Kamis, 24 Februari 2011

Safaruddin Paharu : Menjadi "Garam" bagi Teluk Kupang


SAFARUDDIN PAHARU

Lahir : Labakan, Sulawesi Selatan, 17 April 1962
Pendidikan : SD Labakan
Istri : Hamidah
Anak : Sahbiah, Rahbiah, Arafah, Ashar, Abidin, Fadel, Syaiful, Suhartiah, dan Syahrul
Pekerjaan : Pemimpin UD Sinar Timur Nusantara.

Nusa Tenggara Timur, provinsi kepulauan dengan panjang garis pantai ribuan kilometer itu, ternyata kebutuhan garamnya dipenuhi dengan mendatangkan garam kasar (tak beryodium) dari Surabaya (Jawa Timur), Bima (Nusa Tenggara Barat), dan Sulawesi Selatan. Sampai tahun 1984 garam yang beredar di kepulauan ini tak beryodium.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Safaruddin Paharu adalah orang pertama dibalik usaha budidaya garam lokal Nusa Tenggara Timur (NTT). Usaha itu lalu menjalar kepada penduduk di sepanjang teluk Kupang, yakni di Kelurahan Parity, Bipolo, Oeteta, dan Baubau, Kabupaten Kupang.
Akhir tahun 1980, saat berumur 18 tahun, pria asal Pangkel, Sulawesi Selatan, ini merantau ke Kupang. Setelah berjualan bahan kebutuhan pokok selama empat tahun, ia dibantu kakaknya, Baharudin (50), berniat mengembangkan keterampilan budidaya garam di Kupang.
Ketertarikan terhadap budidaya garam di Kupang karena saat itu semua kebutuhan akan garm (kasar) didatangkan dari Bima, Surabaya, dan Sulawesi Selatan. NTT sebagai provinsi kepulauan, tetapi belm ada usaha budidaya garam lokal. Ia yakin potensi tambak garam di daerah itu cukup besar.
"Lagi pula keterampilan dasar saya adalah petambak garam kasar. Sejak usia 7 tahun, masih di sekolah dasar, orang tua mengajarkan bagaimana cara budidaya garam. Terobosan pemerintah ingin menjadikan NTT sebagai salah satu gudang garam nasional saat ini telah saya pikirkan tahun 1984," kata Safaruddin di Kupang, pertengahan Februari.
Menurut dia, garam sangat penting dalam kehidupan. "Fungsi garam hampir sama dengan beras, bahkan lebih spesial. Ia tidak bisa digantikan dengan produk jenis apapun. Garam ini mengasinkan, mengawetkan, menyuburkan, mencegah penyakit. dan segala sesuatu terasa hambar menjadi enak dan gurih di lidah," tambahnya.
Sebagai pembanding, tahun 1983, Sfaruddin keliling daerah-daerah penghasil garam di Madura, Gresik, Bima, dan Sulawesi Selatan. Ternyata NTT punya potensi garam tidak kalah dengan daerah-daerah itu.
Sepulangnya, di NTT Safaruddin bertemu dengan Kepala dinas Pertanian dan Perindustrian NTT. Ketika itu belum ada dinas kelautan dan perikanan. Safaruddin akhirnya diberi kesempatan melkukan survei lokasi untuk budidaya garam lokal di sejumlah wilayah di NTT.
Bersama Baharuddin, dia pergi ke beberapa kabupaten melakukan survei lokais untuk tambak garam, tetapi tak ada yang dinilai cocok. "Kemudian kami masuk ke kelurahan Merdeka, Kabupaten Kupang. Lalu, kami putuskan, wilayah itu cocok untuk pengembangan garam tradisional," kata Safaruddin.
Iklim di NTT sangat mendukung pengembangan garam kasar. Musim kemarau lebih panjang (9bulan) dari pada musim hujan (3 bulan). Musuh utama dalam proses pembuatan garam adalah hujan. Ketika hujan tidak menentu, usaha itu akan sia-sia.
Dibantu Dinas Pertanian dan Perindustrian NTT waktu itu, Safaruddin kemudian bertemu masyarakat pemilik lahan di Pantai Taimeta dan Pantai Arkea, Kelurahan Merdeka, Kupang. Dalam pertemuan dengan pemilik lahan, Safaruddin tidak berniat membeli lahan, tetapi meminta kesediaan pemilik lahan memberi areal satu hektar untuk dijadikan lahan percontohan tambak garam.
Lahan seluas itu dikerjakan oleh penduduk lokal, pemilik lahan. Safaruddin terus melakukan bimbingan mulai dari proses pembuatan pematang dari tanah liat, proses pengaliran air laut, penggunaan mesin pompa air laut masuk ke setiap petak tambak, pengendapan air laut tahap pertama, sampai proses panen garam.
"Saya juga mengajarkan mereka bagaimana budidaya ikan bandeng dan udang di dalam setiap pematang itu. Musim hujan, petani panen ikan dan udang. Musim kemarau, petani garam bisa panen garam, juga ikan dan udang," katanya.
Produksi garam kasar waktu itu mencapai 1.000 ton. Melihat hasil bagus, pemilik lahan sekitar pun memberikan kesempatan kepada Safaruddin untuk mengolah lahan serupa di areal mereka.
Sampai tahun 1995, sekitar 10 hektar lahan percontohan garam tradisional dikembangkannya. Lahan seluas itu dimiliki 25 penduduk lokal dengan luasan kepemilikan berkisar 500 meter persegi - 25 hektar. Luas lahan potensial di sepanjang teluk Kupang mencapai 5.000 hektar.
Selain belajar keterampilan menambak garam, mereka juga diupah Rp.25.000 per hari waktu itu. "Setelah mereka memiliki keterampilan itu, lahan tersebut saya serahkan kepada mereka untuk dikelola sendiri. Sedangkan saya hanya memiliki satu hektar lahan agar tetap mendampingi petambak lokal," kata Safaruddin.
Pendampingan terhadap petambak lokal terus berjalan karena hasil produksi garam kasar dibeli Safaruddin dengan harga Rp. 25.000-Rp.30.000 per karung (50 kg), kemudian dijual ke pasar-pasar tradisional. Sebagian garam itu dijual kepada perajin garam beryodium di Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah.
Kini, sebagian besar petambak garam, ikan bandeng, dan udang di Kelurahan Merdeka telah membangun rumah permanen, memiliki kendaraan roda empat atau roda dua, dan menyekolahkan anak sampai tingkat perguruan tinggi. Usaha garam tradisional dan tambak ikan telah mengangkat kesejahteraan mereka.
Produksi garam kasar di Merdeka saja mencapai 205.000 ton dari areal 300 hektar. Masih sekitar 4.700 hektar lahan yang belum digarap.
Konsumsi garam di NTT sekitar 50.000 ton per tahun. Dengan asumsi setiap orang mengonsumsi sekitar 10 kg garam per tahun, belum termasuk kebutuhan industri, pengawetan, dan lainnya.
Pemimpin UD Sinar Timur Nusantara itu mengatakan sedang berencana membangun garam beryodium di Kupang. Namun, karena keterbatasan modal, ia akan memproduksi dalam skala kecil dulu.
"Kalau suatu ketika saya dapat dukungan dana dari pihak lain, saya coba menyuplai garam beryodium ke seluruh NTT dan negara Timor Leste. Selain itu untuk kebutuhan industri, saya akan kirim garam kasar ke Sulawesi Selatan dan Kalimantan," katanya.
Tahun 2003, lanjutnya, pernah ada satu perusahaan dari Jakarta dan Surabaya yang berniat membangun pabrik garam di wilayah itu. Namun, tiba-tiba perusahaan tersebut menghilang.
Menurut Safaruddin, perusahaan itu meninggakan Kupang karena keinginannya membebaskan seluruh lahan potensial tambak garam di Kelurahan Merdeka ditolak warga. Warga lebih suka perusahaan tersebut tetap memberdayakan mereka.
"Saya meminta kepada pemerintah daerah dan pengusaha yang mau berinvestasi garam di Kupang, jangan berusaha memiliki lahan garam yang saat ini dikelola warga atau hak warga. Kembangkan tambak garam dengan sistem inti dan plasma. Dengan cara itu, mereka akan diterima warga dan bertahan lama di Kupang," ujar Safaruddin.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 25 FEBRUARI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar