Rabu, 04 Mei 2011

Yasir, Melestarikan Mi Lethek di Bantul


DATA DIRI

Nama: Yasir Feri Ismatrada
Lahir : bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 Februari 1975
Alamat : Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul
Istri : Indri Istiyantun
Anak :
1. Ismet Al Malik (8)
2. Zaki Yasir (5)
Pendidikan :
- SD Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta
- SMP Muhammadiyah 3 Wirobrajan, Yogyakarta
- SMA Muhammadiyah 3 Wirobrajan, Yogyakarta

Di rumah yang sederhana itu, sekitar 27 tenaga kerja menggantungkan nasib pada usaha mi lethek. Kenyataan itu membuat Yasir Feri Ismatrada tetap mempertahankan metode produksi tradisional. Meski memakai peralatan tradisional, kapasitas produksinya bisa mencapai 10 ton per bulan.

Oleh ENY PRIHTIYANI

Yasir Feri Ismatrada adalah warga Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia memulai usaha membuat mi sejak tahun 2002, meski mi lethek sebenarnya adalah usaha turun-temurun keluarga yang mulai diproduksi sejak tahun 1940-an. Tahun 1982 usaha tersebut sempat terhenti karena kesulitan ekonomi.
Setelah lama produksi mi lethek terhenti, Yasir mulai tergelitik untuk menggerakkan kembali usaha keluarganya. Ide itu muncul setelah dia mendengar informasi dari seorang dokter tentang khasiat singkong. Yasir pun teringat akan mi lethek produksi keluarganya yang dibuat dengan bahan dasar singkong.
"Penjelasan dokter itu membuat saya tergugah. Saya sekaligus merasa tertantang untuk mengembangkan kembali mi lethek. Saya yakin mi produksi saya bisa menguasai pasar karena rasanya berbeda dengan mi pada umumnya. Saya juga percaya khasiat singkong sangat baik untuk kesehatan tubuh," katanya.
Mi lethek terbuat dari bahan dasar tepung tapioka atau tepung singkong yang dicampur gaplek. Kedua bahan itu diaduk dengan menggunakan alat berbentuk silinder. Silinder tersebut digerakkan oleh tenaga sapi. Setelah bahan baku diaduk, dimasukkan ke tungku kukusan, lalu diaduk lagi untuk mengatur kadar airnya. Kemudian adonan tersebut dipres dan dikukus lagi. Proses terakhir berupa pencetakan dan penjemuran mi hingga kering.
Produk ini disebut mi lethek karena warna mi ini tidak secerah mi pada umumnya, yakni putih atau kuning. Warna mi ini butek atau keruh karena tidak menggunakan bahan pemutih, pewarna, atau pengawet. Lethek dalam bahasa Jawa artinya kotor.
Justru warna mi lethek benar-benar alami muncul dari proses produksi. Meski diolah secara tradisional, mi lethek bisa bertahan hingga tiga bulan apabila disimpan dalam ruangan yang tidak lembab.

Langganan Presiden

Konsumen awam yang melihat wujud mi lethek mungkin tidak akan tertarik karena tanpilannya memang kurang menarik. Namun, begitu tahu rasanya, banyak orang yang langsung ketagihan.
Di Bantul tidak banyak orang yang membuat mi lethek karena proses produksinya dinilai terlalu rumit. Bisa dikatakan hanya Yasir bersama pamannya yang memproduksi mi lethek.
Dalam satu bulan Yasir bisa memproduksi 10 ton mi lethek. Dari jumlah itu, 50 kilogram di antaranya dikirim ke Departemen Pertanian untuk disalurkan ke Cikeas, kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Bapak Presiden sudah menjadi pelanggan tetap saya. Selain Pak SBY, sejumlah pejabat juga menjadi pelanggan setia," cerita Yasir tentang sebagian penggemar mi letheknya.
Bisa menggaet presiden sebagai pelanggan tetap tidak membuat Yasir berpuas diri. Ia ingin dapat mengalahkan mi produksi pabrikan yang lebih banyak menggunakan terigu.
"Tepung terigu kan harus impor, sedangkan singkong tidak, ini produksi lokal. Terigu hanya menguntungkan penduduk di negara lain, sedangkan singkong bisa mengangkat derajat petani lokal," katanya.
Untuk mendapatkan 10 ton mi, Yasir membutuhkan sekitar 10,5 ton tepung tapioka dan 20 ton gaplek. Bahan-bahan itu diperolehnya dari para petani lokal di Bantul dan beberapa daerah di Indonesia.
"Untuk tapioka, yang paling bagus itu produksi Banjarnegara, sedangkan gaplek bisa saya beli di Gunung Kidul," tutur bapak dua anak ini.
Mi lethek dijual seharga Rp 6.600 per kilogram. Dalam sebulan Yasir bisa mengantongi laba bersih sekitar Rp 6 juta.
Selain kalangan istana, pelanggan tetapnya adalah para pedagang di pasar tradisional. Menurut dia, tingkat permintaan dan kapasitas produksi masih timpang. Banyak pelanggan yang tidak kebagian mi karena Yasir kesulitan menambah kapasitas produksi.
Penggunaan peralatan tradisional yang menggunakan tenaga manusia menjadi penyebab keterbatasan kapasitas produksi tersebut. Meski begitu, ia tak tertarik mengganti peralatannya dengan mesin pembuat mi modern. Selain akan mengurangi tenaga kerja, produksi lewat mesin juga berpengaruh terhadap rasa.
"Kalau saya ganti dengan mesin, tenaga kerja usaha ini akan kehilangan pekerjaan. Padahal, mereka sudah ikut mengembangkan usaha keluarga saya sejak awal. Peralihan pembuatan mi dari tangan ke mesin juga dikhawatirkan mengubah cita rasa mi," kata pria yang sempat mengikuti pelatihan pembuatan mi di Pabrik Tepung Sriboga ini.

Dari sang kakek

Usaha mi lethek keluarga Yasir berawal ketika sang kakek yang berasal dari tanah Arab bertemu dengan neneknya, perempuan keturunan China, di daerah Srandakan, Bantul. Ketika itu Srandakan dikenal sebagai kampung pecinan. Memasuki tahun 1940-an terjadi penggusuran dan pengusiran terhadap etnis Tionghoa di daerah tersebut. Beruntung keluarga Yasir bisa lolos.
Pasca penggusuran, keluarga Yasir mulai menata ekonomi mereka. Keahlian sang nenek yang terbiasa membuat mi sewaktu di daratan China pun dimanfaatkan.
"Saat itu banyak orang yang membuat mi dari campuran beras dan jagung. Untuk bisa bersaing, Nenek mencoba-coba membuat mi dari bahan singkong dan rasanya ternyata lebih enak," ujarnya.
Menurut Yasir, mengolah singkong menjadi mi berarti menambah nilai ekonomi singkong. Selama ini singkong selalu dianggap sebagai makanan ndeso yang sulit diadaptasi masyarakat perkotaan. Padahal, singkong bisa dikembangkan menjadi pangan alternatif selain beras.
Yasir berharap kebutuhan akan singkong pabriknya bisa dipenuhi lokal Bantul agar dampak positif usaha ini lebih terasa. Sayangnya, minat petani di bantul untuk menanam singkong bisa dikatakan tergolong rendah.
Petani hanya menanam singkong ini di lahan-lahan marjinal, seperti daerah pegunungan. Di Bantul ada lima kecamatan yang memiliki wilayah pegunungan, yakni Dlingo, Imogiri, Pajangan, Pundong, dan Piyungan.
Minimnya lahan yang dimanfaatkan untuk menanam singkong juga diperparah dengan rendahnya tingkat produktivitas.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, rata-rata produktivitas ketela di Bantul sekitar enam ton per hektar.
Padahal, angka itu masih bisa ditingkatkan sampai sekitar enam ton per hektar. Rendahnya produktivitas ketela itu karena petani cenderung membiarkan tanaman tersebut tumbuh begitu saja. Mereka tidak memberikan asupan pupuk sehingga produknya pun tidak maksimal.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 23 FEBRUARI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar