Kamis, 19 Mei 2011

Habib Nadjar Buduha : Pahlawannya "Pahlawan" Laut


HABIB NADJAR BUDUHA

Lahir : Kendari, 30 Maret 1964
Pendidikan : S-1 ekonomi
Pekerjaan :
- Wartawan Surat Kabar Fajar, Makassar (1988-1994)
- Pegawai dan Wirausaha biro perjalanan (1994-2005)
- Pendiri Konservasi Taman Laut Kima Toli-toli, Sulawesi Tenggara (2010-sekarang)

Selama 28 tahun merantau, Habib Nadjar Buduha (47) terkejut ketika kembali ke kampung halamannya di Desa Toli-toli, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Kerang-kerang laut besar, atau yang biasa disebut kima, sudah menghilang dari desanya yang asri di tepi pantai.

OLEH MOHAMAD FINAL DAENG

Padahal, ketika ia masih kecil, kima-kima beraneka rupa dan warna menjadi "sahabat" setia bocah-bocah kampung saat menyelam di laut. Keelokan kima menjadi pemandangan tersendiri saat menjelajahi lantai laut Desa Toli-toli.
"Sekarang, kima hampir punah karena terus-menerus diburu. Perburuan itu bukan hanya dilakukan nelayan lokal, tetapi juga sudah melibatkan perusahaan besar dan nelayan asing," kata Habib, saat ditemui di desanya, beberapa waktu lalu.
Kima (Tridacna) menjadi komoditas bernilai tinggi karena dagingnya yang kaya protein. Harga daging kering kima di pasaran dunia mencapai 150 dollar AS per kilogram (sekitar Rp 1,3 juta). Selain itu, cangkangnya menjadi incaran industri perhiasan dan dekorasi.
Kondisi tersebut, kata Habib yang pernah menjadi wartawan koran lokal di Makassar, Sulawesi Selatan, meresahkannya. Dia kemudian terdorong untuk menyelamatkan kima. Apalagi, dari risetnya di berbagai literatur, kima berperan vital bagi ekosistem laut.

Vital

Kima berfungsi sebagai penyaring alami air laut. Saat makan, ia menyedot air laut untuk menyerap plankton dan segala kotorannya. Setelah dicerna, air laut dikeluarkan lagi dalam kondisi bersih. Proses itulah yang menjaga kebersihan laut yang penting bagi kesehatan terumbu karang.
Hewan yang biasa hidup di puncak gunung laut (rab) itu juga menjadi "pabrik" makanan bagi satwa-satwa laut lainnya. Telur dan anak kima menjadi santapan bagi ikan, gurita, dan kepiting. Tubuh kima juga menjadi rumah bagi berbagai terumbu karang. "Karena fungsinya itu, kima bisa dibilang sebagai 'pahlawan' laut," kata Habib.
Dari sembilan jenis kima yang ada di dunia, tujuh di antaranya hidup di perairan dangkal (maksimal kedalaman 20 meter) dan hangat di seantero Nusantara. Jumlah itu termasuk dua jenis yang paling langka, yakni Tridacna gigas (kima raksasa) dan Tridacna derasa (kima selatan).
"Dua jenis kima itu sekarang hanya bisa ditemukan di perairan sepanjang Sulawesi hingga Papua," kata Habib. Tridacna gigas dan Tridacna derasa menjadi langka karena paling kerap diburu mengingat ukurannya yang besar. Kima jenis ini bisa mencapai panjang 1,3 meter dengan berat 200 kilogram.
Permasalahan muncul karena eksploitasi yang berlebihan itu tak sebanding dengan laju pertumbuhan kima. "Hewan ini lambat perkembangbiakannya, hanya berkisar 2-12 sentimeter setiap tahun. Untuk tumbuh hingga sepanjang 1 meter dibutuhkan waktu 8-50 tahun," ujar Habib.
Pemerintah pun telah memasukkan lima jenis kima (Tridacna crocea, Tridacna derasa, Tridacna gigas, Tridacna maxima, dan Tridacna squamosa) sebagai satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.

Konservasi

Karena itulah, Habib tergerak untuk menyelamatkan kima. dengan modal yang dikumpulkannya sendiri, ia mengajak beberapa teman warga desanya menjelajahi perairan timur Sultra hingga kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah untuk menyurvei lokasi-lokasi kima yang tersisa.
Proses itu dilakukan selama tiga bulan di akhir 2009. "Dari situ, kami memperoleh lima ekor kima yang terdiri dari dari jenis Tridacna gigas, Tridacna maxima, dan Tridacna squamosa," kata Habib.
Lima kima pertama itu kemudian dibawa pulang ke Toli-toli dan dilepaskan di laut sekitar pantai yang telah disiapkan sebagai wilayah konservasi kima oleh Habib. Setelah disurvei, wilayah Toli-toli dan sekitarnya dinilai sebagai lokasi yang tepat untuk konservasi kima karena memiliki rab yang tak jauh dari daratan.
"Daerah ini dulunya juga merupakan habitat asli kima serta memiliki bebatuan dan terumbu karang yang masih terjaga," tambah Habib.
Sejak saat itu, tepatnya pada 1 Januari 2010, habib mendirikan Konservasi Taman Laut Kima Toli-Toli. Hingga sekarang, Habib bersama rekan-rekannya telah mengumpulkan lebih kurang 1.500 kima dari tujuh jenis yang ditempatkan dan dipelihara di konservasi laut seluas 20 hektar.
Kima-kima itu dikumpulkan dengan peralatan dan perlengkapan sederhana, yakni sebuah kapal motor tradisional berbobot 3 ton dan peralatan menyelam yang memakai mesin kompresor tambal ban sebagai pemasok udara.
Pencarian kima dilakukan sebuah tim yang beranggotakan tujuh orang selama tiga hari seminggu. "Setiap kali pencarian, kami bisa mengumpulkan 30-40 ekor," kata Habib.
Tim juga kerap menyosialisasikan kepada warga lokal tempat mereka mengumpulkan kima untuk menjaga biota laut itu dari perburuan berlebihan.
Sayang, upaya penyelamatan hasil inisiatif dan swadaya warga itu belum mendapat perhatian pemerintah. Jangankan bantuan materi atau peralatan, proposal perizinan untuk konservasi yang diajukan Habib sejak Oktober 2010 saja hingga kini belum jelas rimbanya.
Untuk biaya operasional bensin kapal dan logistik yang mencapai sekitar Rp 1 juta setiap perjalanan ditutupi Habib, atau dari hasil sambilan mencari lobster dan ikan. "Kadang kalau tidak ada uang, ya pinjam kanan-kiri dulu, ha...ha...," ujar ayah satu anak tersebut.
Namun, Habib tidak ambil pusing dan tetap jalan meski dengan kemampuan seadanya. "Kalau menunggu pemerintah atau bantuan, mungkin sudah habis duluan semua kima," ujarnya. Pasalnya, ia dan rekan-rekannya setiap hari harus berlomba dengan para pemburu kima yang di antaranya memiliki perlengkapan canggih dan modal besar.
"Pernah ada pengalaman, saat kami mendapat info dari warga tentang habitat kima di suatu tempat. Ketika keesokan harinya kami datangi, sudah tinggal tersisa cangkang-cangkangnya saja," kata Habib.
Meski getir dan kembang-kempis, Habib dan rekan-rekan seperjuangannya bertekad untuk tetap menghidupkan upaya konservasi ini.
"Paling tidak, anak cucu saya nanti masih bisa melihat kima hidup di alam bebas," ujar Habib.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 20 MEI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar