Senin, 20 Desember 2010

Juliman Messakh: Menjaga Pantai Oebelo

Jika hutan bakau sepanjang sekitar tiga kilometer yang memagari garis pantai Oebelo Kecil, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, tidak ditanami, maka desa yang dihuni 300 keluarga itu sudah hilang tergerus abrasi laut Teluk Kupang.

JULIMAN MESSAKH

Lahir : Oebelo Kecil, Kupang, Nusa Tenggara timur, 15 April 1936
Istri : Ribka Messakh
Anak : Yehezkiel, Tinus, Halena, Mince, Debora
Pendidikan : Sekolah Rakyat
Pekerjaan : Nelayan, Pencinta lingkungan, Petani

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Juliman Messakh, warga yang lahir dan besar di desa itu, adalah orang yang terpanggil untuk mengatasi abrasi dengan memelopori menanam bakau. Dia mengajak putrinya Halena Messakh, dan suami Halena, Zeth Keleing, untuk memulai kegiatan mengatasi abrasi pantai dengan mencari anakan bakau pada tahun 2002. Ia juga mencoba mengajak sejumlah warga desa untuk menanam bakau, tetapi ditolak karena warga tidak diberi upah.
"Membudidayakan bakau sepanjang tiga kilometer di Pantai Oebelo kecil sampai Oebelo Besar tidak mudah . Orang sekitar sini tidak peduli terhadap lingkungan," kata Juliman Messakh di Oebelo Kecil, Kupang, awal Desember lalu.
Pada awal kegiatannya, Juliman Messakh membeli ribuan polybag dan mencari biji bakau sampai ke Pantai Oeteta sejauh sekitar 25 kilometer dari desanya dengan perahu motor . Ia lalu mengisi polybag itu dengan tanah yang bagus, mengingat tanah di desanya umumnya berpasir. Semua itu dikerjakan dengan dana pribadi, hasil Juliman berjualan ikan. Ia juga mencari nafkah sebagai nelayan.
Tidak hanya itu. Messakh pun rajin mencari potongan ranting, pelepah lontar, dan membuat tali dari tulang daun lontar untuk memagari anakanbakau yang disemai di kebunnya. Proses pemagaran itu berlanjut sampai bakau siap dipindahkan dari pembibitan ke pantai yang hendak ditanami.
Jika anakan tidak dipagari, kambing-kambing milik penduduk setempat akan memakan daun dan batang bakau. Juliman harus menjaga anakan bakau yang ditanamnya tersebut.
Jika tanaman bakau jauh dari jangkauan air laut, Juliman rajin menyirami. Meskipun semua itu dilakukan secara manual, Juliman tidak pernah menyerah. Dengan keterbatasan tenaga dan sarana pendukung yang ada, ia tekun bekerja sampai larut malam.
"Saya khawatir abrasi yang terus menggerus desa ini. Tahun 1960-an, Desa Oebelo Kecil masih berada sekitar 700-800 meter dari bibir pantai. Sekarang, jarak air laut dengan permukiman hanya 100 meter. saya tahu persis karena saya yang pertama menetap di pantai ini sebelum warga lain datang bergabung," ujarnya.

Nyaris kehilangan rumah

Tahun 2000, ketika puncak musim hujan tiba, fondasi rumah Juliman yang terletak 100 meter dari bibir pantai tergenang air laut. demikian pula kandang ternak sapi dan kambing miliknya.
Akar pohon kelapa yang ditanam Juliman di sepanjang pantai pun sebagian sudah tergantung karena terkikis gelombang. Rimbunan pohon kelapa yang tadinya menjadi tempat berteduh para nelayan Oebelo Kecil mulai terancam abrasi.
Kala itu Juliman mulai khawatir.Jika pohon bakau terus ditebang dan tidak dibudidayakan, seluruh kawasan pantai Oebelo Kecil, termasuk rumahnya, akan hancur. Ia terpikir, bakau merupakan pelindung pantai dari abrasi laut yang paling tepat.
Dengan segala daya yang dimilikinya, Juliman dibantu putri dan menantunya menanam anakan bakau sejakpertengahan tahun 2000. Setelah hampir 10 tahun, wilayah garis pantai sepanjang hampir 3 kilometer mulai ditumbuhi hutanbakau. Desa itu pun kini bebas dari ancaman abrasi.
Daerah itu kemudian menjadi tempat pembelajaran sejumlah mahasiswa dan dosen terkait budidaya bakau. Belajar dari Juliman, kini beberapa pantai di pesisir Kabupaten Kupang dan Kota Kupang mulai ditanami bakau oleh mahasiswa, LSM, dan dinas kehutanan setempat.
"Mereka memesan anakan bakau dari sini. Sering mereka pesan sampai 30.000 batang dalam polybag. Tetapi, untuk mengadakan anakan sejumlah itu dalam waktu 2-3 pekan, saya minta bantuan warga desa. Mereka harus dibayar per anakan senilai Rp.1.000. Yang membayar tenaga mereka pihak pemesan. Untuk saya, berapa pun diberikan saya terima saja," katanya.
Tahun 2004, juliman diundang salah satu LSM di Denpasar, Bali, mengikuti pelatihan tentang budidaya mangrove. Pulang dari pelatihan, ia membawa ratusan biji bakau dan puluhan anakan bakau yang dia ambil dari salah satu pantai di Bali.
Ia menilai, bakau di kawasan pantai di bali lebih cantik karena berdaun lebar, tangkai daunnya berwarna merah, dan batangnya lebih besar. Adapun daun bakau di Pantai Oebelo lebih kecil, tulang daun berwarna hijau, dan akar bakau cepat mengering bila tanah pijakan bakau terkikis air laut.
Kini, bakau hasil budidaya dari Bali mulai diminati para pencinta lingkungan dari beberapa kabupaten di NTT. Mereka bersedia membeli anakan bakau itu dengan harga Rp.5.000,- per batang, namun Juliman menolak dengan alasan bakau jenis itu belum banyak berkembang biak di Oebelo.
Juliman mendapat bantuan dana perangsang Rp.2 juta dari Dinas Kehutanan Provinsi NTT tahun anggaran 2002, digunakan untuk membeli polybag, kayu, pagar, dan tali.
"Saya memang butuh uang untuk usaha ini, tetapi selama kawasan pantai Oebelo dan sekitarnya masih tandus dan kering, saya tidak tertarik untuk bisnis anakan bakau. Saya berharap perjuangan ini dapat diteruskan para remaja Kabupaten dan Kota Kupang. Jika kita mengabaikan bakau sebagai pelindung dan penahan abrasi pantai, suatu ketika wilayah sepanjang pantai Kupang ini akan terkikis habis," kata Juliman Messakh.

Disadur dari KOMPAS, SELASA, 21 DESEMBER 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar