KASIM GHOZALI
Lahir : Medan, 20 April 1963
Istri : Henny Kusmin
Anak : Stephanie Ghozali (21), Michelle Ghozali (16)
Pendidikan :
- University of San Fransisco, faculty of Marketing and Business Management & Printing
Management
Pengalaman Kerja :
- Direktur Printing and Packaging Company-PT Printec & PT Grafitec (Indonesia)
- Direktur Foshan Sansico Printing And Packaging Co. Ltd (China)
- Direktur Made In Indonesia Culture Store - Shanghai
- Direktur International Trading Company- PT Sansico Natura Resources (Indonesia)
- Direktur PT Emax (Apple Premium Reseller)
Dia adalah pengusaha swasta. namun, apa yang dilakukan di Shanghai, Republik Rakyat China, membuat orang tidak lagi melihatnya sebagai orang swasta, tetapi perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di Shanghai.
OLEH : M CLARA WRESTI
Setiap dua bulan sekali, toko Made In Indonesia yag terletak di Shanghai Bay, Pudong Selatan, Shanghai, berubah menjadi tempat bertemunya warga Indonesia dengan perwakilan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia. Di toko milik Kasim Ghozali (47) itu, semua unek-unek yang menjadi beban warga Indonesia ditumpahkan.
Ada yang mengadu soal sulitnya mengurus hak waris dari almarhum suaminya yang berkewarganegaraan China. Ada juga yang mengeluh tentang pengurusan hak asuh anak, perceraian, atau sekadar perpanjangan paspor.
"Kami ini swasta. tetapi warga Indonesia yang ada di Shanghai dan sekitarnya tahunya kami ini wakil pemerintah. Jika mereka ada masalah, pasti datang kesini," kata Kasim yang ditemui di Shanghai, pertengahan Januari lalu.
Toko Made In Indonesia sekilas seperti galeri budaya Indonesia. Di sana terpajang kain-kain tradisional asal Indonesia, kerajinan tangan, lukisan, dan interior bergaya Bali. Di depan toko terpampang papan promisi yang menceritakan kopi luwak dan kopi toraja yang ditulis dengan bahasa Inggris dan Mandarin.
Setiap tamu yang masuk ke dalam toko itu perhatiannya pasti langsung tertuju pada satu set angklung besar yang terletak di tengah toko. Angklung tersebut berbeda dengan angklung biasa. Angklung itu bisa berbunyi sendiri, tanpa ada orang yang memainkannya.
Rupanya, angklung tersebut telah disambungkan dengan program komputer sehingga bisa mengumandangkan lagu-lagu Indonesia. Kasim bisa membuat angklung digital itu karena mempunyai hubungan yang baik dengan Apple Inc, perusahaan komputer terkemuka di dunia.
Istimewa karena, selain di Toko Made In Indonesia, angklung itu hanya ada di KBRI di Beijing dan Musical Instrument Museum di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat.
Menurut Kasim, angklung sengaja dipilih untuk dipamerkan di China karena alat musik itu terbuat dari dari bambu yang sangat dikenal masyarakat China.
"Tujuan utama saya adalah mengenalkan Indonesia kepada dunia. Tetapi, agar mudah diterima, saya harus mencari cara yang mudah diserap atau sudah dikenal masyarakat tujuan. Tamu-tamu China yang datang ke sini sangat kagum. Mereka baru tahu bambu bisa jadi alat musik selain suling," kata Kasim yang bisnis utamanya adalah percetakan dan pengemasan.
Membuat angklung digital itu adalah satu bentuk pengemasan yang unik terhadap budaya Indonesia. Keinginan pria yang murah senyum ini untuk mempromosikan Indonesia sudah tumbuh sejak dia duduk di bangku sekolah. Kasim yang menuntut ilmu di Singapura dan AS penasaran mengapa orang asing lebih kenal Thailand dan bahkan Vietnam daripada Indonesia. Dari penelusurannya, dia menemukan jawaban, bahwa negara-negara lain lebih terkenal karena banyak warganya yang pergi ke luar negeri. Mereka tidak sekadar berkunjung, tetapi juga menetap. Ketiak itulah mereka membawa budaya negaranya untuk dikenalkan kelingkungan sekitar.
Contoh yang paling nyata adalah makanan. Di tempat baru mereka mulai menjalin hubungan dengan warga setempat, lalu mengundang teman-temannya untuk mencicipi makanan tradisional mereka, akhirnya menumbuhkan ide untuk membuka restoran. "Ini baru makanan, belum tradisi yang lain. Makanya, semakin banyak yang keluar negeri, budaya negara itu makin dikenal warga dunia," jelas pria yang berpembawaan santun dan kalem ini.
Toko budaya
Di Toko Made In Indonesia yang dibuka sejak tahun 2008, Kasim juga mmembuka restoran yang menyediakan menu-menu tradisional Indonesia. Ada gado-gado, rawon, ayam penyet, soto, dan lainnya. Di bagian luar toko diletakkan sebuah meja pajang kaca yang di dalamnya berisi penganan khas Indonesia, seperti dadar gulung, kue lapis, dan lemper.
Kasim memang tidak menangani toko itu setiap hari. Toko tersebut dikelola John Suhardjo yang masih ada hubungan kerabat dengannya.
Kasim sadar toko budaya miliknya tidak akan menghasilkan keuntungan dari segi materi. Apalagi letaknya boleh dibilang kurang strategis. Namun, dia tetap telaten mengurus toko itu karena yang diinginkannya ssemata-mata mempromosikan budaya Indonesia sambil melayani warga Indonesia di Shanghai.
Beberapa kali toko tersebut juga menjadi tempat bertemu para pebisnis Indonesia dengan pebisnis China atau pebisnis dari negara lain. Kasim berencana mencari tempat yang lebih strategis agar tokonya lebih dikenal dan mudah dicapai banyak orang.
Setiap bulan Kasim datang ke Shanghai mengantar semua kebutuhan toko. Setiap kali ke China dia membawa dua koper besar, satu koper kecil, dan satu tas kerja. Dua koper besar berisi segala kebutuhan toko seperti kain, bumbu pecel, kerupuk, keluwek, bumbu dapur, dan lainnya.
"Saya tidak pernah banyak membawa kebutuhan pribadi. Jadi, koper-koper itu isinya keperluan toko semua. Lalu pulangnya saya sering membeli contoh-contoh kemasan yang saya temui di jalan," ujarnya.
Kasim meneruskan usaha percetakan dan pengemasan yang sudah berjalan selama tiga generasi. Dia menangani PT Princedan PT Grafitec bersama dua adik laki-lakinya, Rudy Ghozali dan Eddy Margo Ghozali. Kasim bertanggung jawab pada perusahaan yang di Indonesia, sedangkan Eddy mengelola teknologi informasi sekaligus membuat dan mengelola basis data untuk kepentingan perusahaan.
Tiga saudara yang sangat berkemampuan itu membuat perusahaan keluarga berkembang baik hingga ke China selama 13 tahun. Produk mereka diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat, serta telah membukukan hasil penjualan 100 juta dollar AS.
Melihat bisnisnya yang berkembang baik di China dan ketidakadilan yang sering dialami etnis Tionghoa di Indonesia, ternyata tidak membuat Kasim beralih dari Indonesia.
dikutip dari KOMPAS, RABU, 16 FEBRUARI 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar