Saat Gunung Merapi meletus, satwa yang tinggal di lereng gunung itu berusaha menyelamatkan diri. Mereka mencari makanan sampai ke desa-desa yang ditinggalkan penghuninya untuk mengungsi.
Sebelum mereka turun lebih jauh menuju kawasan berpenghuni padat dan berpeluang dilukai manusia, Yansen Mardiyana bersiap mengantar mereka pulang.
YANSEN MARDIYANA
Lahir : Klaten, Jawa Tengah, 25 Januari 1974
Istri : Richa Maria (29)
Pendidikan terakhir : D-3 jurusan Teknik Sipil Universitas Pancasila Jakarta, lulus 1997
Kegiatan :
- Relawan organisasi Core Aid, 2006
- Relawan organisasi Caritas, 2006
- Pendiri organisasi Young Rich Care, 2009-kini
- Anggota Jalin Merapi III, 2010-kini
OLEH HERPIN DEWANTO
Sebagian besar satwa yang terlihat turun gunung itu antara lain monyet dan elang jawa. Bahkan di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, muncul informasi adanya harimau yang berkeliaran di desa. Namun, informasi itu belum terbukti karena harimau tersebut belum diketahui keberadaannya.
Yansen, petugas lapangan organisasi radio komunitas Jalin Merapi III, mulai memerhatikan keberadaan satwa itu saat turut mengevakuasi warga di Desa Sidorejo, awal November lalu. "Saya melihat anjing dan kucing tetap bertahan di desa," katanya.
Lalu Yansen mulai mengumpulkan sisa-sisa makanan dari posko pengungsian. Pada pagi hari, pria yang aktif menjadi relawan kemanusiaan sejak tahun 2006 ini pergi ke desa-desa yang sepi karena ditinggal penghuninya mengungsi. Sisa-sisa makanan dia letakkan di beberapa perempatan jalan agar anjing dan kucing di tempat itu tak kelaparan.
Ketika melakukan rutinitas itu, ia melihat sekelompok monyet berkeliarandi rumah-rumah warga. Kawanan monyet itu memiliki habitat di sekitar obyek wisata alam Deles Indah, Desa Sidorejo, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari puncak Merapi. Artinya, kawanan monyet itu sudah pergi lebih lima kilometer dari habitat aslinya.
Hari berikutnya, ia mulai mengumpulkan lebih banyak makanan untuk diberikan kepada kawanan monyet itu. Makanan berupa biskuit dia ambil dari kelebihan sisa logistik para pengungsi. Melihat upaya Yansen, anggota Jalin Merapi lainnya turut membantu mengumpulkan biskuit.
"Monyet-monyet itu tak bisa kembali ke habitat asli mereka, maka perlu teknik khusus untuk itu," kata Yansen.
Makanan lalu dia letakkan di tempat monyet-monyet itu terlihat. Hari berikutnya, makanan dia letakkan di tempat yang lebih tinggi, lebih mendekati Gunung Merapi.
Kegiatan itu dilakukan Yansen terus-menerus secara bertahap sampai kondisi Gunung Merapi kembali normal. Kini, dia tak sendiri lagi karena beberapa warga lokal dan polisi ikut membantu.
Bagi Yansen, mengembalikan satwa ke habitatnya penting guna menghindari konflik antara manusia dan satwa. Ketika kelaparan karena habitat aslinya rusak, satwa itu mencari makanan di rumah penduduk. Mereka mengobrak-abrik isi rumah. Jika pemilik rumah kembali dari pengungsian, mereka bisa mengira rumahnya habis dijarah, atau jika pemilik rumah menangkap basah satwa yang masuk ke rumah, kemungkinan besar satwa itu akan diperlakukan kasar, terutama jika satwa itu buas. "padahal, satwa itu penting untuk menjaga ekosistem di lereng Merapi dan harus dilindungi," tegasnya.
Kawasan berbahaya
Upaya yang dilakukan Yansen berisiko karena dia harus masuk zona bahaya yang dekat Gunung Merapi dengan status Awas. Tak jarang dia berada di kawasan berbahaya saat Merapi bergejolak, seperti pada selasa (30/11) pagi.
Sekitar pukul 10.00, Yansen bersama seorang warga lokal dan seorang polisi hendak memberikan makan kawanan monyet. Makanan itu akan disebarkan di salah satu bukit di kawasan wisata Deles Indah. Monyet-monyet itu sudah bergerak naik dan bersembunyi di sekitar Sungai Lumbang di bawah bukit itu.
Rute perjalanan ke lokasi tersebut tampak sepi dan hanya beberapa warga lokal yang tengah kembali ke rumah. Ada dua pos yang dijaga personil TNI dan Polri dalam rute tersebut. Tempat tujuan mereka memang belum boleh dimasuki masyarakat umum, hanya warga dan petugas yang boleh mengaksesnya.
Setelah 15 menit perjalanan, Yansen tiba di bukit itu. Cuaca mendung dan udara terasa dingin. Gunung Merapi tak tampak karena tertutup kabut tebal.
"Kondisi ini justru berbahaya. Kalau Merapi erupsi, kami tidak bisa melihatnya, tahu-tahu awan panas sudah menyambar," katanya.
Bukit itu tampak sepi. Yansen keluar dari mobil dengan membawa tas besar berisi biskuit. Sambil menyusuri bukit, ia berusaha memanggil kawanan monyet itu. Beberapa potong biskuit dilemparkannya kearah pepohonan.
Tak lama kemudian, muncul puluhan monyet mendekat kearah Yansen. Mereka langsung melahap biskuit itu. "Lihat, sekarang perut mereka sudah agak besar. Waktu saya temui pertama kali, monyet-monyet itu kurus dan agresif," ceritanya.
Tiba-tiba radio komunikasi yang dibawa Yansen mengeluarkan bunyi bernada tinggi dan putus-putus. "Waduh, ini tandanya ada erupsi,.
Selama memberi makan monyet, Yansen tak berani meninggalkan radio tersebut. Radio itu berfungsi untuk berkomunikasi dengan anggota Jalin Merapi yang tersebar di sepanjang sabuk Merapi, sekaligus memancarkan sinyal dari seismograf yang terpasang di atas gunung.
Mendengar tanda bahaya itu, Yansen dan rombongan langsung melaju menjauhi Gunung Merapi. Selama perjalanan ke arah pos Desa Dompol, Kecamatan Kemalang, Klaten, dia terus memantau radio tersebut.
"Untung kita segera pulang, Merapi benar-benar mengeluarkan awan panas ke arah barat (Sleman, DI Yogyakarta)," katanya.
Dengan risiko yang relatif tinggi, Yansen mengakui masih banyak titik-titik kawasan yang belum tersentuh. Jika ingin ke lokasi itu, ia membutuhkan peralatan tambahan berupa satu unit radio, masker dengan filter, dan kendaraan untuk medan berat.
Keterbatasan inilah yang membuat Yansen berharap pemerhati satwa lain tergerak untuk ikut membantu. Dengan keterbatasan itu pula dia hanya mampu menangani kawanan monyet, sedangkan satwa lainnya, seperti elang jawa dan harimau, perlu penanganan khusus.
Setelah memberi makan kawanan monyet itu, Yansen kembali bersiaga di Pos Dompol untuk menemani sekitar 500 pengungsi yang tinggal di depan pos itu. Bagi dia, menangani bencana itu harus fleksibel karena tak hanya manusia yang menjadi korban, satwa pun menderita.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 27 DESEMBER 2010
Sebelum mereka turun lebih jauh menuju kawasan berpenghuni padat dan berpeluang dilukai manusia, Yansen Mardiyana bersiap mengantar mereka pulang.
YANSEN MARDIYANA
Lahir : Klaten, Jawa Tengah, 25 Januari 1974
Istri : Richa Maria (29)
Pendidikan terakhir : D-3 jurusan Teknik Sipil Universitas Pancasila Jakarta, lulus 1997
Kegiatan :
- Relawan organisasi Core Aid, 2006
- Relawan organisasi Caritas, 2006
- Pendiri organisasi Young Rich Care, 2009-kini
- Anggota Jalin Merapi III, 2010-kini
OLEH HERPIN DEWANTO
Sebagian besar satwa yang terlihat turun gunung itu antara lain monyet dan elang jawa. Bahkan di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, muncul informasi adanya harimau yang berkeliaran di desa. Namun, informasi itu belum terbukti karena harimau tersebut belum diketahui keberadaannya.
Yansen, petugas lapangan organisasi radio komunitas Jalin Merapi III, mulai memerhatikan keberadaan satwa itu saat turut mengevakuasi warga di Desa Sidorejo, awal November lalu. "Saya melihat anjing dan kucing tetap bertahan di desa," katanya.
Lalu Yansen mulai mengumpulkan sisa-sisa makanan dari posko pengungsian. Pada pagi hari, pria yang aktif menjadi relawan kemanusiaan sejak tahun 2006 ini pergi ke desa-desa yang sepi karena ditinggal penghuninya mengungsi. Sisa-sisa makanan dia letakkan di beberapa perempatan jalan agar anjing dan kucing di tempat itu tak kelaparan.
Ketika melakukan rutinitas itu, ia melihat sekelompok monyet berkeliarandi rumah-rumah warga. Kawanan monyet itu memiliki habitat di sekitar obyek wisata alam Deles Indah, Desa Sidorejo, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari puncak Merapi. Artinya, kawanan monyet itu sudah pergi lebih lima kilometer dari habitat aslinya.
Hari berikutnya, ia mulai mengumpulkan lebih banyak makanan untuk diberikan kepada kawanan monyet itu. Makanan berupa biskuit dia ambil dari kelebihan sisa logistik para pengungsi. Melihat upaya Yansen, anggota Jalin Merapi lainnya turut membantu mengumpulkan biskuit.
"Monyet-monyet itu tak bisa kembali ke habitat asli mereka, maka perlu teknik khusus untuk itu," kata Yansen.
Makanan lalu dia letakkan di tempat monyet-monyet itu terlihat. Hari berikutnya, makanan dia letakkan di tempat yang lebih tinggi, lebih mendekati Gunung Merapi.
Kegiatan itu dilakukan Yansen terus-menerus secara bertahap sampai kondisi Gunung Merapi kembali normal. Kini, dia tak sendiri lagi karena beberapa warga lokal dan polisi ikut membantu.
Bagi Yansen, mengembalikan satwa ke habitatnya penting guna menghindari konflik antara manusia dan satwa. Ketika kelaparan karena habitat aslinya rusak, satwa itu mencari makanan di rumah penduduk. Mereka mengobrak-abrik isi rumah. Jika pemilik rumah kembali dari pengungsian, mereka bisa mengira rumahnya habis dijarah, atau jika pemilik rumah menangkap basah satwa yang masuk ke rumah, kemungkinan besar satwa itu akan diperlakukan kasar, terutama jika satwa itu buas. "padahal, satwa itu penting untuk menjaga ekosistem di lereng Merapi dan harus dilindungi," tegasnya.
Kawasan berbahaya
Upaya yang dilakukan Yansen berisiko karena dia harus masuk zona bahaya yang dekat Gunung Merapi dengan status Awas. Tak jarang dia berada di kawasan berbahaya saat Merapi bergejolak, seperti pada selasa (30/11) pagi.
Sekitar pukul 10.00, Yansen bersama seorang warga lokal dan seorang polisi hendak memberikan makan kawanan monyet. Makanan itu akan disebarkan di salah satu bukit di kawasan wisata Deles Indah. Monyet-monyet itu sudah bergerak naik dan bersembunyi di sekitar Sungai Lumbang di bawah bukit itu.
Rute perjalanan ke lokasi tersebut tampak sepi dan hanya beberapa warga lokal yang tengah kembali ke rumah. Ada dua pos yang dijaga personil TNI dan Polri dalam rute tersebut. Tempat tujuan mereka memang belum boleh dimasuki masyarakat umum, hanya warga dan petugas yang boleh mengaksesnya.
Setelah 15 menit perjalanan, Yansen tiba di bukit itu. Cuaca mendung dan udara terasa dingin. Gunung Merapi tak tampak karena tertutup kabut tebal.
"Kondisi ini justru berbahaya. Kalau Merapi erupsi, kami tidak bisa melihatnya, tahu-tahu awan panas sudah menyambar," katanya.
Bukit itu tampak sepi. Yansen keluar dari mobil dengan membawa tas besar berisi biskuit. Sambil menyusuri bukit, ia berusaha memanggil kawanan monyet itu. Beberapa potong biskuit dilemparkannya kearah pepohonan.
Tak lama kemudian, muncul puluhan monyet mendekat kearah Yansen. Mereka langsung melahap biskuit itu. "Lihat, sekarang perut mereka sudah agak besar. Waktu saya temui pertama kali, monyet-monyet itu kurus dan agresif," ceritanya.
Tiba-tiba radio komunikasi yang dibawa Yansen mengeluarkan bunyi bernada tinggi dan putus-putus. "Waduh, ini tandanya ada erupsi,.
Selama memberi makan monyet, Yansen tak berani meninggalkan radio tersebut. Radio itu berfungsi untuk berkomunikasi dengan anggota Jalin Merapi yang tersebar di sepanjang sabuk Merapi, sekaligus memancarkan sinyal dari seismograf yang terpasang di atas gunung.
Mendengar tanda bahaya itu, Yansen dan rombongan langsung melaju menjauhi Gunung Merapi. Selama perjalanan ke arah pos Desa Dompol, Kecamatan Kemalang, Klaten, dia terus memantau radio tersebut.
"Untung kita segera pulang, Merapi benar-benar mengeluarkan awan panas ke arah barat (Sleman, DI Yogyakarta)," katanya.
Dengan risiko yang relatif tinggi, Yansen mengakui masih banyak titik-titik kawasan yang belum tersentuh. Jika ingin ke lokasi itu, ia membutuhkan peralatan tambahan berupa satu unit radio, masker dengan filter, dan kendaraan untuk medan berat.
Keterbatasan inilah yang membuat Yansen berharap pemerhati satwa lain tergerak untuk ikut membantu. Dengan keterbatasan itu pula dia hanya mampu menangani kawanan monyet, sedangkan satwa lainnya, seperti elang jawa dan harimau, perlu penanganan khusus.
Setelah memberi makan kawanan monyet itu, Yansen kembali bersiaga di Pos Dompol untuk menemani sekitar 500 pengungsi yang tinggal di depan pos itu. Bagi dia, menangani bencana itu harus fleksibel karena tak hanya manusia yang menjadi korban, satwa pun menderita.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 27 DESEMBER 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar