Rabu, 06 Juli 2011

Aloysius Abi : Upaya bagi Warga Pedalaman NTT


ALOYSIUS ABI

Lahir : Senoni, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, 30 Maret 1956
Pendidikan : Sekolah Pendidikan Guru, lulus 1977
Istri : Petronela Mbeo
Anak :
- Cresensia Abi
- Fridolin Abi
- Maria Theresia Abi
Pekerjaan :
- Guru Sekolah Dasar Tuamolo, Timor Tengah Utara
- Wakil Kepala SD Tuamolo

Predikat guru yang disandang Aloysius Abi dihayati dan diemban dalam karyanya selama lebih kurang 32 tahun bekerja di pedalaman Nusa Tenggara Timur. Abi, panggilannya, tidak hanya fokus pada pekerjaan rutinnya sebagai guru, tapi juga membantu aparat pemerintahan desa untuk mengatasi buta aksara di kawasan itu. Dia pun melakukan pembinaan keagamaan dan membimbing anak muda setempat.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Bisa dikatakan semua itu dijalankan Abi secara sukarela, tanpa memungut bayaran. Dia hanya mendapat gaji sebagai guru pegawai negeri di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), sekitar Rp 2,5 juta per bulan.
Namun, Abi tidak terlalu perduli karena bukan uang yang dikejarnya, tetapi bagaimana dia dapat membantu orang bisa mengatasi kesulitan hidup. Keberhasilan orang lain dalam mengatasi kesulitan hidup membuat Abi bisa tersenyum.
"Kalau tujuan utama saya mencari uang, saya tidak mau menjadi guru. Keuntungam (materi) dari beternak ayam, kambing, dan menanam sayur-sayuran untuk didistribusikan ke kota jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji (sebagai guru) sebesar Rp 2,5 juta per bulan," tutur Abi saat ditemui di SD Tuamolo, di Kecamatan Bikomi Selatan, TTU, beberapa waktu lalu.
Saya lebih mengutamakan membangun sumber daya manusia di pedesaan secara lebih baik agar mereka tidak selalu tertindas oleh warga kota atau pejabat yang 'nakal'," kata Abi menambahkan.
Dia menyadari mutu pendidikan siswa di sekolah dasar sangat ditentukan oleh seluruh proses kehidupan masyarakat, terutama orangtua siswa di desa tersebut. Ada beberapa faktor penting yang turut menentukan mutu siswa, antara lain watak, karakter dan sikap hidup anak didik, peran serta orangtua, lingkungan, dan kehidupan ekonomi keluarga.
"Selain itu, peran serta aparat pemerintahan desa dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak kita juga mesti diperhatikan,"ujar Abi.
Dia menilai, selama ini faktor kemiskinan dan ketertinggalan telah dialami warga pedesaan, seperti di Kecamatan Bikomi Selatan, TTU. Wilayah itu tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai, antara lain karena gizi warganya buruk. Daerah ini rawan pangan, disamping infrastrukturnya buruk.
Oleh karena itu, tak mengherankan bila kemudian wabah penyakit selalu menimpa warga di kawasan pedalaman. Kondisi memprihatinkan seperti itulah yang justru membuat Abi selalu memilih bekerja di daerah pedalaman meskipun sebenarnya dia telah beberapa kali mendapat surat dari dinas Pendidikan TTU untuk pindah tugas ke Kota Kefamenanu, pusat pemerintahan Kabupaten TTU.

Sikap yang berbeda

Sikap Abi berbeda dengan kebanyakan pegawai atau guru pada umumnya, yang sering kali menolak bila bekerja atau ditempatkan di daerah pedalaman. Alasan yang merekakemukakan biasanya karena di desa-desa pedalaman tidak ada hiburan, sulit mendapatkan kebutuhan hidup seperti beras, gula pasir, minyak goreng, dan kebutuhan lain.
Di samping itu, harga-harga kebutuhan pokok di kawasan pedalaman pun biasanya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga produk yang sama di kota kecamatan atau di pusat kabupaten. Sarana transportasi antara desa di pedalaman dan kota terdekat pun biasanya juga minim.
Abi bercerita, selama 32 tahun mengabdi, dia sudah bekerja di 15 desa pedalaman. Di setiap desa pedalaman itu, bila dirata-rata, dia bekerja selama lebih kurang tiga tahun. "Tahun ketiga merupakan 'puncak' karier saya di desa itu,"ujar Abi sambil tertawa.
"Tidak hanya mengajar, tetapi disetiap desa itu saya juga terlibat dengan sejumlah kegiatan desa. Sebagai guru, kita tidak bisa membiarkan masyarakat bekerja sendirian. Banyak warga desa yang bisa tidak taat kepada kepala desa, tetapi kepada guru sikap mereka bisa berbeda sekali," cerita Abi.
Di hampir semua desa pedalaman tempatnya mengajar, Abi ikut membantu menyusun administrasi desa, menggerakkan warga mengikuti sejumlah program pemerintah, seperti program nasional pemberdayaan masyarakat desa, keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, serta wajib belajar sembilan tahun.

Buta aksara

Anak-anak dan orang dewasa yang buta aksara pun dia perjuangkan agar bisa membaca dan menulis. Kegiatan ini dia lakukan setiap hari Sabtu dan Minggu. Mereka berkumpul di rumah Abi untuk mendapatkan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung.
Jumlah penyandang buta aksara di setiap desa itu berkisar 50-100 orang. Kebanyakan dari mereka adalah anak perempuan usia sekolah.
Ini berkaitan dengan anggapan dari orangtua bahwa anak perempuan tak perlu sekolah karena mereka kelak akan mengikuti suaminya. Perempuan cukup dibekali keterampilan menenun sarung, memasak, dan berbudi pekerti baik.
"Meyakinkan orangtua agar anak perempuan pun masuk sekolah tidak mudah. Melalui pendekatan terus-menerus para orangtua pelan-pelan sadar. Kini sudah banyak anak perempuan desa masuk sekolah, bahkan sampai perguruan tinggi," katanya.
Setiap Abi bertugas di suatu desa, angka drop out siswa SD setempat relatif berkurang. Di SD Tuamolo, Desa Oetalus, Kecamatan Bikomi Selatan, misalnya, sebelum ia mengajar angka drop out setiap tahun ajaran berkisar 30-70 siswa (pria dan perempuan). setelah dua tahun ia mengajar, angka itu berkurang sekitar 10-20 siswa. Ia pun sering menjemput siswa di ladang. Mereka membantu orangtua membersihkan rumput. Ini biasanya terjadi pada pertengahan musim hujan, saat rumput memadati ladang petani.
Abi juga mengajak anak muda setempat mengelola sumber daya alam sekitarnya untuk menghasilkan uang, seperti beternak babi, sapi, dan kambing. Ia juga mengajari mereka budidaya ikan air tawar serta menanam sayur kesukaan warga kota, seperti sawi dan kol.
Guru pegawai negeri dengan golongan IVA ini bercerita, ratusan anak didiknya telah berhasil lulus S-1. Di antara mereka, tiga orang menjadi dokter, lima orang menjadi camat, tujuh orang menjadi anggota DPRD, dan delapan orang menjadi guru SD.
Sebagian dari mereka tak bersedia kembali bekerja di desa. Mereka datang umumnya menjelang pemilihan kepala daerah atau pemilihan anggota DPRD.
"Ketika upaya membuat anak didik memahami apa yang saya ajarkan itu berhasil, saya merasa puas. Semoga apa yang telah saya ajarkan kepada anak didik tidak sia-sia," kata Abi.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 7 JULI 2011

1 komentar: