Kamis, 21 Juli 2011

Mudjijo, Guru bagi Para Petani


BIODATA

Nama : Mudjijo
Lahir : 22 Maret 1953
Pendidikan : Sekolah Menengah Ekonomi Atas
Istri : Hindun Suratih
Anak :
- Maharani Saptaning Wulan
- Isnan Mahardi Fajar
- Jenar Pratiwi Mahardini
Pengalaman :
- Ketua Kontak Tani Nelayan andalan (KTNA) Kabupaten Kediri, 1989-1994 dan
1999-2005
- Wakil Ketua KTNA Provinsi Jatim, 2000-2005
- Sekretaris Ikatan Persaudaraan Petani Hortikultura Kediri, 1998-kini

Di negeri agraris ini,petani justru menjadi potret ironi. Nasib mereka sering kali termarjinalkan, terbelenggu kemiskinan serta kebodohan. namun, Mudjijo tak surut untuk memperjuangkan nasib petani.

Oleh RUNIK SRI ASTUTI

Rumah Mudjijo di Dusun Mangunrejo, Desa Bangkok, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jawa timur, tak pernah sepi kendati terletak di pelosok desa yang jalannya tak beraspal. Mulai dari pelajar sekolah menengah kejuruan pertanian, profesional, hingga pejabat dinas suka mampir ke rumah tersebut.
Di kalangan masyarakat pertanian, rumah Mudjijo dikenal sebagai sekolah lapangan. Di sini para petani bisa menimba ilmu. Mereka belajar teknik bercocok tanam secara benar, memproduksi pupuk organik sendiri, menganalisis tanaman dan hasil panen, sampai belajar ekonomi pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan.
Para muridnya tak hanya berasal dari Kabupaten Kediri dan sekitarnya, tetapi dari berbagai wilayah di Nusantara. Dua bulan lalu misalnya, sejulah delegasi dari jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Bali dikirim oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Pertanian bekerja sama dengan Balai Diklat Pertanian, untuk belajar di rumah Mudjijo.
Mereka belajar membuat pupuk organik dan dekomposer. Semua ilmu yang dikuasai Mudjijo diberikan gratis. Bahkan, dia tak mengeluh jika harus mengeluarkan dana untuk kegiatan mengajar itu. Padahal, ia bukan petani tulen kendati mewarisi darah petani dari sang ayah.
Ia tertarik pertanian karena iba melihat nasib petani di sekelilingnya, yang selalu dikalahkan oleh pedagang. Rasa iba yang kuat membuat dia memutuskan keluar dari pekerjaan yang memberikan kehidupan layak sebagai pegawai bimbingan masyarlat (bimas) di BRI. Ia memilih menjadi pembela petani.
Dengan modal tanah sepetak warisan mertuanya, Mudjijo belajar teknik pertanian secara otodidak. Produktivitas pertanian yang terpuruk setelah 1994 dan mengakibatkan petani jatuh miskin membuat dia gelisah.
Setelah ditelusuri, penyebabnya adalah kondisi tanah pertanian yang jenuh karena kehilangan unsur hara.
Unsur hara hilang setelah eksploitasi besar-besaran melalui pemakaian pupuk anorganik demi menyukseskan program swasembada pangan.
"Idealnya, kandungan unsur hara dalam tanah minimal 5 persen. Tetapi faktanya kandungan unsur hara dalam tanah pertanian kita kurang dari 2 persen. Akibatnya tanaman tak tumbuh maksimal," ujarnya.

Pupuk organik

Untuk mengembalikan produktivitas pertanian, ia berupaya membuat pupuk organik yang dapat mengembalikan kandungan unsur hara tanah. Butuh waktu bertahun-tahun sampai ia menemukan formula pembuatan pupuk organik yang efektif dan efisien. Efektif artinya tepat guna, sedangkan efisien berarti teknik pembuatannya sederhana dan berbiaya murah .
Bahan dasar pembuatan pupuk harus mudah didapatkan di lingkungan sekitar petani. Setelah melalui proses mencoba dan gagal, Mudjijo memilih bahan dasar pupuk itu adalah kotoran sapi, ayam atau kambing, sekam, bekatul, air bersih, dan dekomposer.
Dia lalu melangkah pada teknik pembuatan pupuk. Teknik ini harus mudah agar petani tertarik. Caranya, ia mencampur dekomposer dengan air. Dekomposer bisa dibikin atau dibeli di toko pertanian. Mudjijo pun menemukan formula pembuatan dekomposer.
Proses selanjutnya adalah mencampur kotoran hewan, sekam, bekatul. Setelah semua campuran selesai diproses barulah campuran dekomposer dituangkan ke dalam campuran kotoran hewan, dan diaduk. Kadar airnya harus 30 persen agar hasil pupuk bagus.
Bahan yang telah dicampur itu lalu ditata setinggi 40 sentimeter. Taburkan sisa bekatul tipis-tipis ke gundukan tersebut dan tutup rapat dengan karung goni. Setelah dibiarkan selama tiga hari, pupuk organik siap digunakan. Pupuk ini bisa disimpan sampai empat bulan.
Adapun kebutuhan pupuk organik untuk tanaman padi rata-rata 4.000 kilogram per hektar, jagung 2.000 kilogram per hektar, dan tebu 2.000-3.000 kilogram per hektar. Pemakaian pupuk organik akan mengurangi penggunaan pupuk anorganik seperti urea, ZA, NPK, dan SP 36.
Dengan demikian, biaya produksi petani jauh lebih murah karena ongkos pembelian pupuk anorganik dipangkas. Petani juga tak pusing dengan pasokan pupuk anorganik yang tak pasti dan harganya sering dipermainkan tengkulak.
Sukses merintis pembuatan pupuk organik dan dekomposernya, Mudjijo merintis pengembanagan pertanian hortikultura, khususnya komoditas cabai yang menjadi produk pertanian andalan di Kabupaten Kediri.
ia memelopori pembentukan Ikatan Persaudaraan Petani Hortikultura Kediri (IPPHK), yang beranggotakan petani cabai dan pedagang cabai. Untuk menguatkan organisasi ini, mereka menggandeng distributor perusahaan produsen benih cabai dan sarana pertanian.
Kelompok ini rajin mengakses informasi dari berbagai sumber mengenai perubahan iklim dan pola tanam. Dengan begitu, mereka bisa mengendalikan produksi cabai. Dampaknya, harga cabai terkendali. Mudjijo misalnya, bisa mengetahui berapa luas area tanaman cabai setiap bulan. Ia juga bisa mengetahui berapa luas lahan cabai yang akan panen. Informasi mereka lingkupnya nasional.
"Di Jatim misalnya, luas areal tanaman cabai per tahun tak lebih dari 800 hektar. Sekitar 400 hektar di antaranya ditanam pada Oktober-Desember, sisanya merata setiap bulan. Produksi tanaman cabai pada Januari-Maret rata-rata 40-50 ton per hari. Jika produksi lebih dari itu, harga akan jatuh di bawah Rp 6.000 per kilogram," katanya. Berbekal informasi itu, IPPHK menanam cabai berdasarkan hasil analisis.
Mudjijo juga mengajari petani mencari "ceruk" pasar, antara lain dengan mendekati produsen makanan olahan yang memproduksi saus cabai. Dengan jaringan pasar yang luas, petani tak kesulitan menjual produknya.

Penghargaan

Atas jerih payahnya memajukan industri pertanian, Mudjijo mendapat banyak penghargaan. Penghargaan pertama tahun 1989 untuk Kelompok Marditani yang dia pimpin.saat itu MArditani mendapatkan juara 3 nasional di bidang pengembangan tebu rakyat. Pada 1992 ia mengantarkan Unit Himpunan Supra Insus Kabupaten Kediri sebagai juara nasional di bidang tanaman pangan.
Selain bidang pertanian, Mudjijo juga gemar berorganisasi. Alasannya, berorganisasi membuat kita punya posisi tawar. Apalagi jika organisasi itu dilandasi semangat persatuan. Menurut dia, petani di Tanah Air lemah posisinya karena mereka tidak bersatu. Selama petani bersikap seperti ini, nasib mereka sulit berubah.
Maka, Mudjijo bermimpi para petani mau bersatu. Segelintir petani sudah mewujudkannya, antara lain lewat persatuan petani berbasis komoditas seperti Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), dan IPPHK yang dia rintis.
APTRI bisa bernegosiasi dengan pemerintah dan pedagang gula mengenai harga dasar gula. Sedangkan IPPHK dapat mengontrol produksi cabai untuk menstabilkan harga jual. Tinggal bagaimana bisa menyatukan petani padi dalam suatu organisasi agar mereka juga punya posisi tawar.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 6 JULI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar