"kalau mau ambil foto saya, bolehlah, tetapi jangan ambil pisau saya," kata Ahmad Rosadi tertawa, sambil menyerut bambu di bengkel kerjanya, sentra industri Angklung Saung Udjo, Padasuka, Kelurahan Pasir Layung, Kecamatan Cibeunying, Bandung, Jawa Barat.
AHMAD ROSADI ALIAS RAHMAT
Lahir : Jakarta, 28 Agustus 1952
Alamat : Babakan Baru, Padasuka, Kecamatan Cibeunying Kidul, Bandung
Istri : Elis Mintarsih (49)
Anak :
- Rizal Maulana (29)
- Fauzi Rimbawan (26)
- M Malik Andani (20)
- Taufik Hidayat (14)
Pendidikan :
- Sekolah Dasar, lulus tahun 1964
- SMP Kelas I tahun 1965
Oleh KHAERUL ANWAR dan GREGORIUS MAGNUS FINESSO
Di balik kelakar itu, Rahat, panggilan Ahmad Rosadi- menegaskan bahwa pisau serut adalah "nyawa" bagi rahmat dan para perajin angklung, untuk memotong dan memperhalus bambu bakal instrumen tersebut. Jika pisau diambil, hilang pula sumber nafkah mereka.
"Kalau sudah cocok (dengan pisau ini), dibeli dengan harga mahalpun saya tolak," ujar Rahmat, yang memiliki pisau serut "bermata", menyerupai sendok.
Saat menghadiri Kongres Kebudayaan Nasional 2008 di Jakarta, seseorang asal Papua menawar pisau yang dipakai Rahmat seharga Rp.500.000,- Tawaran itu serta merta ditolaknya.
Agaknya, pisau itu juga saksi sejarah yang menemani Rahmat sejak masih belajar membuat angklung hingga kini. Ia menjadi "dokter" pelaras nada angklung, karena keterampilannya sebagai penyetem angklung, pada dasawarsa 1990-an Rahmat kerap dipanggil grup kesenian angklung di Semrang, Yogyakarta, dan Salatiga, bahkan juga di Surabaya dan Pasuruan.
"Biasanya nada angklung baru normal setelah empat tahun. awalnya, Angklung mesti sering disetem sebab bambunya perlu beradaptasi dengan iklim," ungkap Rahmat. Dalam sehari, dia bisa membuat empat angklung siap pakai.
Proses panjang
Lelaki yang memiliki darah seni dari ayahnya-almarhum H Ahmad Djajadi, anggota Grup Samrah di Jakarta- itu belajar dari seorang tetangganya yang mahir membuat angklung.
Mang Udjo Ngalagena (almarhum), seniman legendaris kesenian angklung Sunda dan Daeng Sutigna (almarhum)yangmemelopori angklung diatonis, adalah guru yang sangat dihormati Rahmat.
Ilmu yang didapat dari para guru itu dia terapkan dalam karyanya. Tak pelak, banyak bambu yang terbuang karena salah potong atau tidak pas dengan nada yang diinginkan. Bahkan dalam proses belajar itu, "tangan saya sering luka dan terpaksa dijahit karena pisau sewaktu meraut bambu,"
Lambat laun, pengetahuan Rahmat bertambah, seperti ilmu mengenai semakin dekat jarak antarbuku sebuah bambu, semakin tinggi suara yang dihasilkan. Sebaliknya, kian jauh jarak antarbuku, kian rendah pula suara yang dihasilkan.
Pada tahun 1976, Rahmat, yang semula bekerja serabutan, mulai konsentrasi di sanggar kesenian Saung Angklung Udjo yang kini dpimpin Taufik Hidayat Udjo.
Menurut Direktur Operasional PT Saung Angklung Udjo, Satria Yanuar Angganasastra, produksi angklung sanggar itu mencapai 20.000 buah sebulan, dengan omzet sekitar Rp.2 miliar setahun. Alat musik tersebut juga diekspor ke Korea, Jepang, Thailand, Malaysia, kecuali untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Bisa dibayangkan kesibukan di sanggar tersebut, mulai dari petugas sanggar yang melayani hilir mudik wisatawan membeli cenderamata sampai kesibukan perajin pembuat angklung.
Ada suara parang dan gergaji yang beradu dengan bambu, denting suara angklung, dipadu suara rampak gendang, suling dan rebab. Tak ketinggalan lenggak lenggok tubuh remaja putra-putri yang tengah berlatih menari dan alunan kidung tatar Sunda, mengisi hari-hari di sanggar obyek wisata di Bandung tersebut.
Sentra tersebut menghidupi 300 perajin di sekitarnya, termasuk Rahmat. Meski perajin pada bagian kerja yang dia kuasai itu terbatas jumlahnya, justru disitulah rahmat punya pern penting, setidaknya menjaga kepercayaan konsumen agar produk angklung memenuhi standar kualitas ekpor.
Dipengaruhi rasa
Tugasnya memang penting, yakni sebagai penyelaras nada angklung. Rahmat mampu melahirkan produkyang patut dibanggakan. Kemampuannya terlihat di bengkel kerja itu. Di sebelah kursinya ada balira (atau kulintang) dan tuner elektrik sebagai pedoman pengukur nada. Meski sebenarnya, dia lebih mengandalkan pendengaran dan perasaan (feeling)-nya.
Tabung angklung akan dirautnya sampai selaras dengan indera pendengar dan "kata hatinya"
Kepekaan perasaan itu didapat Rahmat setelah selama 33 tahun lebih menekuni angklung. "yang paling enak membuat angklung itu seusai shalat subuh, pukul lima sampai pukul tujuh. dalam suasana batin tenang, pikiran jernih,dan lingkungan relatif sepi, nyetem sebentar saja langsung dapet," ucapnya seraya menepuk dada.
Karena saban hari menggeluti bunyi dan nada, Rahmat bisa menghapal di luar kepala nada suara tetangganya yang bicara, tanpa melihat wajah si pembicara. Hebatnya lagi, Rahmat tidak pernah belajar musik secara formal. Pendidikannya putus pada kelas I SMP.
Pengetahuan musik dia peroleh dari membaca buku kesenian, dan belajar dari orang lain. Pengetahuan membuat angklung yang susah didapat itu tidak membuat dia pelit menularkannya kepada teman sesama perajin.
"Modal saya adalah semangat dan keringat. Siapapun yangmau belajar, saya ajarkan. Kalaupun dari semangat dan keringat saya itu ada yang jadi terkenal, itu soal lain," ucapnya. dari menularkan ilmunya itu Rahmat justru memiliki banyak sahabat.
Dia enggan membeberkan manfaat ekonomi dari kerja kerasnya selama ini. Ia memberi ilustrasi, nafkah hariannya terpenuhi, juga bisa punya rumah. Tiga anaknya pun bisa bersekolah sampai perguruan tinggi, dan seorang di antaranya masih kelas II SMP.
Boleh dibilang keberadaan Rahmat di sanggar itu menyempurnakan teknis pembuatan angklung yang sudah dianggap sebagai pakem. Misalnya, menemukan titik simpul lubang tabung angklung, yang semula letaknya terlalu tinggi dan rendah sehingga suara yang dihasilkan masih fals.
Letak lubang titik simpul sekitar seperempat bagian dari panjang tabung diukur dari atas, yang juga berfungsi untuk menggantung kedua tabung angklung itu, digeser beberapa sentimeter sehingga melahirkan nada yang pas. Itu dia temukan setelahdua tahun menggeluti angklung.
Hampir separuh usia Rahmat habiskan untuk melestarikan alat musik warisan leluhur Sunda. Tak heran kalau rasa nasionalismenya terusik ketika produk budaya Tanah Air tersebut di klaim oleh bangsa lain.
Makanya, Rahmat ingin, "Orang-orang mau bermain angklung, memakai baju batik , sambil menyanyikan lagu 'Rasa Sayang-sayange', agar seni seni budaya kita tidak diakui oleh negara lain,"
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 10 NOVEMBER 2009
AHMAD ROSADI ALIAS RAHMAT
Lahir : Jakarta, 28 Agustus 1952
Alamat : Babakan Baru, Padasuka, Kecamatan Cibeunying Kidul, Bandung
Istri : Elis Mintarsih (49)
Anak :
- Rizal Maulana (29)
- Fauzi Rimbawan (26)
- M Malik Andani (20)
- Taufik Hidayat (14)
Pendidikan :
- Sekolah Dasar, lulus tahun 1964
- SMP Kelas I tahun 1965
Oleh KHAERUL ANWAR dan GREGORIUS MAGNUS FINESSO
Di balik kelakar itu, Rahat, panggilan Ahmad Rosadi- menegaskan bahwa pisau serut adalah "nyawa" bagi rahmat dan para perajin angklung, untuk memotong dan memperhalus bambu bakal instrumen tersebut. Jika pisau diambil, hilang pula sumber nafkah mereka.
"Kalau sudah cocok (dengan pisau ini), dibeli dengan harga mahalpun saya tolak," ujar Rahmat, yang memiliki pisau serut "bermata", menyerupai sendok.
Saat menghadiri Kongres Kebudayaan Nasional 2008 di Jakarta, seseorang asal Papua menawar pisau yang dipakai Rahmat seharga Rp.500.000,- Tawaran itu serta merta ditolaknya.
Agaknya, pisau itu juga saksi sejarah yang menemani Rahmat sejak masih belajar membuat angklung hingga kini. Ia menjadi "dokter" pelaras nada angklung, karena keterampilannya sebagai penyetem angklung, pada dasawarsa 1990-an Rahmat kerap dipanggil grup kesenian angklung di Semrang, Yogyakarta, dan Salatiga, bahkan juga di Surabaya dan Pasuruan.
"Biasanya nada angklung baru normal setelah empat tahun. awalnya, Angklung mesti sering disetem sebab bambunya perlu beradaptasi dengan iklim," ungkap Rahmat. Dalam sehari, dia bisa membuat empat angklung siap pakai.
Proses panjang
Lelaki yang memiliki darah seni dari ayahnya-almarhum H Ahmad Djajadi, anggota Grup Samrah di Jakarta- itu belajar dari seorang tetangganya yang mahir membuat angklung.
Mang Udjo Ngalagena (almarhum), seniman legendaris kesenian angklung Sunda dan Daeng Sutigna (almarhum)yangmemelopori angklung diatonis, adalah guru yang sangat dihormati Rahmat.
Ilmu yang didapat dari para guru itu dia terapkan dalam karyanya. Tak pelak, banyak bambu yang terbuang karena salah potong atau tidak pas dengan nada yang diinginkan. Bahkan dalam proses belajar itu, "tangan saya sering luka dan terpaksa dijahit karena pisau sewaktu meraut bambu,"
Lambat laun, pengetahuan Rahmat bertambah, seperti ilmu mengenai semakin dekat jarak antarbuku sebuah bambu, semakin tinggi suara yang dihasilkan. Sebaliknya, kian jauh jarak antarbuku, kian rendah pula suara yang dihasilkan.
Pada tahun 1976, Rahmat, yang semula bekerja serabutan, mulai konsentrasi di sanggar kesenian Saung Angklung Udjo yang kini dpimpin Taufik Hidayat Udjo.
Menurut Direktur Operasional PT Saung Angklung Udjo, Satria Yanuar Angganasastra, produksi angklung sanggar itu mencapai 20.000 buah sebulan, dengan omzet sekitar Rp.2 miliar setahun. Alat musik tersebut juga diekspor ke Korea, Jepang, Thailand, Malaysia, kecuali untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Bisa dibayangkan kesibukan di sanggar tersebut, mulai dari petugas sanggar yang melayani hilir mudik wisatawan membeli cenderamata sampai kesibukan perajin pembuat angklung.
Ada suara parang dan gergaji yang beradu dengan bambu, denting suara angklung, dipadu suara rampak gendang, suling dan rebab. Tak ketinggalan lenggak lenggok tubuh remaja putra-putri yang tengah berlatih menari dan alunan kidung tatar Sunda, mengisi hari-hari di sanggar obyek wisata di Bandung tersebut.
Sentra tersebut menghidupi 300 perajin di sekitarnya, termasuk Rahmat. Meski perajin pada bagian kerja yang dia kuasai itu terbatas jumlahnya, justru disitulah rahmat punya pern penting, setidaknya menjaga kepercayaan konsumen agar produk angklung memenuhi standar kualitas ekpor.
Dipengaruhi rasa
Tugasnya memang penting, yakni sebagai penyelaras nada angklung. Rahmat mampu melahirkan produkyang patut dibanggakan. Kemampuannya terlihat di bengkel kerja itu. Di sebelah kursinya ada balira (atau kulintang) dan tuner elektrik sebagai pedoman pengukur nada. Meski sebenarnya, dia lebih mengandalkan pendengaran dan perasaan (feeling)-nya.
Tabung angklung akan dirautnya sampai selaras dengan indera pendengar dan "kata hatinya"
Kepekaan perasaan itu didapat Rahmat setelah selama 33 tahun lebih menekuni angklung. "yang paling enak membuat angklung itu seusai shalat subuh, pukul lima sampai pukul tujuh. dalam suasana batin tenang, pikiran jernih,dan lingkungan relatif sepi, nyetem sebentar saja langsung dapet," ucapnya seraya menepuk dada.
Karena saban hari menggeluti bunyi dan nada, Rahmat bisa menghapal di luar kepala nada suara tetangganya yang bicara, tanpa melihat wajah si pembicara. Hebatnya lagi, Rahmat tidak pernah belajar musik secara formal. Pendidikannya putus pada kelas I SMP.
Pengetahuan musik dia peroleh dari membaca buku kesenian, dan belajar dari orang lain. Pengetahuan membuat angklung yang susah didapat itu tidak membuat dia pelit menularkannya kepada teman sesama perajin.
"Modal saya adalah semangat dan keringat. Siapapun yangmau belajar, saya ajarkan. Kalaupun dari semangat dan keringat saya itu ada yang jadi terkenal, itu soal lain," ucapnya. dari menularkan ilmunya itu Rahmat justru memiliki banyak sahabat.
Dia enggan membeberkan manfaat ekonomi dari kerja kerasnya selama ini. Ia memberi ilustrasi, nafkah hariannya terpenuhi, juga bisa punya rumah. Tiga anaknya pun bisa bersekolah sampai perguruan tinggi, dan seorang di antaranya masih kelas II SMP.
Boleh dibilang keberadaan Rahmat di sanggar itu menyempurnakan teknis pembuatan angklung yang sudah dianggap sebagai pakem. Misalnya, menemukan titik simpul lubang tabung angklung, yang semula letaknya terlalu tinggi dan rendah sehingga suara yang dihasilkan masih fals.
Letak lubang titik simpul sekitar seperempat bagian dari panjang tabung diukur dari atas, yang juga berfungsi untuk menggantung kedua tabung angklung itu, digeser beberapa sentimeter sehingga melahirkan nada yang pas. Itu dia temukan setelahdua tahun menggeluti angklung.
Hampir separuh usia Rahmat habiskan untuk melestarikan alat musik warisan leluhur Sunda. Tak heran kalau rasa nasionalismenya terusik ketika produk budaya Tanah Air tersebut di klaim oleh bangsa lain.
Makanya, Rahmat ingin, "Orang-orang mau bermain angklung, memakai baju batik , sambil menyanyikan lagu 'Rasa Sayang-sayange', agar seni seni budaya kita tidak diakui oleh negara lain,"
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 10 NOVEMBER 2009
Perusahaan kami menyediakan sewa dan jual tenda roder, umumnya tenda ini memiliki beberapa pilihan produk. Tenda ini sendiri mampu mengakomodasi kebutuhan dan juga kenyamann di dalamnya, walaupun cuaca diluar cukup mengganggu. Kekuatan tenda inilah yang menjadikan tenda ini menjadi pilihan utama yang sering digunakan untik posko - posko keamanan dan darurat.
BalasHapusTenda ini juga dapat menyesuaikan kebutuhan. selain ukuran yang dapat disesuaikan tenda roder ini juga dapat ditambahkan ornamen - ornamen seperti pintu dan jendela pada atap dan dinding.
Tenda Roder bisa di bangun dengan penutup PVC putih dan transparan.
Tenda Roder PVC putih
Jenis tenda ini dapat menjadi pilihan bagi anda yang ingin menyelenggarakan acara secara komersil atau lebih tertutup. Selain itu juga jenis tenda ini banyak digunakan untuk tenda gudang pabrik.
Tenda Transparan
Tenda ini memiliki kesan yang artistik dan elegan sangat cocok digunakan untuk acara yang bersifat terbuka. Tenda ini juga biasa digunakan untuk launching produk, wedding, event, DLL. Jenis tenda ini sangat cocok untuk anda yang menginginkan tampilan cantik.
Tersedia ukuran 10m, 15m, dan 20 m. dengan panjang kebelakang mulai bentangan 5m.
Rangka alumuniun.
Melayani seluruh Indonesia, Jabodetabek maupun Luar Jabodetabek.
Segera hubungi nomor dibawah ini untuk informasi lebih lanjut.
Telp / wa ; 081316140397 rahma.
office ; Ruko Cendana raya NO. 15A, Bencongan indah, karawaci tangerang.
https://tendagudangjakarta.blogspot.com/
#tendamurah #sewatendamurah #jualtenda #jualtendamurah #jualsewatenda #jualsewatendamurah #tendamembran #tendahanggar #tendasarnafil #tendabazar #tendakerucut #tendagudang #tendajualan #tendadarurat #tendavaksin #tendaevent #tendaroder #tendapabrik #tendacafe #tendajabodetabek #tendatangerang #tendabogor #tendalaris #tendakerucut #tendapameran #tendakarnaval #tendavaksinasi #tendakerucut #tenda #jualtenda #jualtendajakarta