rp 10.000 per kilogram. Jamur ini bisa dipanen setiap hari selama 3-4 bulan. Sebagai gambaran, setiap 2.000 baglog bisa menghasilkan 10-15 kilogram jamur.'
Kendala
"Kalaupun harga turun, biasanya masih sekitar Rp 9.000per kilogram. Harga itu tergolong ekonomis karena memberi margin yang cukup untuk petani. Mereka tidak sampai merugi," kata Guntur.
Sebagai gambaran, petani harus membudidayakan minimal 2.000 baglog. Jika membeli jadi, harganya Rp 2.500 per baglog atau butuh modal Rp 5 juta. dengan asumsi per hari menghasilkan 8-10 kilogram dan harga jual Rp 10.000, pendapatan kotor petani selama empat bulan Rp 12 juta-Rp 15 juta.
Singkat cerita, pendapatan bersih petani per bulan Rp 1 juta-Rp 2juta. Angka penghasilan tersebut melebihi upah buruh tani yang besarnya sekitar Rp 600.000 per bulan. Apalagi kalau mereka hanya mengandalkan diri dari bantuan langsung tunai masyarakat yang disalurkan pemerintah sebesar Rp 150.000 per bulan.
Mudahnya pemeliharaan jamur tiram membuat petani bisa bekerja sambilan, seperti menjadi buruh tani di sawah atau kuli bangunan. Petani jamur juga berpeluang menciptakan industri makanan olahan berbahan baku jamur.
Namun, di balik keberhasilannya menciptakan lapangan kerja bagi anak berkebutuhan khusus, ada kegelisahan yang menyelimuti Guntur. ganjalan itu adalah permodalan. "Sebab, modal jadi syarat wajib untuk memulai usaha bagi siswa kelak."
Namun, mengingat kemampuan mereka terbatas, akan sulit untuk mengakses pinjaman keuangan di bank. Dengan mudah pihak bank akan menyatakan mereka sebagai pihak yang tak memenuhi kriteria sebagai kreditor perbankan.
"Kami berharap ada pihak, baik pemerintah maupun perusahaan swasta, yang bersedia membantu permodalan anak-anak berkebutuhan khusus. Tentunya bantuan itu disertai dengan beragam kemudahan," ucapnya.
Atas perhatiannya terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, Guntur mendapat penghargaan sebagai guru berdedikasi. Tak hanya di tingkat Kabupaten Madiun, dia juga menjadi juara pertama untuk tingkat Provinsi Jawa Timur tahun 2013.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 12 JULI 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar