Anak-anak dari keluarga kurang mampu umumnya tidak mendapatkan perhatian penuh dari orangtua yang harus bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga. Minimnya perhatian ini membuat mereka terlambat berkembang.
ASNAWATI
Lahir : Pontianak. 10 Juni 1969
Pendidikan :
- SD Negeri I Pontianak
- SMP Negeri 10 Pontianak
- SMA Purnama Pontianak
Suami : Bujang Kariman
Anak :
- Dina Suci Lestari (21)
- Andri Darmawan (17)
- Rahmat Ariyanto (10)
oleh AGUSTINUS HANDOKO
Kenyataan itu ditemui Asnawati saat mengunjungi permukiman kumuh yang umumnya dihuni keluarga kurang mampu di Kota Pontianak Kalimantan Barat, tahun 2006.
"Tuntutan ekonomi memaksa banyak orangtua meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil untuk pergi bekerja, bahkan sampai seharian. Anak-anak ini sangat rentan dan pasti terlambat berkembang," katanya.
Setelah berhenti bekerja, Asnawati punya banyak waktu luang. "Saya mengunjungi tempat-tempat kumuh di Pontianak. Saya berpikir, siapa tahu tenaga ini bisa disumbangkan untuk orang lain," katanya.
Dari sekedar kegiatan mengisi waktu luang, dia justru menemukan fenomena anak-anak yang tidak mendapat perhatian di permukiman kumuh. Kondisi anak-anak itu tidak bisa dibiarkan begitu saja.
"Lingkaran setan kemiskinan tidak akan bisa terputus kalau anak-anak tidak mendapat perhatian penuh, apalagi dibidang pendidikan," tutur Asnawati.
Keprihatinan itu mendorong dia berpikir apa yang bisa dilakukannya guna membantu anak-anak tersebut. Bersama organisasi wanita yang diikutinya, Asnawati menyusun rencana untuk mendirikan lembaga pendidikan gratis bagi anak-anak itu. Sebab, hampir tidak mungkin memungut biaya dari orangtua mereka.
Pemikiran Asnawati disetujui. Mereka mulai menawarkan rencana itu kepada para orangtua sank-anak di Kelurhan Mariana, Kecamatan Pontianak Barat.
"Orangtua anak-anak itu menyambut baik rencana ini,. Kami membuat lembaga pendidikan anak usia dini di Camar, Kelurahan Mariana," ujarnya.
Asnawati memilih lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) karena berbagai pertimbangan. "Anak-anak berusia dibawah lima tahun itu dalam masa pertumbuhan yang paling bagus. Sangat disayangkan kalau pada masa itu mereka tumbuh tak terkontrol hanya karena minimnya perhatian orangtua," tuturnya.
Alasan lainnya adalah karena sudah adanya lembaga pendidikan yang lebih tinggi dari PAUD dipermukiman warga kurang mampu tersebut. "Untuk pendidikan formal, infrastrukturnya tidak persoalan. Jadi, setelah melalui berbagai pertimbangan, PAUD adalah pilihan paling tepat," ungkapnya.
Memulai rencana menyelenggarakan pendidikan gratis tanpa modal uang, Asnawati bertemu donatur yang mendukungnya membuka lembaga pendidikan itu pada 2007. "Kami menyelenggarakan pendidikan itu di sebuah rumah tanpa perlu membayar sewa. Itu modal awalnya," katanya.
Dibantu suaminya, Bujang Kariman, Asnawati mengisi ruang-ruang belajar di rumah itu. "Suami saya membuatkan meja dan kursi dari kayu-kayu yang tidak terpakai di rumah. Dia juga menyisihkan sebagian penghasilannya untuk aktivitas saya," tuturnya.
Tak membedakan
Dalam beberapa bulan sejak dibuka, ssekitar 40 anak datang dan mengikuti kegiatan di lembaga yang diberi nama PAUD Uswatun Hasanah itu.
"Walaupun kami berangkat dari organisasi wanita Islam, kami juga menerima anak-anak non muslim. Kami tidak membedakan anak-anak itu berasal dari agama dan etnis apa. Sejak awal, kami terbuka untuk siapapun karena pada dasarnya anak-anak dari keluarga mampu itu membutuhkan pendidikan dini. Siapapun dia," tutur Asnawati.
Jumlah anak didik yang relatif banyak membuat Asnawati meminta bantuan sejumlah sahabatnya untuk mencarikan tutor. "Saya hanya bisa memberikan uang saku Rp.50.000 per bulan untuk setiap tutor. jadi mereka (para tutor) bisa dikatakan benar-benar mengajar secara sukarela," katanya.
Selain itu, guna mengatasi persoalan terlalu sibuknya orangtua bekerja, Asnawati juga mengembangkan PAUD ini menjadi tempat penitipan anak. Menurut dia, anak-anak tetap memerlukan perhatian selepas mengikuti sesi pelajaran di PAUD.
"Ditempat penitipan, anak-anak bisa melakukan kegiatan positif dibandingkan jika bermain sendiri di luar sana, tanpa pengawasan," katanya.
Setahun kemudian, Asnawati membuka lagi tempat pendidikan serupa di Gang Meranti, Jalan HOS Cokroaminoto, Kota Pontianak. Kondisi di tempat ini pun relatif tak berbeda dengan Kelurahan Mariana
"Banyak anak kurang mendapat perhatian karena orangtua mereka harus bekerja seharian dengan penghasilan yang relatif kecil. Apalagi orangtua saya pun mengizinkan kami menggunakan sebuah rumahnya untuk kegiatan ini," ujar Asnawati yang juga lahir dan dibesarkan di Gang Meranti.
Terpaksa iuran
Di kedua lembaga PAUD itu, Asnawati menyelenggarakan pendidikan gratis untuk anak-anak dari keluarga yang kurang mampu hingga 2009. Tidak hanya pelajaran, fasilitas belajar, seperti alat tulis pun diberikan kepada anak-anak itu.
Sayang seiring dengan semakin banyaknya anak-anak yang masuk lembaga PAUD itu, dana operasional mereka tidak lagi mencukupi. Di Gang Meranti saja tercatat sekitar 40 anak yang setiap hari datang.
"Daripada kegiatan ini ditutup, dengan berat hati kami lalu memungut iuran paling banyak Rp.5.000 per bulan dari orangtua anak-anak," ujar Asnawati yang menggunakan uang hasil iuran itu antara lain untuk membeli bahan pengajaran.
Kedua lembaga PAUD yang juga menjadi tempat penitipan anak itu, menurut Asnawati, setidaknya bisa menjadi jembatan bagi anak-anak kurng mampu agar mereka setara dengan anak lain. Hal itu dirasakan penting, terutama ketika mereka (terutama karena usianya) harus mengikuti pelajaran di sekolah dasar (SD).
"Kalau sebelum masuk SD tidak mendapatkan pendidikan yang layak, mereka akan selalu ketinggalan. Tetapi, setelah belajar disini, ketika masuk SD anak-anak dari permukiman kumuh dan dari keluarga kurang mampu itu tidak minder lagi. Mereka lebih percaya diri karena sudah bisa membaca dan menulis, sama dengan anak-anak yang lain," tutur Asnawati.
Kegigihan Asnawati telah membawa hasil. Berkat pendidikan di lembaga yang didirikannya itu, lebih dari 50 anak dari kawasan kumuh dan keluarga tidak mampu bisa belajar di sekolah dasar negeri.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 9 AGUSTUS 2010
ASNAWATI
Lahir : Pontianak. 10 Juni 1969
Pendidikan :
- SD Negeri I Pontianak
- SMP Negeri 10 Pontianak
- SMA Purnama Pontianak
Suami : Bujang Kariman
Anak :
- Dina Suci Lestari (21)
- Andri Darmawan (17)
- Rahmat Ariyanto (10)
oleh AGUSTINUS HANDOKO
Kenyataan itu ditemui Asnawati saat mengunjungi permukiman kumuh yang umumnya dihuni keluarga kurang mampu di Kota Pontianak Kalimantan Barat, tahun 2006.
"Tuntutan ekonomi memaksa banyak orangtua meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil untuk pergi bekerja, bahkan sampai seharian. Anak-anak ini sangat rentan dan pasti terlambat berkembang," katanya.
Setelah berhenti bekerja, Asnawati punya banyak waktu luang. "Saya mengunjungi tempat-tempat kumuh di Pontianak. Saya berpikir, siapa tahu tenaga ini bisa disumbangkan untuk orang lain," katanya.
Dari sekedar kegiatan mengisi waktu luang, dia justru menemukan fenomena anak-anak yang tidak mendapat perhatian di permukiman kumuh. Kondisi anak-anak itu tidak bisa dibiarkan begitu saja.
"Lingkaran setan kemiskinan tidak akan bisa terputus kalau anak-anak tidak mendapat perhatian penuh, apalagi dibidang pendidikan," tutur Asnawati.
Keprihatinan itu mendorong dia berpikir apa yang bisa dilakukannya guna membantu anak-anak tersebut. Bersama organisasi wanita yang diikutinya, Asnawati menyusun rencana untuk mendirikan lembaga pendidikan gratis bagi anak-anak itu. Sebab, hampir tidak mungkin memungut biaya dari orangtua mereka.
Pemikiran Asnawati disetujui. Mereka mulai menawarkan rencana itu kepada para orangtua sank-anak di Kelurhan Mariana, Kecamatan Pontianak Barat.
"Orangtua anak-anak itu menyambut baik rencana ini,. Kami membuat lembaga pendidikan anak usia dini di Camar, Kelurahan Mariana," ujarnya.
Asnawati memilih lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) karena berbagai pertimbangan. "Anak-anak berusia dibawah lima tahun itu dalam masa pertumbuhan yang paling bagus. Sangat disayangkan kalau pada masa itu mereka tumbuh tak terkontrol hanya karena minimnya perhatian orangtua," tuturnya.
Alasan lainnya adalah karena sudah adanya lembaga pendidikan yang lebih tinggi dari PAUD dipermukiman warga kurang mampu tersebut. "Untuk pendidikan formal, infrastrukturnya tidak persoalan. Jadi, setelah melalui berbagai pertimbangan, PAUD adalah pilihan paling tepat," ungkapnya.
Memulai rencana menyelenggarakan pendidikan gratis tanpa modal uang, Asnawati bertemu donatur yang mendukungnya membuka lembaga pendidikan itu pada 2007. "Kami menyelenggarakan pendidikan itu di sebuah rumah tanpa perlu membayar sewa. Itu modal awalnya," katanya.
Dibantu suaminya, Bujang Kariman, Asnawati mengisi ruang-ruang belajar di rumah itu. "Suami saya membuatkan meja dan kursi dari kayu-kayu yang tidak terpakai di rumah. Dia juga menyisihkan sebagian penghasilannya untuk aktivitas saya," tuturnya.
Tak membedakan
Dalam beberapa bulan sejak dibuka, ssekitar 40 anak datang dan mengikuti kegiatan di lembaga yang diberi nama PAUD Uswatun Hasanah itu.
"Walaupun kami berangkat dari organisasi wanita Islam, kami juga menerima anak-anak non muslim. Kami tidak membedakan anak-anak itu berasal dari agama dan etnis apa. Sejak awal, kami terbuka untuk siapapun karena pada dasarnya anak-anak dari keluarga mampu itu membutuhkan pendidikan dini. Siapapun dia," tutur Asnawati.
Jumlah anak didik yang relatif banyak membuat Asnawati meminta bantuan sejumlah sahabatnya untuk mencarikan tutor. "Saya hanya bisa memberikan uang saku Rp.50.000 per bulan untuk setiap tutor. jadi mereka (para tutor) bisa dikatakan benar-benar mengajar secara sukarela," katanya.
Selain itu, guna mengatasi persoalan terlalu sibuknya orangtua bekerja, Asnawati juga mengembangkan PAUD ini menjadi tempat penitipan anak. Menurut dia, anak-anak tetap memerlukan perhatian selepas mengikuti sesi pelajaran di PAUD.
"Ditempat penitipan, anak-anak bisa melakukan kegiatan positif dibandingkan jika bermain sendiri di luar sana, tanpa pengawasan," katanya.
Setahun kemudian, Asnawati membuka lagi tempat pendidikan serupa di Gang Meranti, Jalan HOS Cokroaminoto, Kota Pontianak. Kondisi di tempat ini pun relatif tak berbeda dengan Kelurahan Mariana
"Banyak anak kurang mendapat perhatian karena orangtua mereka harus bekerja seharian dengan penghasilan yang relatif kecil. Apalagi orangtua saya pun mengizinkan kami menggunakan sebuah rumahnya untuk kegiatan ini," ujar Asnawati yang juga lahir dan dibesarkan di Gang Meranti.
Terpaksa iuran
Di kedua lembaga PAUD itu, Asnawati menyelenggarakan pendidikan gratis untuk anak-anak dari keluarga yang kurang mampu hingga 2009. Tidak hanya pelajaran, fasilitas belajar, seperti alat tulis pun diberikan kepada anak-anak itu.
Sayang seiring dengan semakin banyaknya anak-anak yang masuk lembaga PAUD itu, dana operasional mereka tidak lagi mencukupi. Di Gang Meranti saja tercatat sekitar 40 anak yang setiap hari datang.
"Daripada kegiatan ini ditutup, dengan berat hati kami lalu memungut iuran paling banyak Rp.5.000 per bulan dari orangtua anak-anak," ujar Asnawati yang menggunakan uang hasil iuran itu antara lain untuk membeli bahan pengajaran.
Kedua lembaga PAUD yang juga menjadi tempat penitipan anak itu, menurut Asnawati, setidaknya bisa menjadi jembatan bagi anak-anak kurng mampu agar mereka setara dengan anak lain. Hal itu dirasakan penting, terutama ketika mereka (terutama karena usianya) harus mengikuti pelajaran di sekolah dasar (SD).
"Kalau sebelum masuk SD tidak mendapatkan pendidikan yang layak, mereka akan selalu ketinggalan. Tetapi, setelah belajar disini, ketika masuk SD anak-anak dari permukiman kumuh dan dari keluarga kurang mampu itu tidak minder lagi. Mereka lebih percaya diri karena sudah bisa membaca dan menulis, sama dengan anak-anak yang lain," tutur Asnawati.
Kegigihan Asnawati telah membawa hasil. Berkat pendidikan di lembaga yang didirikannya itu, lebih dari 50 anak dari kawasan kumuh dan keluarga tidak mampu bisa belajar di sekolah dasar negeri.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 9 AGUSTUS 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar