Senin, 21 Februari 2011

Poniman Tak Pernah Menyerah......


BIO DATA

Nama lengkap : Poniman
Alamat : Dusun Karangnongko, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta
Istri : Tukirah
Anak :
- Purwanto
- Surani
- Maryadi

Meski order yang diterima terus turun, Poniman (52) tak pernah menyerah. Ia tetapsetia membuat gamelan karena kecintaannya terhadap artefak kultural tradisi itu. Ia khawatir jika meninggalkan usaha itu, gamelan akan sulit diperoleh sehingga keberadaannya pun terancam.

Oleh ENY PRIHTIYANI

Bagi Poniman, warga Dusun Karangnongko, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, gamelan sudah menjadi sesuatu yang menyatu dengan jiwanya. Ia sudah membuat gamelan sejak tahun 1980-an. Gamelan yang diproduksinya dikirim ke berbagai kota, bahkan ke mancanegara seperti Suriname, Vietnam, dan Jepang.
"Pasar gamelan hanya tertentu saja karena tidak semua menyukainya. Harganya juga mahal. Untuk seperangkat gamelan dari bahan besi harganya mencapai Rp.150 juta, sedangkan untuk bahan kuningan harganya berkisar Rp.450 juta. Jadi tidak setiap orang bisa menjangkau harga semahal itu," katanya.
Menurut Poniman, pelanggan tetapnya adalah instansi yang bergerak di bidang kebudayaan dan transmigrasi. Bagi instansi-instansi itu, gamelan sudah menjadi barang "wajib". Untuk instansi yang menangani transmigrasi, gamelan biasanya dibawa ke lokasi transmigran sebagai alat berekspresi sekaligus kenang-kenangan bagi para transmigran.
Untuk memperoleh pembeli, Poniman aktif memantau informasi dari suratkabar seputar lelang pengadaan gamelan. Dalam proses lelang tersebut, Poniman sering menang karena harga yang ditawarkan tergolong murah. Maklum, ia bukan makelar , tetapi perajin yang langsung membuat gamelan.
Satu set gamelan terdiri dari 22 jenis alat, seperti kenong, gong, saron, kendhang, dan gambang. Tingginya harga gamelan disebabkan mahalnya harga bahan baku. Besi, misalnya, harganya naik dari Rp.10.000 menjadi Rp.15.000 per kilogram, kuningan dari Rp.60.000 jadi Rp.100.000 dan timah naik dari Rp.100.000 menjadi Rp.130.000 per kilogram.
"Setelah harga BBM naik, semuanya ikut naik. Meski harga bahan baku naik, saya belum menaikkan harga jual karena takut peminatnya makin menyusut. Untung sedikit ndak apa-apa, asal saya masih bisa membuat gamelan," katanya.

Satu satunya

Di Bantul, Poniman menjadi satu-satunya pembuat gamelan yang sampai saat ini masih eksis. Rasa cinta terhadap gamelan telah mendorongnya untuk tetap bertahan meski berbagai kesulitan menghadang.
Meski menaruh kecintaan yang cukup dalam terhadap gamelan, Poniman mengaku tak bisa memainkannya dengan baik. "Saya ini memang bukan seniman karena itu tak bisa memainkan gamelan dengan baik. Saya hanya pembuat gamelan yang tidak ingin keberadaannya punah," tuturnya.
Menurut dia, gamelan adalah musik yang tercipta dari paduan bunyi gong, kenong, dan alat musik Jawa lainnya. Irama musik yang lembut dan mencerminkan keselarasan hidup orang Jawa. Gamelan juga menghasilkan bunyi yang enak didengar.
Keterampilan membuat gamelan diperoleh Poniman saat bekerja sebagai buruh di perusahaan yang memproduksi gamelan. Hampir 15 tahun ia bekerja di tempat itu. Semua pekerjaan dari menggosok, mengerok, hingga menyetel nada sudah dilakoninya. Setelah cukup matang, ia memutuskan keluar dan mengembangkan usaha sendiri. "Dari kecil saya sudah senang dengan gamelan. Saya melihatnya sebagai sesuatu yang unik," tuturnya.
Meski modalnya mepet, Poniman tetap bersemangat membangun usahanya. Dengan modal tidak lebih dari Rp.10 juta, ia pun mulai membuat gamelan sendiri. Awalnya hanya gong saja, tetapi kemudian terus berkembang hingga legkap satu set gamelan.
Kemahirannya membuat gamelan dikenal masyarakat luas. Pesanan demi pesanan pun diterimanya. Dulu saat Orde Baru berkuasa, pesanan gamelan melimpah. Waktu itu pemerintah banyak mencanagkan program-progam pelestarian kebudayaan sehingga keberadaan gamelan sangat dibutuhkan.
"Kalau dibandingkan dengan dulu, kondisi sekarang ini jauh berbeda. Sekarang ini komitmen pada pelestarian gamelan agak lemah. Dampaknya, order saya terus turun," kata bapak tiga anak itu.
Menurut Poniman, proses pembuatan gamelan tergolong rumit. Untuk gong, misalnya, proses awal dimulai dari pembentukan bodi, yakni dengan cara membakar atau memanaskan besi terlebih dahulu. Bila sudah terbentuk, gong harus dipukul-pukul dulu untuk mendapatkan nada yang bagus.
Gamelan Jawa menggunakan musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplet terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, sedangkan pelog memiliki 7 nada per oktaf.
Saat ini Poniman tengah mengerjakan gong raksasa berdiameter 6 meter, pesanan Pemerintah Kabupaten Bantul. Gong raksasa itu akan digunakan sebagai maskot hari jadi ke 177 Bantul yang jatuh tanggal 20 Juli nanti. Gong tersebut juga akan didaftarkan dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Untuk menyelesaikannya, Poniman butuh waktu sekitar 20 hari dengan bantuan 4 orang.
Kesuksesan dan kesetiaan Poniman pada gamelan telah mengantarnya pada perbaikan ekonomi keluarganya. Dua anaknya berhasil disekolahkan hingga jenjang perguruan tinggi. "Saya tidak ingin anak-anak saya bodoh seperti saya. Saya dulu SD saja tidak lulus karena faktor ekonomi. Saya hanya mengenyam pendidikan sampai kelas III saja. Saya berharap anak-anak saya bisa mewujudkan cita-citanya. Sebagai orangtua, tugas saya adalah membiayai mereka lewat gamelan-gamelan ini," tambahnya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 15 JULI 2008

1 komentar: