TEUKU FAISAL FATHANI
Lahir: Banda Aceh, 26 Mei 1975
Pekerjaan:
Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM
Istri: dr Mora Claramita, MPHE, PhD (38)
Anak:
- Cut Karina Fathani (9)
- Cut Farrah Fathani (5)
- Teuku Alamsyah Prawira Fathani (2)
Pendidikan: PhD dari Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang
Hujan lebat berhari-hari mengguyur kawasan rawan longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, sekitar November 2007. Lalu terdengar sirene meraung-raung yang menandakan bahaya segera datang. Dengan komando beberapa warga desa yang terlatih, puluhan orang segera meninggalkan rumah, mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sekitar empat jam kemudian, longsor besar melanda, melumat banyak rumah yang baru ditinggalkan penghuninya. Warga pun bersyukur. Berkat alat pendeteksi dini longsor yang dipasang di kawasan itu, mereka selamat.
OLEH M FAJAR MARTA
Teuku Faisal Fathani (38) tak kalah bersyukur. Alat pemantau dan pendeteksi dini bencana longsor yang ia ciptakan bermanfaat bagi masyarakat. Sejak itu ia makin bersemangat mengembangkan alat pendeteksi longsor dan bencana lainnya.
Hingga kini, berbagai alat deteksi dini longsor telah ia ciptakan, dari generasi pertama yang sederhana dan dipantau manual, generasi kedua dengan pencatatan data digital, hingga generasi ketiga berupa real-time monitoring berbasis sistem telemetri. Alat-alat itu dia namakan Gadjah Mada-EarlyWarning System (GAMA-EWS).
"Saya berusaha menumbuhkan kepekaan dan empati, yang memotivasi diri untuk bekerja total guna mengurangi risiko bencana," kata Lektor Kepala Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Tak sekadar berfungsi melindungi masyarakat dari bencana longsor, GAMA-EWS juga dirancang untuk memberdayakan warga setempat dalam memitigasi bencana alam. Oleh karena itulah GAMA-EWS bisa digolongkan sebagai sistem pemantauan dan peringatan dini bencana longsor berbasis masyarakat. Artinya, pengoperasian dan pemeliharaan alat dilakukan warga setempat.
Selain itu, dilakukan juga investigasi bersama warga, seperti pembentukan organisasi siaga bencana tingkat desa, pembuatan peta risiko longsor, penyusunan standar operasional evakuasi, dan pelatihan evakuasi.
"Konsep pemberdayaan masyarakat perlu dikedepankan. Prinsipnya, warga harus menyadari ancaman bencana di lingkungannya. Ini penting agar mereka mampu membangun kesiapsiagaan dan terwujud ketahanan masyarakat," kata ahli geoteknik ini.
Tsunami Aceh
Pergulatan Faisal dalam mitigasi bencana longsor berawal saat ia melakukan survei bencana longsor yang terjadi di daerah perbukitan Menoreh, Kulon Progo, DI Yogyakarta, dan Banjarnegara, sekitar tahun 2000. Meski kejadian longsor telah menelan korban jiwa, faktanya banyak warga yang tetap tinggal di daerah rawan logsor tersebut.
"Ini mengusik hati saya, ternyata belum ada upaya mitigasi bencana longsor yang memadai untuk melindungi warga," kata mahasiswa teladan bidang akademik peringkat I se-UGM tahun 1997 ini.
Faisal lalu menempuh program S-2 di UGM dan S-3 di Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang. Ia mengambil topik riset tentang tanah longsor, terutama yang berkaitan dengan model matematika prediksi bencana longsor. Tekadnya berkiprah dalam mitigasi bencana semakin besar tatkala gempa dan tsunami dahsyat melanda tanah kelahirannya, Aceh.
"Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh akhir tahun 2004, saya sedang studi S-3 di Jepang. Ini dilema yang berat bagi saya karena keluarga dan sanak saudara menjadi korban bencana tepat ketika saya sedang belajar tentang bencana. Kejadian ini mengubah pandangan hidup saya, memacu semangat dan motivasi untuk berkarya di bidang mitigasi bencana," kata lulusan angkatan pertama SMA Taruna Nusantara, Magelang, tahun 1993 ini.
Selain motivasi diri sendiri, Faisal juga mendapat dukungan koleganya untuk mengembangkan mitigasi bencana. Profesor Dwikorita Karnawati dari Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM yang mendorong dia dengan menyampaikan kekhawatiran tentang ketergantungan Indonesia pada alat-alat pemantau longsor dari luar negeri. Harga alatnya pun mahal. Lebih repot lagi jika alat tersebut rusak karena harus dikirim ke pabrik pembuatnya di luar negeri.
Koleganya di UGM berharap Fasial dapat mengembangkan alat pemantau dan peringatan dini bencana longsor yang inovatif, berbiaya murah, akurat, mudah dioperasikan dan dirawat, memanfaatkan sumber daya lokal, serta memiliki fungsi yang selevel dengan alat produk asing.
"Sepulang dari Jepang, sekitar tahun 2005 saya mulai merancang alat itu," kata Ketua World Centre of Excellence (WCoE) on Landslide Risk Reduction ini.
Dari inovasi yang telah dia hasilkan, Faisal (sebagai inventor pertama) dan Dwikorita telah mendaftarkan lima paten alat deteksi dini longsor, yakni alat pemantau gerakan longsor manual dan otomatis, upperground dan underground extensometer, serta tiltmeter.
Extensometer, misalnya, berfungsi mendeteksi jarak keretakan atau kerenggangan tanah untuk menentukan potensi terjadinya longsor. Jika retakan tanah melebar 2-5 cm, alat akan mengirimkan sinyal sehingga sirene berbunyi hingga radius 500 meter. Ini sebagai peringatan dini agar warga segera melakukan evakuasi.
Extensometer juga mengukur akselerasi keretakan tanah. Jika akselerasinya mencapai level tertentu, sirene akan berbunyi. Potensi longsor juga dideteksi alat tiltmeter yang berfungsi mengukur kemiringan tanah.
Data pemantauan dikirimkan secara nirkabel ke server lapangan. Dengan mengaplikasikan sistem telemetri, data dapat dipantau secara online (real time).
Terbukti andal, sejak tahun 2007 lebih dari 100 unit alat deteksi dini longsor buatan Faisal telah dipasang di berbagai daerah rawan longsor. Pada 2012 sistem ini diaplikasikan di kawasan tambang United Mercury Group (UMG) Myanmar. Tahun ini aat itu juga akan diaplikasikan di delapan lokasi Pertamina Geothermal serta bendungan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.
Atas temuan itu, Faisal mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Karyanya telah ditetapkan sebagai salah satu penelitian strategis oleh International Programme on Landslides (IPL-UNESCO) sehingga dia menerima IPL Award of Success dari lembaga tersebut.
Dinilai telah banyak berkontribusi dalam kegiatan mitigasi bencana di kawasan Asia, Faisal juga mendapat Excellent Research Award dan Award of Appreciation dari International Symposium on Mitigation of Geo-Disasters di Kyoto-Matsue pada Oktober 2012.
Pada 8 Juli 2013, atas karya dan dedikasinya tersebut, Faisal juga ditetapkan sebagai Juara I Dosen Berprestasi Tingkat Nasional 2013 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 16 JULI 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar