Kamis, 16 Desember 2010

Komang Surata : Penemu Inang Primer Cendana

KOMANG SURATA
Lahir : Karangasem, Bali, 18 September 1962
Istri : Ni Wayan Korniasih (43)
Anak :
- Ni Putu Ratna K (19), mahasiswa Farmasi Universitas Surabaya
- I Made Mahandita (18), mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang
- Ni Komang Pramasista (13), Siswa kelas II SMP Negeri 2 Kupang
Pendidikan :
- S-1 Institut Pertanian Bogor, 1985
- S-2 Fakultas Kehutanan Universtias Gadjah Mada, 2007
Pekerjaan : Peneliti Utama Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Cendana atau "Santalum album Linn" adalah tumbuhan bersifat semiparasit. Oleh karena itu, dalam siklus hidupnya, cendana membutuhkan pohon inang. Krokot atau "Althernantera sp" adalah jenis tumbuhan lokal yang paling sesuai sebagai inang primer ketika anakan cendana sedang dalam persemaian.


Oleh FRANS SARONG

Penggunaan krokot sebagai inang cendana yang kini dipraktikkan di banyak tempat di dunia adalah hasil temuan Komang Surata, peneliti utama Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Nusa Tenggara Timur.
"Saya menikmati menjadi peneliti, tetapi kebahagiaan terasa memuncak ketika hasil penelitian saya diakui dan dimanfaatkan secara luas hingga dunia internasional," kata Komang Surata di Kupang, lepas siang kamis (25/11) itu.
Dalam siklus kehidupan cendana, sejk persemaian hingga dipanen paa usia 30 tahun, membutuhkan tiga tahapan inang dari jenis pohon berbeda.
Setelah krokot pada masa persemaian, pertumbuhan cendana membutuhkan inang sekunder dari jenis pohon turi atau gala gala (Sebasnia grandiflora) atau akasia (Acacia villosa) untuk jangka menengah. Selanjutnya, inang johar (Casuarina junghunniana) dibutuhkan untuk pendampingan jangka panjang. Pohon inang itu dibutuhkan guna membantu penyerapan unsur hara dari tanah.
"Penggunaan inang gala gala atau turi sebenarnya hasil temuan saya juga, tetapi yang monumental itu temuan inang krokot karena sekarang menjadi pilihan utama sebagai inang primer dalam pembudidayaan cendana secara internasional," kata Komang Surata yang menjadi peneliti sejak 1987, dua tahun setelah dia menyelesaikan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Hampir punah

Cendana adalah jenis pohon endemik NTT. Oleh karena aromanya yang harum, cendana te;ah mencuatkan kawasaan NTT sejak abad ke-4. Pada abad ke-7, cendana asal NTT dilaporkan berhasil menembus pasaran India dan China.
Mulai abad ke-14, para pedagang dari kedua negara tersebut sampai berkunjung langsung ke NTT untuk membeli cendana dan madu. Hingga 1990-an, cendana menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah NTT.
Namun, akhir 1990-an, hampir mustahil menemukan pohon cendana di kawasan hutan. Tegakkan tersisa hanya bisa dijumpai di kebun dan pekarangan penduduk, itu pun amat jarang. Salah satu penyebab utama kehancuran cendana di Timor dan pulau lain di NTT adalah regulasi yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Sejak zaman Belanda hingga Indonesia merdeka, cendana, baik yang tumbuh di kawasan hutan, di kebun, maupun pekarangan penduduk, di klaim menjadi milik pemerintah. Masyarakat diwajibkan menjaga dan merawat cendana, tetapi hanya pemerintah yang berhak memanfaatkannya. Masyarakat yang melalaikan ketentuan itu akan dikenai sanksi. Akibatnya, cendana dianggap masyarakat sebagai pembawa petaka.
Kesadaran nyaris punahnya cendana membuat pemerintah mengubah kebijakan dengan payung Peraturan Daerah No 2/1999 yang berpihak kepada masyarakat.
Gubernur NTT Frans Lebu Raya sejak awal kepemimpinannya pada 2008 mencanagkan pembudidayaan cendana guna mengembalikan NTT sebagai "provinsi cendana". Tekad itu sekaligus mencuatkan nama krokot karena dibutuhkan sebagai inang saat persemaian bibit cendana.
Sebelumnya, persemaian cendana menggunakan inang tanaman cabai (Capsicum annum), sebagaimana direkomendasikan peneliti IPB, Jufriansah, pada 1970-an.
Sejak bertugas di Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Komang Surata mencatat sejumlah kelemahan pohon cabai sebagai inang primer cendana. Diantaranya, pohon cabai sulit hidup ketik dipindahkan dari tempat tumbuh awalnya. Kelemahan lain, sulit mendapatkan benih cabai dalam jumlah banyak, terancam mati jika tajuk pohonnya dipangkas, serta tak mampu bertahan hidup di antara rerumputan lain.
Surata lalu berinisiatif melakukan penelitian sejak 1988. Ia melakukan berbagai uji coba guna mendaptkan inang primer pengganti. Dua tahun kemudian ia menemukan krokot sebagai inang primer pengganti tanaman cabai.
"Uji coba itu melibatkan 18 jenis tumbuhan sebagai calon inang, termasuk cabai. hasil akhirnya menunjukkan, krokot paling cocok sebagai inang primer," katanya.

Keunggulan krokot

Krokot memiliki sejumlah keunggulan. Menurut Surata, krokot sangat membantu pertumbuhan cendana selama masa persemaian. Krokot juga tidak menimbulkan kompetisi, tajuknya kecil, sistem perakaran sukulen atau lunak, mudah tumbuh setelah dipangkas, berumur panjang, relatif mudah didapat, serta tahan hidup dalam kekeringan.
Hasil temuan inang krokot itu dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional, Sandalwood Newsletter, di Australia pada 1992. Setelah publikasi, pemanfaatan krokot sebbagai inang primer cendana meluas di dunia internasional, antara lain di Australia bagian barat serta di sejumlah negara Pasifik, seperti Fiji, Kaledonia, Solomon, dan Vanuatu.
Kini, Surata sedang menekuni model budidaya cendana melalui regenerasi tunas, yakni memotong beberapa jaringan akar di sekitar kaki pohon cendana dewasa. Jika pemotongan dilakukan secara benar dan tepat waktu, yakni dengan memerhatikan perkembangan akar diikuti pengaturan iklim mikro, bagian akar yang terputus dari induknya akan bertunas sebagai anakan baru.
"Mimpi kami kedepan dalam budidaya cendana di NTT adalah pohon cendana punya anakan alam dari tunas akarnya sendiri, sebelum pohon induk ditebang setelah mencapai usia panen 30 tahun. Proses regenerasi anakan cendana bisa dilakukan secara variatif mengikuti siklus tebangan," kata Surata, ilmuwan asal Karangasem, Bali, tersebut.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 17 DESEMBER 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar