Minggu, 27 Februari 2011

Sartika : Berdikari di Jalur Sutra


SARTIKA

Lahir : Gowa, 18 Agustus 1973
Pekerjaan : Penenun dan Ketua Kelompok Usaha Bersama Cura' Lab'ba
Pengalaman :
- Peserta pelatihan kewirausahaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan, 2007
- Peserta pelatihan teknik pencelupan dan penenunan di Bandung, Jawa Barat, 2003
- Pelatihan pembatikan di Makassar, Sulawesi Selatan, 1997

Sartika (38) memercayai sepenuh hati bahwa sutra adalah jalan pembebasan. Melalui kelompok usaha bersama penenun sarung sutra Cura' Lab'ba, dia merangkul para perempuan agar berdaya untuk lepas dari kemiskinan.

OLEH MARIA SERENADE SINURAT

Datanglah ke Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di salah satu sentra penenunan sutra selain kabupaten Wajo, Soppeng, dan Enrekang ini ratusan perempuan setia menenun sutra bermotif Makassar.
Sutra memang tidak pernah kehilangan pasar. Namun, penenun sutra terus berkurang karena tekanan krisis ekonomi. Sartika mengenang krisis moneter tahun 1998 saat para penenun menjual gedogan mereka agar mampu membeli bahan pokok. Penenun tanpa gedogan ibarat petani tanpa cangkul.
Para perempuan muda pun tak lagi menenun. Mereka lebih memilih bekerja sebagai pegawai toko di kota ketimbang bergelut dengan sutra. kalau pun ada, mereka umumnya berhenti setelah menikah. Hal ini menggusarkan hati Sartika.
Penenunan sutra adalah tradisi yang menghidupi banyak keluarga di Gowa, dari generasi ke generasi. Motif tenun sutra Makassar pun sebuah warisan yang harus dilestarikan. "ketika penenun tua sudah tidak ada, siapa yang melanjutkan?" kata Sartika.
Berpijak pada pertanyaan itulah, Sartika membentuk Cura' Lab'ba pada 1997. Saat itu dia hanyalah perempuan muda yang belum banyak tahu ilmu persutraan. Usianya 24 tahun dan dia baru belajar menenun dua tahun.
Dengan pengetahuan terbatas, Sartika menghadiri pelatihan pembatikan di sebuah hotel di Makassar. Hatinya mencelus. Itu kali pertama dia menginjakkan kaki di hotel. Dia tertegun melihat peserta dari kabupaten lain sudah lebih maju soal penenunan.
Merasa tertinggal, Sartika segera pulang ke rumah dan menenun berhari-hari. Hasil tenunan itu langsung dia serahkan ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulsel. Selepas itu, Sartika bersama 25 penenun di desanya membentuk Cura' Lab'ba yang langsung dibina Dinas Perindustrian dan Perdaganagan Sulsel.

Belajar dan berbagi

Sejak Cura' Lab'ba dibentuk, Sartika memacu diri untuk terus belajar. Dia melahap berbagai pelatihan tentang pemintalan benang, pencelupan warna, penenunan, juga kewirausahaan. Sifatnya yang bersemangat dan mudah belajar membuat Sartika selalu terpilih untuk mengikuti pelatihan hingga ke Bandung, Jawa Barat.
Sartika tidak menyimpan ilmu itu sendirian. Kembali ke kampung, dia menularkan pengetahuan barunya kepada para ibu rumah tangga dan perempuan muda.
Dengan sabar Sartika mengajari para perempuan tentang cara menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM), satu per satu. Ini salah satu hal tersulit karena penenun di desanya terbiasa menggunakan gedogan. Sering kali dia mengajar para perempuan di desa lain yang tidak memiliki pengetahuan tentang sutra sama sekali.
Dalam proses ini, Sartika melihat pentingnya pengetahuan penenunan bagi perempuan muda. Di desanya, mayoritas penenun berusia 50 tahun. Secara perlahan, dia mengajak satu demi satu tetangganya untuk belajar menenun. Upayanya relatif berhasil sehingga saat ini Cura' Lab'ba memiliki lima penenun yang masih berusia 20-an tahun.
Penenun muda ini belajar sekaligus bekerja. Sartika memodali mereka benang untuk ditenun dan mengupah mereka untuk setiap lembar ssarung yang dihasilkan.
Melalui sutra, banyak perempuan mampu menghasilkan uang sendiri. Para ibu juga bisa berkontribusi terhadap pemasukan rumah tangga. Dalam waktu dekat, Sartika ingin menggandeng lebih banyak ibu rumah tangga untuk belajar menenun.
"Daripada mereka bergosip sepanjang hari, bukankah lebih menguntungkan kalau mereka menenun," katanya.

Berdikari

Menenun sutra adalah pilihan Sartika untuk keluar dari jerat kemiskinan. Sartika kecil tinggal di rumah panggung reyot bersama ayah, ibu, dan delapan saudara kandungnya. Dia hanya mengenyam pendidikan hingga SMP.
Selepas SMP, Sartika menganggur. Namun, rasa rendah diri hinggap tatkala melihat adiknya mampu membeli barang-barang dengan uang hasil menenun. Sejak itu, dia bertekad untuk menenun agar bisa mandiri.
Sartika menenun pertama kali dengan modal pinjaman Rp.70.000 dari sepupunya. Hasil tenunannya jelek dan tidak ada yang membeli. Karya pertamanya dia jual kepada sang ayah yang rela membayar Rp.70.000 agar anaknya bisa membayar hutang.
Pada kesempatan kedua, Sartika menenun sarung kotak-kotak berwarna kuning yang terjual Rp.175.000. Inilah momentum yang membuatnya terus menenun hingga saat ini. Betapa girang hatinya tatkala mampu membelikan ayahnya (alm) telepon seluler dengan uang hasil penjualan sarung sutra.
Kendati 13 tahun menenun, Sartika tidak mau berhenti belajar. Dia mengerti, sutra harus dikembangkan sesuai zamannya. Seorang penenun juga perlu membuat inovasi dalam pembuatan motif.
"Motif tenun Makassar tempo dulu, misalnya, cobo (berbentuk runcing) dan dang (kotak-kotak lebar). Sekarang setiap motif bisa dipadukan agar lebih menarik. Penenun juga bisa berkreasi dengan warna-warna yang lebih atraktif," demikian pendapatnya.
Semangat pembaruan itu yang membuat Sartika menilai Cura' Lab'ba bukan sekadar kelompok usaha. Tempat ini juga merupakan taman bermain bagi para penenun untuk mengembangkan ide-ide kreatif.
Setiappenenun bebas berkreasi, tetapi ada satu hal yang harus mereka pegang teguh, yakni penjiwaan. Bagi Sartika, penenun dan sutra memiliki ikatan batin yang kuat. Apa yang dirasakan penenun memengaruhi hasil tenunan. "Sutra itu begitu halus dan peka. Janganlah kita memperlakukan yang halus dengan yang kasar," ujarnya.
Prosesi menenun membutuhkan ketenangan, kesabaran, dan ketelitian luar biasa. Benang sutra yang halus bisa dengan mudah putus atau kusut jika si penenun tiadk berhati-hati. Menenun ibarat ritual yang harus dijalani sepenuh hati.
Hal itu tidak berlebihan. Penenunan memang bisa berlangsung tiga hari dengan ATBM, bahkan sebulan dengan gedogan. Seorang penenun harus menyatukan berkilogram helai benang yang terpisah menjadi kesatuan. "Setiap menenun, saya seperti berada di bilik sendiri dan saya bergerak seirama dengan benang-benang," ucapnya.
Sebetulnya Sartika ingin mengatakan bahwa penenun harus bekerja sepenuh hati. Seberat apa pun beban dan segusar apa pun jiwanya, Sartika menemukan ketenangan saat menenun. "Jiwa yang tenang menghasilkan sutra yang cantik," katanya.
Sartika sudah membuktikannya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 28 FEBRUARI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar