Kamis, 24 Februari 2011

Wamin, Mbahnya Nelayan Yogyakarta


DATA DIRI

Nama : Wamin
Tempat, tanggal lahir : Tasikmalaya, 21 Januari 1950
Pendidikan : SD IV Gumilir, Cilacap
Istri : Munirah
Anak :
1. Watini (32)
2. Sugeng Riyadi (30)
3. Mugiharto (29)
4. Nur Rofiq (27)
5. Wahyuni Setianingsih (12)
Pekerjaan : Nelayan dan Ketua TPI Pantai Sadeng, Gunung Kidul, DI Yogyakarta

Awal tahun 1983, untuk pertama kalinya Wamin menginjakkan kaki di Pantai Sadeng, Kabupaten gunung Kidul, DI Yogyakarta. Ketika 29 rekannya sesama nelayan Cilacap menyerah dan kembali pulang, Wamin tetap bertahan. Dia kemudian menjadi guru yang menciptakan nelayan lokal generasi pertama di wilayah pantai Kabupaten Gunung Kidul, Bantul, dan Kulon Progo.

Oleh MAWAR KUSUMA WULAN

Kala pertama kali tiba di Pantai Sadeng, Wamin membuat gubuk kayu beratap daun kelapa di bibir tebing. Istri Wamin, Munirah (52), dan anak pertamanya, Watini, yang baru berusia satu tahun, turut menjadi penghuni awal. Petani Gunung Kidul sering kali mengerubuti Wamin pada saat pulang melaut dengan hasil tangkapan ikan melimpah.
Dari situlah ayah lima anak ini menularkan kegairahan melaut. Petani yang awalnya hanya membantu mejadi buruh pendorong kapal mulai ikut melaut. Dinas Pertanian DI Yogyakarta yang mendeteksi kehadiran Wamin di Pantai Sadeng lalu meminta bantuannya untuk mengajari cara penangkapan ikan kepada masyarakat lokal.
Dimulai dengan menjadi guru melaut bagi 60 petani di Sadeng, Wamin lalu diminta menjadi guru di seluruh pantai Gunung Kidul, mulai dari Pantai Wediombo, Siung, SUndak, Drini, Baron, Ngrenehan, dan Gesing. Kemudian dia melanjutkan pengajaran tentang melaut ke Pantai Depok dan Pantai Samas di Kabupaten Bantul, dan di Pantai Glagah, Kulon Progo.
Meskipun tanpa bayaran sepeser pun, Wamin tak lelah berkelana dari pantai ke pantai untuk mengajar ilmu melaut. Awalnya, dia mengaku hanya ingin mengajak petani berubah menjadi nelayan agar punya teman ketika melaut. Maklum, kala itu tak ada satu pun warga Gunung Kidul yang berani melaut.
Kedatangan nelayan dari daerah lain, seperti Cilacap pun jarang, karena perairan pantai di Gunung Kidul masih penuh batu karang tajam. Warga lokal biasanya hanya mencari ikan di tepi laut dengan menggunakan pancing.Kini, jumlah nelayan di perairan Gunug Kidul telah mencapai 1.313 orang, 944 orang diantaranya adalah nelayan lokal.
Setelah mengetahui ketertarikan petani, Wamin mulai mengajak mereka secara bergiliran ikut melaut pada sekitar tahun 1984. Dengan menggunakan perahu dayung dan layar, para petani di Dusun Songbanyu dan Dusun Pucung, Kecamatan Girisubo, Gunung Kidul, bermetamorfosis menjadi pelaut.

Mabuk laut

Wamin yang telah menjadi nelayan sejak tahun 1974 ini mengaku sering kali tertawa geli melihat "orang-orang darat" itu mabuk laut. Tiap kali "muridnya" mabuk laut, Wamin segera mengikat perut mereka dengan ambang dan mencemplungkannya ke laut. Menggerakkan badan sembari berenang terbukti mampu menyembuhkan mabuk laut. Hanya butuh satu bulan untuk mengubah petani menjadi nelayan.
Nelayan-nelayan baru itu pun dibekali keterampilan membaca tanda alam, musim ikan, merakit jaring, dan belajar membuat kapal dari kayu. Beberapa pohon di Pantai Sadeng yang kala itu masih berupa hutan rimba tempat tinggal kera ditebang untuk dijadikan kapal nelayan.
Dengan kapal kayu yang awalnya hanya 19 buah, mereka bisa melaut hingga 10 kilometer dari garis pantai. Hal tersulit adalah menularkan ilmu tentang membaca tanda alam, terutama kehadiran angin barat daya yang bisa menyebabkan kapal kayu terbalik. Jumlah tangkapan, menurut Wamin, berlimpah karena pantai masih alami. "Asal buang jaring pasti dapat ikan," kenangnya.
Pemerintah kemudian membantu nelayan dengan kapal dengan mesin bebahan bakr minyak tanah. Kini nelayan sudah menggunakan kapal mesin tempel berkekuatan 15 PK berbahan bakar bensin yang bisa menjangkau hingga 90 mil perairan laut.
Tak hanya mengawali penularan ilmu melaut kepada petani di pantaiyang kini telah berganti wajah menjadi Pelabuhan Perikanan Sadeng itu, Wamin juga menumbuhkan minat warga untuk berdagang ikan. Sebelumnya Wamin harus menjual hasil tangkapannya ke Semarang, Jawa Tengah.
Semakin banyaknya nelayan di Pantai Sadeng mendorong pemerintah memperbaiki jalur pendaratan ikan. Karang-karang tajam di perairan pantai diledakkan dengan menggunakan 1,5 ton dinamit. Wamin turut memperkuat tim penyelam untuk proses peledakan batu karang.
Nelayan generasi pertama kemudian menularkan keterampilan tersebut ke generasi yang lebih muda. Sebagian nelayan generasi pertama di Sadeng sudah pensiun. Selain menjalankan tugas sebagai ketua tempat pendaratan ikan Sadeng sejak dibuka tahun 1986, Wamin hingga kini masih giat melaut.

Menjanjikan

Hasil melaut memang menjanjikan, tetapi nelayan sering kali tetap mengalami kesulitan ekonomi karena tidak terbiasa mengatur pendapatan. Sekali melaut, nelayan perahu mesin tempel bisa memperoleh hasil hingga Rp.1 juta.
Meskipun berjasa besar dalam "menciptakan" nelayan di wilayah DI Yogyakarta, Wamin sama sekali belum pernah menerima penghargaan berupa piagam atau pemberian uang dari pemerintah.
Namun, warga di sekitar Pelabuhan Perikanan Sadeng mengenang Wamin sebagai "mbahnya nelayan". Sebagai sesepuh yang dihormati, Wamin selalu diundang dalam berbagai kegiatan desa. Namanya juga dikenal sebagai nelayan pertama di Gunung Kidul.
Petani-petani di sekitar pantai juga selalu membagikan hasil panenan, seperti kacang tanah dan jagung, untuk tali asih kepada keluarga Wamin. Saat ini, Pelabuhan Sadeng telah ramai oleh kehadiran beragam jenis kapal dari berbagai daerah.
Dengan wajah yang masih letih sepulang melaut, Wamin mengaku tak lagi punya impian muluk-muluk. Dia telah cukup senang pernah menjadi bagian dari sejarah kenelayanan di Yogyakarta meskipun hanya segelintir orang yang masih menyadari kiprahnya dalam "melautkan" petani Yogyakarta.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 5 MEI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar