Senin, 09 Agustus 2010

Upaya Menyelamatkan Gambut

Selama lebih dari 20 tahun, Suwido H Limin bersentuhan dengan gambut. Masa yang panjang itu membawa dia sampai pada kesimpulan, lahan gambut sebaiknya dibiarkan apa adanya, sebab untuk mengolah biayanya mahal. Selain itu, cegahlah upaya eksploitasi dan segera lakukan restorasi terhadap lahan gambut yang rusak.

SUWIDO H LIMIN

Lahir : 24 Mei 1955
Pendidikan :
- S-1 Agronomi Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 1982
- S-2 Agronomi Institut Pertanian Bogor, 1992
-S-3 Manajemen Lahan Gambut Universitas Hokkaido, jepang, 2007
Pengalaman kerja antara lain :
- Dinas Pertanian Kalimantan Tengah, 1982-1984
- Dosen Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, 1984-kini

Oleh DEFRI WERDIONO
Di dunia gambut, nama Suwido H Limin tak asing lagi. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ini terus melakukan penelitian dan berbagai upaya penyelamatan gambut. Ia sering mmengeluarkan ide untuk perbaikan lingkungan, terutama lahan gambut.
Suwido juga merealisasikan gagasannya, seperti membuat Tim Serbu Api untuk mengatasi kebakaran lahan, membuat desain dam model "V" pada kanal lebar di gambut, dan mengajukan ide reboisasi lahan dengan sistem beli tanaman tumbuh.
Ide-ide Suwido menjadi pembicaraan di kalangan peneliti gambut karrena sebagian telah dipresentasikan dalam simposium internasional, mulai di Singapura, Malaysia, Jepang, Finlandia, Jerman, Belgia, sampai Australia. Bulan Oktober nanti, ia ke New Orleans, Amerika Serikat, mengikuti simposium tentang daerah lahan basah, termasuk lahan gambut.
Lahir di wilayah Daerah Aliran Sungai Kahayan membuat Suwido akrab dengan gambut. Gambut di Kalteng berkarakteristik khas. Salah satunya miskin pengayaan mineral karena daerahnya datar, luas, dan jauh dari pasang surut air laut yang memungkinkan menyusupnya mineral.
Ukuran ketebalan gambut juga bervariasi, dari beberapa sentimeter, yakni gambut di dekat pantai, hingga gambut dengan ketebalan 17,3 meter seperti yang ia temukan di daerah antara Mentaya dan Katingan. Dari sisi usia, gambut Kalimantan ada yang mencapai 9.600 tahun.
"Dari rangkaian penelitian, saya lihat gambut tebal bisa di budidayakan, tapi biayanya tinggi, butuh pemupukan dan sebagainya. Di satu sisi, kita belum hitung dampak negatif gambut setelah dieksploitasi, seperti gas," ujarnya.
Untuk memperkecil risiko itu,kita perlu mempertahankan gambut dengan keanekaragaman hayatinya. Jika gambut dipertahankan, tak ada risiko. Nilai ekonomisnya pun tetap ada dan berkelanjutan, seperti tanaman ramin dan jelutung.
Apalagi kondisi ekosistem kini berbeda dibanding puluhan tahun silam. Semua itu akibat kerusakan alam. Ini bisa dilihat, salah satunya, dari frekuensi bencana alam, termasuk didaerah asal Suwido. Dulu, rata-rata banjir hanya 3-4 kali setahun dan bisa diprediksi. Kini banjir bisa lebih dari 10 kali setahun.
Masalah gambut semakin pelik saat manusia masuk. Kebakaran lahan menjadi salah satu persoalan yang muncul. Suwido yakin, kebakaran disebabkan ulah manusia. Setiap terjadi kebakaran rata-rata 20-30 cm lapisan gambut musnah.
Salah satu kekeliruan memperlakukan gambut terjadi pada masa Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar. Ini berpengaruh terhadap terhadap hidrologi gambut. Pembuatan kanal-kanal panjang membuat permukaan lahan gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Padahal, gambut memiliki sifat mengikat air. "Tetapi, seperti gambut di Sebangau, karena tak ada manusianya, tak ada kanal, jadi aman dari kebakaran meski kemarau panjang," ujarnya.

Kerja sama

Suwido mulai meneliti gambut untuk kepentingan studi pada 1988. Tahun 1993 ia bekerja sama dengan peneliti asing, selain juga ditugasi oleh Rektor Universitas Palangkaraya Amris Makmur berkaitan dengan rencana kerjasama penelitian gambutdengan Jack Rieley (Universitas Notingham, Inggris) dan Bambang Setiadi (BPPT).
Kerjasama itu disebut Kalimantan Peat Swamp Forest Research Project (KPSFRP), yang lalu menjadi Center for International Cooperation in Suitainable Management of Trofical Peatland (Cimptrop).
Dia juga menjadi salah satu motor berdirinya Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG)
Universitas Palangkaraya di Kereng Bangkirai, Sabangau. Lahan seluas 50.000 hektar itu dimanfaatkan sejak 1993 dan menjadi satu-satunya laboratorium alam untuk penelitian gambut tropis di Indonesia. Di sini pula ditemukan gambut berusia 9.600 tahun dengan ketebalan mencapai 17,3 meter.
Suwido pula yang menyampaikan konsep reboisasi sistem beli tanaman tumbuh dalam pertemuan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Finlandia di Bali tahun 2008.
Dalam sistem itu, warga menanam pohon dan pemerintah memberi modal. Pemerintah membeli setiap tanaman hidup itu. Dengan begitu, persentase tanaman yang bertahan hidup di tanah reboisasi lebih besar karena warga memeliharanya.
Dari hasil uji coba tahun 2005, persentase tanaman yang tumbuh hingga setahun mencapai 80 persen. "Biaya sistem beli tanaman tumbuh itu Rp.15 juta per hektar setahun," ucap Suwido yang menyarankan tumbuhan lokal yang ditanam adalah seperti galam dan geronggang.

Tim Serbu Api

Tim Serbu Api pun konsep Suwido yang dilaksanakan hingga kini. Tahun 1997, ia membentuk tim ini dan intensif membinanya pada 2005. Tim ini lahir sewaktu terjadi kebakaran lahan akibat El Nino. Saat itu petugas hanya menyiram api dari pinggir jalan, lalu pulang.
Kalau hanya mengandalkan petugas seperti itu, tak efektif. Warga pun tak bisa ikut serta. Maka, Suwido membentuk tim ini, yang beranggotakan 30 orang. Kini terbentukl ima kelompok, antara lain di Tangkiling, Kalampangan, dan Kereng Bengkirai. Jika terjadi kebakaran, mereka bekerja bergantian selama 24 jam dan menginap dekat lokasi kebakaran.
Anggota Tim Serbu Api diberi jaminan karena tak mungkin pemerintah menggaji mereka. Sumber pendapatan bagi anggota bisa berupa kebun, kolam, atau sawah. "Bisa juga kios, tempat cuci mobil, atau bengkel. Jika ada kebakaran, sebagian anggota memadamkan api, yang lain bekerja di tempat usaha,"
Konsep Suwido lainnya adalah pembuatan dam model "V" pada 2004-2006. Dam ini berguna menjaga ketersediaan air di gambut tropis, yang saat kemarau biasanya surut karena airnya mengalir lewat kanal.
Kementerian Riset dan Teknologi lalu mengikuti jejaknya, dengan membangun sembilan dam di Kanal Kalampangan dan Kanal Taruna, bekas proyek PLG. "Dua minggu tak ada hujan biasanya air kering, gambut jadi mudah terbakar. Dengan dam, air bisa tertahan," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 10 AGUSTUS 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar