Selasa, 28 Desember 2010

Suratani : Inovasi untuk Industri Gerabah


SURATANI

Lahir : Palembang, 10 Oktober 1958
Alamat : Kampung Ajun RT 10 RW 2 Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat
Istri : Hamidah
Anak :
- Deni (28)
- Helani (26)
- Saiful Anwar (24)
- Hendrik (22)
- Tinov Pahlawan (20)
- Kusniawan (18)
- Jalaludin (16)
- Risa Maulidah (9)
Pendidikan : SD di Talang Subur, Palembang

Sempat frustasi dan "menghilang" karena karyanya dijiplak secara massal, Suratani (52) kembali ke kampung halaman. Bersama perajin lain di Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, dia berkarya kembali dan memberi warna pada industri gerabah yang telah hidup turun temurun.

OLEH MUKHAMAD KURNIAWAN

Kiprah Suratani tergolong fenomenal pada tahun 1985. Karyanya mendadak terkenal setelah memenangi sejumlah lomba desain dan kerajinan di tingkat regional maupun nasional. Corak tembaga dan bentuk yang dinilai tak lazim ketika itu menjadi kekuatan karyanya.
Karya Suratani pun diikutkan pada beberapa pameran yang digelar pemerintah maupun swasta. Dalam hitungan hari, pembeli berdatangan, termasuk pembeli dari luar negeri. Mereka memburu keramik Suratani untuk dikoleksi atau dijual lagi.
Akhir tahun 1985, Suratani mengekspor karyanya untuk pertama kali ke Singapura. Perlahan tapi pasti, usahanya berkembang. Dua tahun berikutnya, ribuan produk Suratani dikirim ke Malaysia, Selandia Baru, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.
Menurut Kepala Litbang Keramik Kabupetan Purwakarta Ahmad Nizar, ekspor karya Suratani menjadi tonggak bersejarah bagi industri rakyat yang hampir satu abad itu. Sebab, sejak dirintis Dasjan, Sarkum, Wasja, dan Suhara tahun 1904, belum ada karya perajin Plered menembus pasar luar negeri.
Tingginya permintaan corak Suratani mendorong perajin lain memproduksi keramik dengan corak serupa. Peniruan pun meluas oleh ratusan unit usaha dengan ribuan tenaga kerja di Plered.
Awalnya, produksi keramik bercorak tembaga skala massal terasa menguntungkan. Suratani, yang sebenarnya terusik dengan penjiplakan karyanya, merasa mampu berdamai dengan situasi. namun, secara perlahan pasar tergerogoti karena mutu produk yang tak terjaga. Pembeli kabur. Perang harga dan bentuk persaingan tak sehat lain pun terjadi.
"Guci yang di luar negeri laku dijual Rp.125.000 diobral perajin disini Rp.50.000. Sekilas produknya mirip, tetapi mutu bahan baku dan finishing jauh beda. banyak pembeli tak tahu itu dan mereka tertipu," kata Suratani.
Puncak penurunan ekspor terjadi tahun 1994. Usaha Suratani dan beberapa perajin merugi. Merasa kesal dengan situasi, Suratani memilih meninggalkan kampung halaan dan berkarya di luar daerah. Sempat merintis usaha pembuatan keramik di Palembang, Lampung, dan sejumlah kota/kabupaten, dia akhirnya kembali ke Plered tahun 2008.

Memompa diri

Orangtua Suratani, Samani (alm)-ratmi, pindah ke Purwakarta saat usia Suratani remaja. Keterbatasan ekonomi memaksa Suratani dan beberapa saudara kandungnya putus sekolah. Setelah lulus SD di Palembang tahun 1970, Suratani tak bersekolah lagi.
Sadar akan keterbatasan itu, Suratani muda bertekad memanfaatkan peluang untuk mengembangkan diri. tahun 1979, sebuah tawaran mengikuti pendidikan di Balai Penelitian Keramik (BPK) diiyakannya tanpa pikir panjang. Bersama tujuh pemuda lain asal Plered, Suratani menjalani pendidikan BPK di Bandung hingga 1982.
Merasa perlu menambah pengalaman, Suratani mengelana ke Jakarta dan bergabung dengan seniman-seniman di Pasar Seni Ancol. "Saya berinteraksi dengan seniman lukis, kriya, tari, dan lainnya. Semua memberi warna pada karya saya," ujarnya. tahun 1985, Suratani kembali ke Plered dengan harapan bisa mengaplikasikan ilmu dan pengalamannya.
Sentuhan Suratani nyatanya berbeda. Usahanya mengampelas guci yang kehitaman karena hangus dalam proses pembakaran justru mendapati corak tembaga. Suratani menilai corak itu artistik. Beberapa diantaranya ia sertakan dalam lomba kerajinan yang digelar Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) daerh dan pusat, juga Dewan Kerajinan Dunia (World Craft Council) tahun 1985. Disemua ajang itu karya Suratani menyabet gelar.
Dia tak pernah pelit membagi pengetahuan dan "resep" karyanya. Suratani berbagi trik agar perajin lain ikut menikmati keuntungan dari membanjirnya permintaan.
Akan tetapi , persaingan justru kian tak sehat dan merusak pasar keramik Plered seiring membeludaknya produk serupa dengan kualitas yang beragam. Selepas tahun 1990, satu persatu unit usaha merugi. Suratani akhirnya memilih pergi dari daerahnya.

Bank desain

Dalam perantauannya, Suratani tetap berkarya. Dia membuka usaha serupa di Talang Subur, Palembang, kemudian di Natar, Lampung. Usaha pembuatan gerabah dan keramik hias di dua daerah itu terus berkembang dan menghidupi puluhan perajin dan keluarganya.
Setelah 14 tahun berkelana, Suratani kembali ke Plered. Keberadaan koperasi perajin dan cluster industri yang menjamin penghargaan atas karya serta mengontrol pemasaran dan persaingan antar unit usaha memotivasinya kembali. Kantor Litbang Keramik Purwakarta turut "membujuk" Suratani kembali berkarya.
Kekhasan produk Suratani menjadi unsur pemerkaya produk asal Plered, juga membedakannya dari sentra gerabah lain di Indonesia, seperti Kasongan (Yogyakarta) dan Lombok. Corak bernilai seni dengan teknik pembuatan keramik murni menjadi ciri khas karyanya.
Untuk melindungi hak cipta, Suratani mengusulkan adanya bank desain. Ide itu sejalan dengan program koperasi perajin dan cluster industri gerabah di Plered. Setiap perajin berhak mencatatkan desain keramik, corak finishing, berikut bahan bakunya. Suratani sendiri telah mencatatkan 12 karya berkode "SR" 1-12 dalam bank desain itu.
Lima karya Suratani, yakni SR 5-9, dan sejumlah karya perajin Plered lain ambil bagian dalam pameran produk ekspor di Jakarta, Oktober 2010. Semuanya diminati. Kantor Litbang Keramik mencatat 24 negara meminati karya itu dan sebagian di antaranya telah memesan, seperti dari Australia, Amerika Serikat, dan Inggris.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 29 DESEMBER 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar