RIDHA M ICHSAN
Lahir : Bogor, Jawa Barat, 8 Januari 1982
Istri : Yeni Herliana (25)
Pendidikan : S-1 Teknik Elektro Universitas Ibnu Chaldun Bogor, lulus 2005
Pekerjaan : Wiraswasta
Organisasi : Koordinator Komunitas Kampoeng Bogor
Ridha M Ichsan lahir dan tumbuh besar di Bogor, Jawa Barat. Namun, dalam sebuah diskusi, ia sadar ternyata tak banyak yang diketahuinya tentang Bogor, terutama sejarah kotanya. Ia yakin, banyak pula anak muda seusianya yang mengalami hal serupa. Padahal "lupa ingatan" sejarah kota bisa bermakna negatif bagi pembangunan kota itu.
OLEH ANTONY LEE
"Akibatnya, kota bisa dibangun tanpa mempertahankan karakter, sekadar mengikuti kepentingan ekonomi. Kota akan jadi seragam dan tidak lagi menarik. Ini juga terjadi pada Kota Bogor," tutur Ridha, April lalu.
Ia mencontohkan, dulu di Bogor pembagian kawasannya jelas. Sementara kini sukar memisahkan di mana wilayah untuk permukiman dan bagian mana yang merupakan tempat komersial.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Raffles, sekitar abad ke-18 membangun kantor pelayanan, militer, rumah sakit, dan pendidikan di sekitar Istana Bogor. Sedangkan permukiman berada di daerah utara-barat kota.
Tahun 1930-an, arsitek Thomas Karsten mengembangkan Bogor ke arah Kedung Halang, di utara. Kini, Kota Bogor berkembang ke mana-mana, dengan mengitari Istana dan Kebun Raya Bogor. Oleh pemerhati masalah kota, kondisi ini dikhawatirkan bakal membuat Bogor menjadi tidak nyaman.
Kekhawatiran itu yang mendorong Ridha bersama beberapa anak muda di Bogor, seperti Uthie, Anggit, Ophie, Yudha, Sena, Jati, dan Reza merintis Komunitas Kampoeng Bogor pada tahun 2007. Mereka juga mendapat dukungan dari almarhum A Baehaqie, dosen Institut Pertanian Bogor. Setahun kemudian, Ridha "dipaksa" teman-temannya menjadi koordinator Kampoeng Bogor.
Komunitas itu mencoba menggali sejarah Kota Bogor, lalu mendiseminasikannya lewat aneka media dan kegiatan. Tugas yang seharusnya lebih banyak dilakukan pemerintah setempat.
Kini, ada 10 orang pengurus Kampoeng Bogor dan sekitar 50 sukarelawan. Ridha bercerita, ia tertarik menggali dan menyebarkan sejarah kota karena membayangkan Bogor sebagai sebuah kampung sekaligus rumah yang tetap nyaman bagi penghuninya.
Ia percaya, untuk membuat rumah yang nyaman, harus ada kepedulian dari penghuninya. Sebelum peduli, warga harus terlebih dulu tahu, seperti apa rumah mereka pada tahun-tahun lalu dan kini, sehingga memiliki bayangan akan menjadi seperti apa Bogor pada masa mendatang.
"Tapi saya enggak punya latar belakang sejarah, begitu pula teman-teman. Ini menjadi tantangan. kami lalu mencari literatur dan berbicara dengan sesepuh serta sejarawan," tuturnya.
Pluralitas Bogor
Selain aktivitas rutin mengumpulkan informasi sejarah Bogor, mereka juga kerap menggelar studi lapangan, mengajak anak-anak muda lainnya. Misalnya, pada bulan Ramadhan tahun 2010 mereka menggelar "Menapak Identitas, Jejak Masjid Tua Kota Bogor".
Selain itu, mereka juga tengah menyiapkan dua buku tentang Bogor, yakni Bogor di masa peralihan penjajahan ke Pemerintah Indonesia tahun 1942-1946, serta jejak masjid tua di Bogor. Sebelumnya, Kampoeng Bogor sudah menghasilkan buku kecil berjudul Bogor Kota Terindah di Jawa karya A Baehaqie. Selain itu, mereka juga membuat situs berisi sejarah Bogor, yakni kampoengbogor.org.
Tahun 2008-2010 Ridha dan rekan-rekannya di Kampoeng Bogor mendorong agar perayaan Cap Go Meh dengan arak-arakan liong dan barongsai serta joli berisi patung dewa dari klenteng Dhanagun di Pasar Bogor hingga pertigaan batu Tulis juga "dikawinkan" dengan budaya Sunda. Hasilnya, acara itu meriah, sekaligus menampilkan pluralitas Bogor.
"Sejak zaman dulu, Bogor itu sudah plural. Ada budaya Sunda, Tionghoa, Arab, maupun Indo-Belanda. Sehingga kalau Bogor disebut kota yang multikultur, memang betul. Kondisi ini sudah terjadi sejak lama," tutur Ridha.
Markas Kampoeng Bogor terletak di Jalan Pangeret Ujung, Kota Bogor. Suasananya cukup tenang karena posisi sekretariat itu tidak terlalu dekat dari jalan raya.
Di bagian terdepan sekretariat itu dipajang beberapa baju kaus dengan gambar dan tulisan seputar Bogor tempo doeloe, serta meja pamer berisi aneka suvenir, seperti mok, stiker, tas, pin, serta gantungan kunci. Di ruang dalam terpajang foto-foto Bogor masa lalu dan beberapa barang antik.
Sekretariat itu mereka tempati sejak tahun 2008 dengan sewa Rp 9 juta per tahun. Ridha mengakali beban sewa tersebut dengan urunan pengurus, serta sisa pendapatan dari menjual suvenir yang dipajang di sekretariat. Ia mengaku belum terpikir untuk mengumpulkan donasi.
Pusat informasi
Ridha mengakui, keuangan memang menjadi salah satu kendala Komunitas Kampoeng Bogor. Dua buku yang sedang disiapkan, misalnya, belum bisa dicetak kendati naskah sudah terkumpul. Ini lantaran keterbatasan biaya.
Namun, Ridha tidak putus asa. Mereka mencoba mengumpulkan keuntungan penjualan suvenir serta sisa dana kegiatan. Selain itu, Ridha juga harus memutar otak untuk menyesuaikan jadwal pengurus Kampoeng Bogor.
Sebagian besar pengurus sudah lulus dari perkuliahan dan memiliki aktivitas masing-masing dalam mencari nafkah. Ada yang menjadi konsultan, ada pula yang mendirikan usaha bidang jasa penyusunan website (situs web).
"Tidak mungkin memaksa mereka terus siap untuk Kampoeng Bogor. Jadilah dibuat 'jadwal', hari ini siapa yang sibuk, lalu siapa yang longgar waktunya untuk mengerjakan tugas," tutur Ridha.
Dia sendiri memenuhi kebutuhan hidup -beserta istri yang baru beberapa bulan lalu dinikahinya- dari membantu teman-teman yang memiliki usaha. Orangtuanya sempat mengingatkan agar Ridha bekerja di kantor. Harapannya, dari sisi keuangan, hidup Ridha bisa lebih stabil. Namun, ia memilih mengembangkan Kampoeng Bogor. "Sampai Kampoeng Bogor bisa menjadi pusat informasi sejarah soal Bogor."
"Sekarang mulai ada mahasiswa yang menyusun skripsi tentang Bogor yang datang ke Kampoeng bogor. Itu cukup menggembirakan," katanya menambahkan.
Selain itu, Ridha juga berharap komunitas ini tumbuh menjadi organisasi yang menyerupai perusahaan. Bertujuan sosial, tetapi bisa bergerak seperti perusahaan yang mampu membiayai sendiri kegiatannya. Dia yakin, dengan begitu akan lebih mudah mendorong regenerasi pengurusnya.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 MEI 2011
OLEH ANTONY LEE
"Akibatnya, kota bisa dibangun tanpa mempertahankan karakter, sekadar mengikuti kepentingan ekonomi. Kota akan jadi seragam dan tidak lagi menarik. Ini juga terjadi pada Kota Bogor," tutur Ridha, April lalu.
Ia mencontohkan, dulu di Bogor pembagian kawasannya jelas. Sementara kini sukar memisahkan di mana wilayah untuk permukiman dan bagian mana yang merupakan tempat komersial.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Raffles, sekitar abad ke-18 membangun kantor pelayanan, militer, rumah sakit, dan pendidikan di sekitar Istana Bogor. Sedangkan permukiman berada di daerah utara-barat kota.
Tahun 1930-an, arsitek Thomas Karsten mengembangkan Bogor ke arah Kedung Halang, di utara. Kini, Kota Bogor berkembang ke mana-mana, dengan mengitari Istana dan Kebun Raya Bogor. Oleh pemerhati masalah kota, kondisi ini dikhawatirkan bakal membuat Bogor menjadi tidak nyaman.
Kekhawatiran itu yang mendorong Ridha bersama beberapa anak muda di Bogor, seperti Uthie, Anggit, Ophie, Yudha, Sena, Jati, dan Reza merintis Komunitas Kampoeng Bogor pada tahun 2007. Mereka juga mendapat dukungan dari almarhum A Baehaqie, dosen Institut Pertanian Bogor. Setahun kemudian, Ridha "dipaksa" teman-temannya menjadi koordinator Kampoeng Bogor.
Komunitas itu mencoba menggali sejarah Kota Bogor, lalu mendiseminasikannya lewat aneka media dan kegiatan. Tugas yang seharusnya lebih banyak dilakukan pemerintah setempat.
Kini, ada 10 orang pengurus Kampoeng Bogor dan sekitar 50 sukarelawan. Ridha bercerita, ia tertarik menggali dan menyebarkan sejarah kota karena membayangkan Bogor sebagai sebuah kampung sekaligus rumah yang tetap nyaman bagi penghuninya.
Ia percaya, untuk membuat rumah yang nyaman, harus ada kepedulian dari penghuninya. Sebelum peduli, warga harus terlebih dulu tahu, seperti apa rumah mereka pada tahun-tahun lalu dan kini, sehingga memiliki bayangan akan menjadi seperti apa Bogor pada masa mendatang.
"Tapi saya enggak punya latar belakang sejarah, begitu pula teman-teman. Ini menjadi tantangan. kami lalu mencari literatur dan berbicara dengan sesepuh serta sejarawan," tuturnya.
Pluralitas Bogor
Selain aktivitas rutin mengumpulkan informasi sejarah Bogor, mereka juga kerap menggelar studi lapangan, mengajak anak-anak muda lainnya. Misalnya, pada bulan Ramadhan tahun 2010 mereka menggelar "Menapak Identitas, Jejak Masjid Tua Kota Bogor".
Selain itu, mereka juga tengah menyiapkan dua buku tentang Bogor, yakni Bogor di masa peralihan penjajahan ke Pemerintah Indonesia tahun 1942-1946, serta jejak masjid tua di Bogor. Sebelumnya, Kampoeng Bogor sudah menghasilkan buku kecil berjudul Bogor Kota Terindah di Jawa karya A Baehaqie. Selain itu, mereka juga membuat situs berisi sejarah Bogor, yakni kampoengbogor.org.
Tahun 2008-2010 Ridha dan rekan-rekannya di Kampoeng Bogor mendorong agar perayaan Cap Go Meh dengan arak-arakan liong dan barongsai serta joli berisi patung dewa dari klenteng Dhanagun di Pasar Bogor hingga pertigaan batu Tulis juga "dikawinkan" dengan budaya Sunda. Hasilnya, acara itu meriah, sekaligus menampilkan pluralitas Bogor.
"Sejak zaman dulu, Bogor itu sudah plural. Ada budaya Sunda, Tionghoa, Arab, maupun Indo-Belanda. Sehingga kalau Bogor disebut kota yang multikultur, memang betul. Kondisi ini sudah terjadi sejak lama," tutur Ridha.
Markas Kampoeng Bogor terletak di Jalan Pangeret Ujung, Kota Bogor. Suasananya cukup tenang karena posisi sekretariat itu tidak terlalu dekat dari jalan raya.
Di bagian terdepan sekretariat itu dipajang beberapa baju kaus dengan gambar dan tulisan seputar Bogor tempo doeloe, serta meja pamer berisi aneka suvenir, seperti mok, stiker, tas, pin, serta gantungan kunci. Di ruang dalam terpajang foto-foto Bogor masa lalu dan beberapa barang antik.
Sekretariat itu mereka tempati sejak tahun 2008 dengan sewa Rp 9 juta per tahun. Ridha mengakali beban sewa tersebut dengan urunan pengurus, serta sisa pendapatan dari menjual suvenir yang dipajang di sekretariat. Ia mengaku belum terpikir untuk mengumpulkan donasi.
Pusat informasi
Ridha mengakui, keuangan memang menjadi salah satu kendala Komunitas Kampoeng Bogor. Dua buku yang sedang disiapkan, misalnya, belum bisa dicetak kendati naskah sudah terkumpul. Ini lantaran keterbatasan biaya.
Namun, Ridha tidak putus asa. Mereka mencoba mengumpulkan keuntungan penjualan suvenir serta sisa dana kegiatan. Selain itu, Ridha juga harus memutar otak untuk menyesuaikan jadwal pengurus Kampoeng Bogor.
Sebagian besar pengurus sudah lulus dari perkuliahan dan memiliki aktivitas masing-masing dalam mencari nafkah. Ada yang menjadi konsultan, ada pula yang mendirikan usaha bidang jasa penyusunan website (situs web).
"Tidak mungkin memaksa mereka terus siap untuk Kampoeng Bogor. Jadilah dibuat 'jadwal', hari ini siapa yang sibuk, lalu siapa yang longgar waktunya untuk mengerjakan tugas," tutur Ridha.
Dia sendiri memenuhi kebutuhan hidup -beserta istri yang baru beberapa bulan lalu dinikahinya- dari membantu teman-teman yang memiliki usaha. Orangtuanya sempat mengingatkan agar Ridha bekerja di kantor. Harapannya, dari sisi keuangan, hidup Ridha bisa lebih stabil. Namun, ia memilih mengembangkan Kampoeng Bogor. "Sampai Kampoeng Bogor bisa menjadi pusat informasi sejarah soal Bogor."
"Sekarang mulai ada mahasiswa yang menyusun skripsi tentang Bogor yang datang ke Kampoeng bogor. Itu cukup menggembirakan," katanya menambahkan.
Selain itu, Ridha juga berharap komunitas ini tumbuh menjadi organisasi yang menyerupai perusahaan. Bertujuan sosial, tetapi bisa bergerak seperti perusahaan yang mampu membiayai sendiri kegiatannya. Dia yakin, dengan begitu akan lebih mudah mendorong regenerasi pengurusnya.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 MEI 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar