Rabu, 11 Agustus 2010

Sago, Kekuasaan untuk Kedaulatan Pangan

Tawaran menjadi wali nagari menyadarkan Sago Indra bahwa ada kekuasaan yang bisa dipegangnya untukmengubah keadaan kampung halaman. Kini kekuasaan itu diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Nagari Situjuah Gadang, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Data diri

Nama : Sago Indra
Lahir : Situjuah Gadang, Sumatera Barat, 25 Oktober 1969
Istri : Aswira
Anak :
- Arefa
- Alam
Pendidikan : Sarjana Hukum Universitas Andalas

Oleh AGNES RITA SULISTYAWATY

Nagari-setingkat desa tempat kelahiran Sago merupakan daerah pertanian di Sumatera Barat. Pria yang sebelumnya aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat ini tidak pernah berambisi menjadi pemimpin di kampungnya.
Suatu ketika sejumlah orang tua datang dan memintanya mencalonkan diri sebagai wali nagari (setara kepala desa). Dia sempat menolak. " Lalu saya pikir-pikir, kalau ada kekuasaan tidak terbatas sebagai pemimpin di kampung mengapa tidak saya ambil. Menjadi wali nagari bisa membuat saya mengerjakan sesuatu yang riil untuk warga nagari," kenang Sago.
Tahun 2005 dia pun mendaftarkan diri sebagai kandidat wali nagari bersama tiga calon lain. Tidak ada kampanye yang dibuatnya, apalagi bagi-bagi uang untuk meraup suara. namun, saat pemungutan suara Sago meraih 1.200 suara dari 3.200 pemilih.
Sago memegang mandat sebagai wali nagari dengan warisan utang Rp.8 juta dan uang kas Rp.242.000. Dua tahun pertama urusan penataan organisasi menjadi fokus pekerjaannya.
Akhir tahun 2005 Sago merampungkan penyusunan rencana strategis Nagari Situjuah Gadang. Rencana itu didesain sebagai penuntun arah pembangunan nagari selama 25 tahun mendatang. Peraturan yang disepakati bersama pemuka di Situjuah Gadang itu berisi aneka hal, antara lain fokus pembangunan dan hubungan antara kelompok kepentingan di nagari. Salah satu arah yang disasar adalah mewujudkan kedaulatan pangan di nagari.
Dengan rencana yang begitu ketat, Sago berani menolak bantuan yang tidak sesuai dengan rencana strategis, salah satunya adalah pembangunan irigasi senilai Rp.200 juta -Rp.300 juta. Dia beralasan, pebangunan irigasi harus sesuai dengan rencana strategis nagari.
"Jika tidak sesuai, itu akan mengubah alur air. Adapun daya tahan instalasi irigasi hanya sekitar lima tahun," ucap Sago.
Pembangunan jalan juga diarahkan untuk membuka akses ke suatu lahan pertanian. Penyelarasan dana pembangunan dengan dunia pertanian disinkronkan dengan rencananya.
Dalam berbagai hal, kebijakan Sago kerap membuat pejabat di tingkat kabupaten bingung. Selain harus menyesuaikan dengan rencana strategis nagari, para pejabat juga sering diberi kejutan, antara lain ketika Sago menolak pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Waktu awal menjabat kemampuan masyarakat Situjuah Gadang membayar PBB masih rendah. PBB tidak bisa dibayarkan utuh. "Saya menolak melunasi PBB dengan uang nagari, seperti yang biasa dilakukan di nagari atau bahkan desa lain. Saya memilih memakai uang nagari untuk membangun nagari dan membayar PBB sesuai kemampuan masyarakat," ujar Sago.
Uang untuk membangun daerah sangat minim, lantaran sebagian besar porsi uang nagari sudah terserap untuk membayar honor pegawai. Sebagai contoh, dari Rp.125 juta uang nagari dari Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2008, hanya tersisa Rp. 9 juta untuk pembangunan desa selama setahun. Selebihnya habis untuk membayar gaji 14 petugas nagari.
Peningkatan ekonomi warga lewat kegiatan pertanian menjadi salah satu fokus Sago.

Fokus pertanian

Awal menjabat sesbagai wali nagari, Sago menghadapi petani yang miskin. Padahal, sekitar 80 persen dari total 1.481 kepala keluarga di Situjuah Gadang adalah petani.
"Mereka miskin secara ekonomi dan miskin pendidikan sehingga tidak mengetahui cara lain untuk bertani, selain yang mereka lakukan sehari-hari," ujar Sago mengenang tahun 2005 ketika pertama memangku jabatan itu.
Pendidikan menjadi pintu masuk bagi Sago untuk mengenalkan metode pertanian organik. Lahan-lahan pelbelajaran dibuat di nagari yang memiliki sekitar 1.200 hektar lahan pertanian. Setiap saat ada saja petani yang belajar metode bertani organik. Bertani organik mendapat tempat di sebagian petani Situjuah gadang, terlebih ketika pupuk kimia dan pestisida semakin langka dan mahal harganya.
Tahun 2008, Sago dan petani di Situjuah Gadang mendeklarasikan "nagari Organik", satu-satunya di di Sumatera Barat. Dalam skala nagari, Situjuah Gadang inilah yang berani memproklamasikan arah nagarinya.
Memang, ideologi pertanian organik tidak serta merta dipeluk oleh petani di nagari itu.
Hingga kini baru sekitar 20 persen petani di Situjuah gadang yang menggunakan metode organik. namun, deklarasi nagari organik membuat petani setempat mempunyai pilihan untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Ada sejumlah kendala yang masih dihadapi Sago dalam memajukan pertanian nagari. Salah satunya adalah keterbatasan "pabrik" pupuk alias ternak yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk kandang.
Kotoran ternak yang semula diperlakukan sebagai limbah kini sudah menjadi komoditas perdagangan. "Kini sekarung kotoran sapi harganya antara Rp.7.000 sampai Rp.8.000 ucap Sago.
Beberapa kasus serupa tentang ketidak seimbangan pasokan dengan permintaan bahan baku dijumpai Sago, ketika menggulirkan sejumlah pilihan usaha bidang pertanian. " Memang masih banyak yang harus dibenahi," katanya.
Selain segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah pertanian, Sago juga mendirikan Bank Petani, sebuah lembaga keuangan mikro agribisnis (LKMA). Bank yang resmi berdiri Desember 2008 ini dimulai dari donasi jejaring Sago. Bermodal awal Rp.20 juta, bank yang mengambil semangat koperasi kredit ini sudah mengumpulkan aset Rp.150 juta.
"Dulu masyarakat yang ekonominya pas-pas an harus berhutang ke bank atau rentenir yang menetapkan bunga tinggi demi mendapatkan uang Rp.200.000 atau Rp.300.000. Sekarang, kami menawarkan Bank Petani untuk pinjaman ssampai Rp.750.000. Peminjam bebas menentukan balas jasa atas pinjaman serta jangka waktu pengembalian," kata Sago.
Persoalan lain yang masih menjadi pekerjaan rumah Sago adalah melindungi tanah ulayat dengan peraturan nagari . Sago melihat peraturan agraria di Sumatera Barat masih melemahkan petani dan condong membela kepentingan investor.
tanah dengan mudah disewa investor dari luar, denganjangka waktu peminjaman sampai 95 tahun. Dengan waktu yang terlampau lama itu, petani jelas dirugikan. Mereka hanya bisa melihat tanah mereka ditanami aneka komoditas perkebunan.
"Memang seakan-akan adat menghambat masuknya investor. Namun, memang begitulah peran adat. Adat harus melindungi kepentingan masyarakat," papar Sago.
Semua ini dilakukan Sago demi mewujudkan mimpi besarnya: kedaulatan pangan bagi nagari yang dipimpinnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 2 OKTOBER 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar