Kamis, 05 Mei 2011

Kecintaan Edy kepada Lingkungan


DATA DIRI

Nama : Edy Suharyanto
Lahir : Bantul, DI Yogyakarta, 4 September 1962
Istri : Istiannah Mahmudah (41)
Anak :
- Annisa Fitriana Islamiyati (13)
- Fauzul Islam Romadhon (9)
- M Rais Islam (5)
Pendidikan :
- SD Sorobayan Bantul
- SMP Negeri Sanden Bantul
- SMA Negeri Bantul
- Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, lulus 1987
- Magister Manajemen Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional "Veteran"
Yogyakarta
Penghargaan : Juara I Kalpataru tingkat Provinsi DI Yogyakarta tahun 2009, untuk kategori Pembina Lingkungan

Lulus dari Jurusan Ilmu tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Edy Suharyanto malah terobsesi menjadi wartawan. Namun, ketika diterima sebagai pegawai negeri sipil, dia berusaha menikmatinya. Edy bahkan meraih penghargaan Kalpataru tingkat Provinsi DI Yogyakarta tahun 2009.

Oleh ENY PRIHTIYANI

Sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sejak 1989, ia bertugas di Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Merasa sejalan dengan ilmu yang digelutinya di kampus, Edy dapat menikmati pekerjaannya. Ia kemudian menjadi Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul pada 2007.
Jabatan itu tak membuat dia terlena. justru Edy merasa mempunyai tanggung jawab untuk memaknai tugasnya itu.
Berkat campur tangannya di bidang pertanian, ia berhasil menyabet juara pertama penghargaan Kalpataru tingkat Provinsi DI Yogyakarta tahun 2009 untuk kategori Pembina Lingkungan.
Salah satu gagasannya adalah pendirian pabrik petroganik di Bantul. pabrik hasil kerja sama Pemkab Bantul dengan PT Petrokimia Gresik ini mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik kemasan.
Pabriknya berlokasi di Desa Gadingharjo, Sanden, Bantul. Kapasitas produksinya sekitar 50 ton per bulan, diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan lokal Bantul, daerah yang sekitar 60 persen penduduknya adalah petani. Dengan memproduksi pupuk organik yang wujudnya mirip pupuk kimia tersebut, diharapkan penggunaan urea oleh petani Bantul berkurang.
"Ketergantungan petani terhadap urea membuat saya resah. Saya jadi terpikir untuk membuat pupuk organik, agar penggunaan urea berkurang. Selama ini petani enggan memakai pupuk organik karena merepotkan, kurang praktis. Untuk lahan 1 hektar, misalnya butuh satu ton pupuk. Jadi, kalau pupuk organik bisa dikemas seperti pupuk kimia, pasti pupuk organik pun diminati petani," tuturnya.
Dengan memanfaatkan kotoran sapi, lanjut Edy, pencemaran lingkungan pun berkurang. "Bila dibiarkan teronggok di sekitar kandang, kotoran sapi bisa menjadi sumber penyakit," katanya. Pemkab Bantul membeli kotoran sapi dari masyarakat seharga Rp 200 per kilogram, dalam kondisi kering.

Limbah pasar

Gagasan lain Edy yang juga bermanfaat bagi masyarakat adalah pengolahan limbah pasar tradisional menjadi pupuk kompos, meskipun baru sampah dari Pasar Bantul yang diolah. Tiap hari terkumpul 1 ton-2,5 ton sampah pasar, yang diolah menjadi sekitar 450 kilogram hingga 1 ton kompos.
Untuk mempermudah pengolahan sampah, pihaknya menyediakan 50 tong sampah besar di Pasar Bantul. Para pedagang mengisi tong-tong itu sesuai dengan jenis sampahnya.
Pengolahan sampah tersebut diserahkan kepada pihak ketiga. Pemkab Bantul hanya membeli kompos yang sudah jadi seharga Rp 400 per kg. Kompos itu dibagikan kepada petani sebagai subsidi. Sampai kini sudah diproduksi 200 ton kompos yang diolah oleh 23 kelompok warga.
Untuk masa depan, pengolahan sampah pasar akan diperluas ke Pasar Niten, Pasar Imogiri, dan Pasar Piyungan, DIY. Selain mendatangkan manfaat, pengolahan sampah pasar juga membuat suasana pasar lebih asri dan nyaman.
"Bayangkan kalau gundukan sampah memenuhi pasar. bau tak sedap jelas akan mengganggu kenyamanan pembeli. Mereka bisa jadi malas ke pasar tradisional," ujar penggemar masakan padang ini.
Mengolah kotoran dan sampah menjadi pupuk memang menjadi perhatiannya. Menurut Edy, ketergantungan petani pada pupuk kimia harus dikurangi secepat mungkin. Alasannya, penggunaan pupuk kimia secara berlebihan membuat tingkat kesuburan tanah berkurang.
Selain itu, ketergantungan terhadap pupuk kimia juga kerap memicu konflik karena sering kali terjadi ketidaksamaan data kuota pupuk bersubsidi dengan kebutuhan nyata.
Edy menegaskan, fungsi pupuk organik bukan menggantikan pupuk kimia karena kandungan unsur haranya lebih kecil. Namun, pupuk organik berguna untuk mengembalikan struktur tanahyang tingkat kesuburannya menurun akibat penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus dalam jangka panjang.

Pestisida nabati

Edy juga mengembangkan pestisida nabati. Beberapa jenis tanaman yang bisa dimanfaatkan antara lain tembakau, serai dapur, dan secang. Ada sembilan kelompok warga yang dia arahkan untuk memproduksi pestisida nabati, dengan target produksi sekitar 5.000 liter pada akhir tahun ini.
Katanya, kebanyakan petani selama ini relatif dimanjakan pestisida kimia. Padahal, penggunaan pestisida kimia secara berlebihan dan terus menerus itu justru menciptakan kekebalan bagi serangga dan hewan pengganggu tanaman lainnya.
"Semprotan pestisida kimia juga mencemari lingkungan," katanya.
Ruang lingkup yang menjadi perhatiannya tak berhenti sampai di sini. Mulai tahun 2005 dia juga turut menangani lingkungan di kawasan pesisir selatan. Setidaknya ada sekitar 1.100 hektar lahan yang tengah dikonservasi. Sebanyak 500 hektar di antaranya ditanami bibit pohon cemara laut dan akasia. Adapun sisanya dimanfaatkan untuk usaha tani produktif dengan sistem pengairan sumur renteng.
Upaya konservasi itu membuahkan hasil. Tiupan angin garam bisa dicegah masuk, dengan tanaman pangan dan hortikultura. Butiran pasir pun tak mencemari permukiman penduduk.

Sayuran organik

Kecintaan Edy terhadap lingkungan juga dibuktikan dengan mengajak warga menanam sayuran organik di polybag. Setidaknya ada sekitar 91.000 polybag yang disebar ke rumah penduduk di 34 desa di wilayah Bantul. Salah satunya di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak.
Program budidaya sayuran organik melalui polybag mulai dikembangkan di Desa gilangharjo pada Juni 2008. Di Dusun Kauman ada tiga RT yang mengembangkannya, yakni RT 01, RT 03, dan RT 06. Setiap warga menanam 200, 150 dan 100 polybag.
Pengembangan penanaman dengan polybag ditempuh Edy untuk mengatasi keterbatasan lahan di kawasan tersebut. selama ini petani lebih suka memanfaatkan lahan pertanian untuk tanaman padi dan palawija.
"Kalau mereka menanam sayuran di polybag, otomatis kesejahteraan keluarga juga ikut meningkat," katanya.
Sudah puaskah dia dengan segala kegiatan yang dilakukannya itu?.
"Sebagai PNS, tugas saya melayani masyarakat. Saya ingin petani-petani di Bantul bisa mengembangkan lahannya lebih profesional, agar nilai tambah yang mereka peroleh lebih besar," kata Edy yang tinggal di Dusun Nampan, Gadingsari, Sanden, Bantul, ini.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 22 JULI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar