Senin, 02 Mei 2011

Ki Enthus Susmono, Kreativitas Tiada Henti


DATA DIRI

Nama : Enthus Susmono
Lahir : Tegal, 21 Juni 1966
Istri :
- Romiyati (40), menikah 1990 dan bercerai 1995
- Nur Laelah (33), menikah 1997-kini
Anak :
- Firman Jindra Satria (18)
- Firman Haryo Susilo (15)
- Firman Nur Jannah (11)
- Firman Jafar Tantowi (5)
Penghargaan :
- Juara I Festival Dalang Remaja Tingkat Jawa Tengah di Wonogiri, 1988
- Dalang Terbaik se-Indonesia pada Festival Wayang Indonesia, 2005
- Gelar Doktor Honoris Causa bidang seni budaya dari International University
Missouri AS, Laguna College of Bussines and Arts, Calamba, Filipina, 2005
- Rekor MURI sebagai dalang terkreatif dengan kreasi jenis wayang terbanyak
(1.491 wayang), 2007
- Pemuda Award Bidang Seni dan Budaya dari DPD Hipmi Jateng, 2005

Dalang wayang kulit dan wayang golek asal Kabupaten Tegal, jawa Tengah, Ki Enthus Susmono, berusaha mengikuti persoalan yang dihadapi masyarakat. Kelebihannya berimprovisasi dan menciptakan kreasi wayang membuat dia diperhitungkan di dunia seni pewayangan.

Oleh SIWI NURBIAJANTI

Akhir Januari lalu, karya wayang terbarunya, wayang Rai Wong atau wayang berwajah orang, dipamerkan di Museum Rotterdam, Belanda. Pameran yang rencananya berlangsung selama enam bulan itu bertajuk Wayang SuperstarThe Theaterworld of Ki Enthus Susmono. Pameran ini menampilkan wayang kulit dan wayang golek karya Enthus yang dimiliki Museum Tropen.
Jumlah wayang yang dipamerkan sebanyak 57 buah, diantaranya wayang berwajah George Bush, Saddam Hussein, dan Osama Bin Laden. Seusai pameran Juli nanti, Enthus akan mementaskan wayang kulit Rai Wong dengan lakon Dewa Ruci di Amsterdam, Dohctrect, dan Paris.
Popularitas Enthus sebagai dalang tak diperoleh dengan mudah, meski darah seni sang ayah, Soemarjadiharja, yang berprofesi sebagai dalang wayang kulit dan wayang golek, mengalirinya.
Meskipun lahir dari keluarga dalang, Enthus tidak diizinkan oleh ayahnya menjadi dalang. "alasan ayah saya, dadi dalang kuwi abot sanggane (menjadi dalang itu berat bebannya)," kata Enthus.
Ketika itu dia tak begitu mengerti makna ucapan sang ayah. Seiring berjalannya waktu, ia mulai memahami maksud sang ayah. Katanya, hal paling pokok yang sering terjadi pada dalang adalah manajemen keuangan yang salah. Dalang sering menggunakan manajemen ayam, yaitu langsung menghabiskan uang yang diperolehnya.
Oleh karena itulah, ayahnya tak ingin Enthus menjadi dalang. Dia diharapkan belajar sampai perguruan tinggi agar mempunyai bekal hidup cukup. Namun, sejak masih kecil ia justru sering mencuri kesempatan memainkan wayang milik ayahnya.

Disindir guru

Semangat Enthus untuk menggeluti dunia wayang terusik ketika ia disindir salah seorang gurunya. Saat itu ia duduk di bangku SMP Negeri 1 Tegal. Gurunya mengatakan, sebagai anak dalang kok dia tak bisa memainkan gending.
Merasa tertantang, ia lalu mengikuti kegiatan ekstra kurikuler karawitan. Enthus dibimbing gurunya, Prasetyo. Menurut dia, ilmu dari gurunya itu yang menjadi dasar kemahirannya memainkan gamelan dan mendalang.
"Bisa dikatakan, ilmu itu yang membuat saya bisa makan sampai sekarang," tuturnya.
Berkat latihan rutin karawitan, Enthus menjadi mahir memainkan kendang, hingga ia dijuluki teman-teman sebagai Enthus tukang kendang. Lulus SMP, ia bisa memainkan kendang untuk mengiringi tari Eko Prawiro.
Selepas SMPN 1 Tegal, ia melanjutkan belajar di SMAN 1 Tegal. Saat duduk di bangku SLTA inilah, ia mulai mendalang. Ini berawal dari acara lomba karya penegak pandega dalam kegiatan ekstra kurikuler pramuka.
Enthus mendalang menggunakan wayang dari batang pohon pisang dengan gamelan cangkem (suara mulut). Layar atau geber diikatkan pada tongkat pramuka yang dipegang teman-temannya.
"Lampu untuk penerangan dengan obor. Wayang yang dimainkan Punokawan," ceritanya.
Ternyata pentas sederhana itu mendapat sambutan para guru dan teman-temannya. Sejak saat itu ia sering diminta mendalang pada acara pramuka di sekolah-sekolah lain.
Melihat potensi Enthus dalam dunia pewayangan, salah seorang guru SMA-nya, Marwadi, mendatangi ayah Enthus untuk memintakan izin agar anak itu diperbolehkan mendalang. Dari sinilah hati ayahnya luluh, bahkan membuatkan geber kecil untuknya. Untuk latihan ia membuat wayang dari kertas yang diwarnai dengan cat air.
Saat lustrum V SMAN 1 Tegal pada 24 agustus 1983, Enthus diminta mendalang selama dua jam. Ketika itu sang ayah menyaksikan pementasannya. Setelah itu, tak hanya mengizinkan, ayahnya pun mewisuda Enthus sebagai dalang di hadapan warga setempat.
"Dia hanya berpesan agar saya memahami pakem kehidupan lebih dulu, sebelum belajar pakem wayang," katanya. Sejak itu, Enthus menjadi dalang yang sesungguhnya. Ia kerap diminta pentas di balai desa dan acara hajatan.

Ekonomi Keluarga

Februari 1984, Soemarjadiharja wafat dalam usia 55 tahun, karena sakit. Ketika itu Enthus duduk di kelas II SMA. Kepergian sang ayah mengakibatkan ekonomi keluarga itu terseok-seok.
Enthus pun mengambil alih peran sebagai kepala keluarga, untuk menghidupi ibu dan membiayai ssekolahnya. Ia juga harus menghidupi 11 anak pungut sang ayah. jadilah dia bersekolah pada pagi hari, dan malamnya mendalang untuk mendapat penghasilan.
Selepas SMA ia diterima di Jurusan Biologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Mengingat keterbatasan dana, kesempatan itu tak diambilnya. Ia juga mendaftar di Akabri, tapi tak diterima.
Memanfaatkan relasi sang ayah, Enthus terus mendalang.Ia pernah menjadi pembuat minuman di Akademi Seni dan Karawitan Indonesia (ASKI) Solo selama 1984-1986. Di sini pula ia belajar banyak hal dengan melihat bagaimana mahasiswanya berlatih.
"Di sini (ASKI), saya ketemu Pak Bambang Suwarno. Dia dosen yang mengajari saya menggambar," kenangnya.
Nama Enthus berkibar setelah dia memenangi Festival Dalang Remaja Tingkat Jawa Tengah di Wonogiri tahun 1988. Ia juga terus berkreasi mengembangkan berbagai jenis wayang sampai wayang Rai Wong.
Wayang Rai Wong dia buat untuk mengenalkan wayang klasik kepada orang yang baru mengenal wayang. Enthus mengakui, sebagai dalang ia tak terikat pakem sehingga dalam pementasan lebih sering menyesuaikan pada situasi dan suka memakai bahasa sehari-hari.
Hal itu dia lakukan sejak awal mendalang, mengingat banyak orang yang menjadi tanggungannya. "Jadi, wayang saya harus laku. Kalau ikut pakem, saya ada di urutan ke berapa?" tambahnya.
Namun, justru dari kondisi seperti itulah Enthus merasa lebih bebas bereksplorasi. Sanggar Satria Laras yang dikelolanya pun makin berkembang, dengan lebih dari 200 orang terlibat di dalamnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 27 FEBRUARI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar