Dibalik sosoknya yang tampak ringkih, Gabriela uran menyimpan buncahan energi yang mengubah kekeringan menjadi kesuburan dan skeptisisme menjadi keyakinan akan perubahan.
GABRIELA URAN
Lahir : Flores Timur, 26 Mei 1966
Pendidikan : S-1 Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa
Cendana
Pengalaman Kerja :
- 1991-1997; Yayasan Tanahnua (YTN)
- Sejak 1999; Yayasan Komodo Indonesia Sejahtera (Yakines)
- Mengikuti berbagai pelatihan, seminar, dan lokakarya serta menjadi narasumber dan fasilitator
berbagai lokakarya menyangkut pemberdayaan masyarakat desa
Oleh MARIA HARTININGSIH
"Air bersih mengubah banyak hal secara perlahan," ujar Ela, begitu ia disapa, pada suatu siang di kantornya di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Tak mudah mengubah kondisi yang lahir dari tradisi bahwa perempuan hanyalah "pelengkap penderia". Di luar tradisi belis (mahar) saat perempuan hendak menikah di Manggarai, "perempuan tak dapat hak waris, tetapi harus ikut bertanggung jawab terhadap kebutuhan saudara laki-lakinya," ujar Ela. Tradisi pula yang melahirkan pesta keluarga dan sosial yang sedikitnya empat kali setahun dan berpotensi mengurs simpanan keluarga.
Posisi tawar perempuan yang secara umum rendah memperlihatkan kenyataan yang berpunggungan. Salah satunya kondisi menetap rawan gizi pada anak, sementara konsumsi rokok laki-laki di satu desa mencapai Rp.1,3 miliar setahun.
"kami ajak perempuan menghitung belanja rumah tangga mereka per hari. Ini adalah bagian dari kerja pemberdayaan," ujar Ela, nakhoda Yayasan Komodo Indonesia Sejahtera (Yakines), yang bekerja di akar rumput untuk pemberdayaan petani miskin, khususnya perempuan.
Peran perempuan
Perubahan berawal saat Yakines bekerja sama dengan organisasi non pemerintah dari Yogyakarta, memulai pembangunan sarana air bersih di empat kampung di Manggarai. Persiapan sosial dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya diskusi dengan ketua adt setempat, seperti Tua Golo.
"kami sepakat, kalau mau ada pembangunan sarana air bersih, Ketua Organisasi Pengelola Air atau OPA, wajib perempuan. Kalau laki-lakinya tidak mau, kami cari kampung yang mau perempuan jadi ketua OPA.
masuknya perempuan dalam aktivitas vital di kampung telah merobek ruang kebisuan yang diciptakan secara sistematis oleh budaya. "Dulu, kalau ada rapat di rumah ketua adat, yang boleh bicara hanya laki-laki, sekarang rapat di rumah gendang tentang air, perempuan yang memimpin, mereka bicara lantang."
Proses ini membedakannya dengan proyek air bersih yang gagal sebelumnya karena tak ada organisasi pengelola air. OPA tak hanya mengurus soal teknis, tetapi juga berperan dalam perubahan perilaku. OPA juga menyentuh soal krusial lain, seperti kesehatan ibu dan anak, gizi anak dan partisipasi perempuan. "Melalui OPA, perempuan memperlihatkan potensinya sebagai agen perubahan," kata Ela.
Air bersih menggerakkan warga petani yang mau mendapatkan air bersih harus aktif daam kegiatan lumbung pangan, lumbung padi, dan lumbung kebun, yang digagas Yakines bersama organisasi internasional untuk pemberdayaan petani miskin. Mereka kembali menghidupkan budaya melindungi mata air dengan menanam pohon pengikat air dan wajib tanaman pangan dengan benih lokal.
"kalau dulu upacara seperti ini dipimpin laki-laki dan hanya laki-laki yang boleh ikut, sekarang masih dipimpin laki-laki, tetapi perempuan ikut disitu," ujar Ela.
Sempat patah
Strategi pemberdayaan yang ia lakukan lahir dari pengalaman panjang yang juga menempa Ela menjadi sosok kuat dan tak mudah kompromi. Begitu lulus kuliah, Ela yang lahir dan tumbuh di lingkungan petani di Flores Timur langsung bekerja di yayasan yang bergerak di bidang pemberdayaan petani.
Sebagai calon pegawai, Ela diuji dengan melakukan survei masyarakat di Tana Ai Sikka, Flores Timur. "Yang menguji saya para petani di situ," ungkapnya.
Ia menempuh masa percobaan sembilan bulan sebelum menjadi petugas lapangan untuk pemberdayaan petani di Sumba Timur.
Tak hanya lahan kering kerontang dan tranpsortasi yang sangat sulit, tetapi waktu itu juga ada isu SARA. Warga disitu kan memeluk agama lokal," kenangnya.
Saat itulah Ela muda merasa sangat patah. "Saya ingin pulang, daripada hidup susah di situ. Jarak rumah ke rumah antaara 5 sampai 6 kilometer. Saya berjalan sendiri membawa linggis dan menjinjing benih tanamaan terasering untuk konservasi. Kalau lapar, ada mangga muda di tengah padang, itu yang dimakan, kalau haus, cari air disungai, dibersihkan pakai daun, langsung diminum,"
Ia juga pernah diusir, " Mereka bilang kami hidup di belakang ekor ternak, kau di Flores hidup dibawah pohon kopi. Kalau kau mau kerja, kerjalah sendiri,"padahal, soal kerja bersama itu sudah disepakati di gereja.
Ela pergi membawa benih dan linggisnya mencari petani yang mau bekerja bersamanya. "Akhirnya ada juga yang mau. Setelah memetik hasilnya, satu kampung ikut, saya mulai melakukan pemberdayaan pada perempuan,"
Ia terus bekerja saat hamil, sampai sehari sebelum melahirkan, supaya bisa mengambil cuti tiga bulan. bayinya yang masih menyusui ikut keliling bersamanya sambl memikul benih. "Waktu usianya 10 bulan, anak saya pernah jatuh, rupanya masuk kelubang besar di rumah panggung kami,"enang ibu dua anak ini. "Saya cari tidak ketemu , ternyata ia ada di kandang babi dibawah rumah panggung, sekarang ia punya perhatian besar keepada orang susah. Ia selalu mengingatkan, hidup harus berbagi, tidak boleh menang sendiri. tampaknya pengalaman masa kecil itu sangat memengaruhi dia."
Proses panjang
Ela meninggalkan yayasan itu tahun 1999 sebagai supervisor kegiatan wanatani dan Kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam untuk pertanian berkelanjutan dan organisasi kelompok tani di Sumba Timur.
Pengalaman sulit selama tujuh tahun membuatnya dikenal sebagai penyuluh pertanian hutan (agroforestry) dan fasilitator partisipatory rural appraisal (PRA) yang andal, membuatnya sempat menjadi konsultan lembaga internasional bidang pemberdayaan masyarakat desa.
Sampai hari ini Ela tak lelah bekerja di lapangan. Ia sadar, kerja pemberdayaan masih sangat panjang karena upaya kemajuan selalu berhadapan dengan segala upaya untuk menariknya kebelakang. Relasi-relasi kuasa selalu menjadi wilayah ketegangan.
Pemahaman itulah yang menyebabkan ela tak enggan beradu argumentasi dengan siapa saja, termasuk penguasa, khususnya dalam soal aktivitas pertambangan yang masif.
"Kita bekerja menyelamatkan mata air tak hanya untuk pertanian, terutama untuk menyelamatkan kehidupan. Sementara aktivitas pertambangan yang masif menghancurkan mata air. Ini bagaimana?"
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 27 AGUSTUS 2010
GABRIELA URAN
Lahir : Flores Timur, 26 Mei 1966
Pendidikan : S-1 Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa
Cendana
Pengalaman Kerja :
- 1991-1997; Yayasan Tanahnua (YTN)
- Sejak 1999; Yayasan Komodo Indonesia Sejahtera (Yakines)
- Mengikuti berbagai pelatihan, seminar, dan lokakarya serta menjadi narasumber dan fasilitator
berbagai lokakarya menyangkut pemberdayaan masyarakat desa
Oleh MARIA HARTININGSIH
"Air bersih mengubah banyak hal secara perlahan," ujar Ela, begitu ia disapa, pada suatu siang di kantornya di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Tak mudah mengubah kondisi yang lahir dari tradisi bahwa perempuan hanyalah "pelengkap penderia". Di luar tradisi belis (mahar) saat perempuan hendak menikah di Manggarai, "perempuan tak dapat hak waris, tetapi harus ikut bertanggung jawab terhadap kebutuhan saudara laki-lakinya," ujar Ela. Tradisi pula yang melahirkan pesta keluarga dan sosial yang sedikitnya empat kali setahun dan berpotensi mengurs simpanan keluarga.
Posisi tawar perempuan yang secara umum rendah memperlihatkan kenyataan yang berpunggungan. Salah satunya kondisi menetap rawan gizi pada anak, sementara konsumsi rokok laki-laki di satu desa mencapai Rp.1,3 miliar setahun.
"kami ajak perempuan menghitung belanja rumah tangga mereka per hari. Ini adalah bagian dari kerja pemberdayaan," ujar Ela, nakhoda Yayasan Komodo Indonesia Sejahtera (Yakines), yang bekerja di akar rumput untuk pemberdayaan petani miskin, khususnya perempuan.
Peran perempuan
Perubahan berawal saat Yakines bekerja sama dengan organisasi non pemerintah dari Yogyakarta, memulai pembangunan sarana air bersih di empat kampung di Manggarai. Persiapan sosial dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya diskusi dengan ketua adt setempat, seperti Tua Golo.
"kami sepakat, kalau mau ada pembangunan sarana air bersih, Ketua Organisasi Pengelola Air atau OPA, wajib perempuan. Kalau laki-lakinya tidak mau, kami cari kampung yang mau perempuan jadi ketua OPA.
masuknya perempuan dalam aktivitas vital di kampung telah merobek ruang kebisuan yang diciptakan secara sistematis oleh budaya. "Dulu, kalau ada rapat di rumah ketua adat, yang boleh bicara hanya laki-laki, sekarang rapat di rumah gendang tentang air, perempuan yang memimpin, mereka bicara lantang."
Proses ini membedakannya dengan proyek air bersih yang gagal sebelumnya karena tak ada organisasi pengelola air. OPA tak hanya mengurus soal teknis, tetapi juga berperan dalam perubahan perilaku. OPA juga menyentuh soal krusial lain, seperti kesehatan ibu dan anak, gizi anak dan partisipasi perempuan. "Melalui OPA, perempuan memperlihatkan potensinya sebagai agen perubahan," kata Ela.
Air bersih menggerakkan warga petani yang mau mendapatkan air bersih harus aktif daam kegiatan lumbung pangan, lumbung padi, dan lumbung kebun, yang digagas Yakines bersama organisasi internasional untuk pemberdayaan petani miskin. Mereka kembali menghidupkan budaya melindungi mata air dengan menanam pohon pengikat air dan wajib tanaman pangan dengan benih lokal.
"kalau dulu upacara seperti ini dipimpin laki-laki dan hanya laki-laki yang boleh ikut, sekarang masih dipimpin laki-laki, tetapi perempuan ikut disitu," ujar Ela.
Sempat patah
Strategi pemberdayaan yang ia lakukan lahir dari pengalaman panjang yang juga menempa Ela menjadi sosok kuat dan tak mudah kompromi. Begitu lulus kuliah, Ela yang lahir dan tumbuh di lingkungan petani di Flores Timur langsung bekerja di yayasan yang bergerak di bidang pemberdayaan petani.
Sebagai calon pegawai, Ela diuji dengan melakukan survei masyarakat di Tana Ai Sikka, Flores Timur. "Yang menguji saya para petani di situ," ungkapnya.
Ia menempuh masa percobaan sembilan bulan sebelum menjadi petugas lapangan untuk pemberdayaan petani di Sumba Timur.
Tak hanya lahan kering kerontang dan tranpsortasi yang sangat sulit, tetapi waktu itu juga ada isu SARA. Warga disitu kan memeluk agama lokal," kenangnya.
Saat itulah Ela muda merasa sangat patah. "Saya ingin pulang, daripada hidup susah di situ. Jarak rumah ke rumah antaara 5 sampai 6 kilometer. Saya berjalan sendiri membawa linggis dan menjinjing benih tanamaan terasering untuk konservasi. Kalau lapar, ada mangga muda di tengah padang, itu yang dimakan, kalau haus, cari air disungai, dibersihkan pakai daun, langsung diminum,"
Ia juga pernah diusir, " Mereka bilang kami hidup di belakang ekor ternak, kau di Flores hidup dibawah pohon kopi. Kalau kau mau kerja, kerjalah sendiri,"padahal, soal kerja bersama itu sudah disepakati di gereja.
Ela pergi membawa benih dan linggisnya mencari petani yang mau bekerja bersamanya. "Akhirnya ada juga yang mau. Setelah memetik hasilnya, satu kampung ikut, saya mulai melakukan pemberdayaan pada perempuan,"
Ia terus bekerja saat hamil, sampai sehari sebelum melahirkan, supaya bisa mengambil cuti tiga bulan. bayinya yang masih menyusui ikut keliling bersamanya sambl memikul benih. "Waktu usianya 10 bulan, anak saya pernah jatuh, rupanya masuk kelubang besar di rumah panggung kami,"enang ibu dua anak ini. "Saya cari tidak ketemu , ternyata ia ada di kandang babi dibawah rumah panggung, sekarang ia punya perhatian besar keepada orang susah. Ia selalu mengingatkan, hidup harus berbagi, tidak boleh menang sendiri. tampaknya pengalaman masa kecil itu sangat memengaruhi dia."
Proses panjang
Ela meninggalkan yayasan itu tahun 1999 sebagai supervisor kegiatan wanatani dan Kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam untuk pertanian berkelanjutan dan organisasi kelompok tani di Sumba Timur.
Pengalaman sulit selama tujuh tahun membuatnya dikenal sebagai penyuluh pertanian hutan (agroforestry) dan fasilitator partisipatory rural appraisal (PRA) yang andal, membuatnya sempat menjadi konsultan lembaga internasional bidang pemberdayaan masyarakat desa.
Sampai hari ini Ela tak lelah bekerja di lapangan. Ia sadar, kerja pemberdayaan masih sangat panjang karena upaya kemajuan selalu berhadapan dengan segala upaya untuk menariknya kebelakang. Relasi-relasi kuasa selalu menjadi wilayah ketegangan.
Pemahaman itulah yang menyebabkan ela tak enggan beradu argumentasi dengan siapa saja, termasuk penguasa, khususnya dalam soal aktivitas pertambangan yang masif.
"Kita bekerja menyelamatkan mata air tak hanya untuk pertanian, terutama untuk menyelamatkan kehidupan. Sementara aktivitas pertambangan yang masif menghancurkan mata air. Ini bagaimana?"
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 27 AGUSTUS 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar