Minggu, 24 Juli 2011

Mochamad Thamrin: Sang Mantri Benda Purbakala


MOCHAMAD THAMRIN

Lahir : Sindanglaut, Cirebon, 6 September 1951
Pendidikan : SMAN I Sindanglaut
Profesi : Perajin batu hias dan pengelola Museum Karya Budaya Sakti, Cirebon
Istri : Titin Kartini (50)

Batu-batu aneka warna berukuran besar dan kecil menyapa setiap tamu yang berkunjung ke rumah Mochamad Thamrin di Desa Kubangdeleg, Kecamatan Karangwareng, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Tak untuk pamer, batu-batu itu ditumpuk sebagai pananda sejarah, bagian dari benda purbakala yang selama 26 tahun ini dia kumpulkan di rumahnya, yang sekaligus museum.

OLEH RINI KUSTIASIH

Rumah Thamrin yang dinamai Museum Karya Budaya Sakti Cirebon itu, diakuinya, belum layak disebut museum purbakala. Benda purbakala dan fosil bebatuan disusun seadanya di meja dan di lemari.
Tak terbilang berapa banyak fosil dan benda purbakala yang disimpan di sana. Thamrin menyimpan, antara lain, pecahan gigi badak (rhinocerus), serta tulang jari dan tulang paha sapi purba (bovid).
Sederet dengan fosil-fosil tulang mamalia purba itu, Thamrin memajang fosil jenis kerang atau moluska yang diperkirakan hidup pada zaman Miosen akhir sampai Pliosen awal. Jika ditaksir, fosil moluska yang jumlahnya ratusan itu beruia jutaan tahun. Ia juga menemukan fosil moluska khas perairan Cirebon yang oleh para ahli dinamai Cardium Cheribonensis Ostingh.
"Sejak kecil saya senang benda-benda purbakala. Ayah saya yang tentara sering mengajak masuk-keluar hutan mencari batu hias dan benda kuno untuk disipan atau sebagian dijual," kata lelaki dengan 10 anak itu.
Dinding rumahnya juga dipasangi benda-benda bersejarah, selain fosil dan batu, Thamrn anatara lain, memiliki kapak batu berwarna hijau yang halus, mata tombak kerajaan yang masih tajam, sekalipun debu dan karat menyelimuti di sana-sini.
Pria yang gemar membaca itu juga memiliki bola naga dunia, yakni besi bulat seukuran bola voli yang wangi. Meskipun lemari penyimpanan sudah berkali-kali dibuka, aroma harum terus memancar dari benda tersebut.
"Di dalam bola naga dunia ini saya yakini ada batu warna merah delima yang harganya mahal sekali. Akan tetapi , barang ini tidak akan saya jual. Ini konon peninggalan China. Biar saya simpan untuk anak-anak belajar di museum," ujarnya.
Berbagai benda "aneh" tersebut dia temukan dalam petualangannya menyibak hutan, sungai, dan lembah di tiga wilayah, yakni Cirebon dan Kuningan, Jawa Barat, serta Brebes, Jawa Tengah. Saat mengelana, Thamrin mengaku hanya berbekal martil, cangkul kecil, dan karung. Biasanya, ia berangkat dini hari dan baru pulang dini hari berikutnya.
"Orang-orang menyebut saya gila, tak apa-apa. Mereka hanya tak mengerti apa yang saya lakukan. Saya menghidupi diri sendiri dan banyak orang lain dengan hobi ini," katanya.

Jadi mantri

Thamrin tak serta-merta "gila" purbakala. Saat menginjak dewasa, ia sempat meningalkan hobi purbakalanya. Selepas SMA tahun 1968, dia menjadi mantri kesehatan di Puskesmas Waled , kota kecamatan tak jauh dari tempat kelahirannya di Sindanglaut, Cirebon. Di puskesmas itu ia ikut merasakan penderitaan orang miskin. Selama menjadi pegawai negeri, hatinya berontak karena ada banyak ketidak adilan.
"Menjadi pegawai negeri itu meragukan sebab bisa tak jelas asal-muasal pendapatannya. Penghasilan itu bisa jadi hasil korupsi atau 'permainan' atasan. Saya kecewa dan memutuskan tak lagi menajdi pegawai negeri," katanya.
Pada 1985 ia terjun langsung ke masyarakat. Keahliannya di bidang kesehatan masih diperlukan warga sekitar. Ia rutin membeli obat untuk keperluan pengobatan warga.
"Saat itu dokter masih jarang, padahal banyak warga minta tolong. Saya tolong sebisanya. Misalnya, operasi bibir sumbing, menjahit luka, dan pengobatan ringan, seperti flu dan gatal-gatal. Tak ada tarifnya, terserah warga mampu memberi atau tidak," ceritanya.
Karena kiprahnya itu, warga memanggilnya "Pak Mantri", sekalipun Thamrin sudah tak lagi berdinas di puskesmas.
Sembari melayani warga, "Pak Mantri" kembali menjalani hobi lamanya, keluar-masuk hutan mencari batu hias dan benda purbakala. Setiap batu dan fosil yang dia temukan disimpan, lalu diubah jadi kriya seni. namun, untuk tujuan itu, Thamrin pilih-pilih. Jika fosil dan batuan itu jumlahnya sedikit, ia tak mengutak-atiknya.
Jika jumlah fosil itu banyak, ia tak ragu menjualnya sebagai benda seni. Untuk sebuah batu fosil unik, ia mendulang puluhan juta rupiah. Sebagian dari pendapatan itu ia gunakan untuk membangun museum yang dikelolanya kini.
"Setiap fosil yang saya temukan selalu saya simpan dan laporkan kepada Balai Arkeologi di Bandung (Jawa Barat). Dari para ahli itu, saya belajar tentang kekayaan arkeologi dan geologi yang dimiliki Cirebon. Setiap temuan yang bernilai sejarah tinggi selalu saya simpan, tidak dijual," ujarnya.
Dari hasil berdiskusi dengan para ahli itu ia menyadari, banyak fosil dan benda purbakala yang mesti diselamatkan. Tak hanya dari kerusakan, tetapi juga dari pencurian. Mengutip ungkapan Bung Karno, Thamrin mengingatkan, "Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!"
"Dari sejarah, tumbuh pengetahuan baru. Mereka yang melupakan sejarah sama dengan orang yang kehilangan identitas. Orang yang kehilangan identitas itu seperti orang gila, tak tahu arah mau kemana," ujarnya berkali-kali.

Tempat belajar

Karena itulah, ia bertekad membuat museum. Ia ingin barang-barang temuannya disimpan dengan baik dan bermanfaat untuk pendidikan. Tahun 2008, niatnya itu terlaksana. Bekas warung sekaligus rumahnya di Desa Kubangdeleg "disulap" menjadi museum. Biaya pembangunan dan perawatan museum yang dinamainya Karya Budaya Sakti itu diambil dari koceknya.
Beberapa kali ahli arkeologi dari dalam dan luar negeri berkunjung dan meneliti temuan Thamrin. Salah satunya, Gert van den Bergh, peneliti asal Belanda dari University of Wollongong, Australia, yang datang setiap tahun.
Siswa sekolah dari Cirebon sampai Jawa Tengah pun datang ke museum itu dan belajar kepada dia mengenai benda purbakala. Thamrin juga kerap diundang menjadi pembicara dalam diskusi bersama ahli dari Balai Arkeologi Bandung dan Museum Geologi Bandung.
Tahun 2010, Balai Arkeologi Bandung menata ulang museum itu dan mendata temuan Thamrin. "Kegilaannya" mendapat pengakuan. Di mata warga, apa yang dia lakukan kini dihargai. Ada 40 orang yang bekerja dengannya mengikuti jejak "Pak Mantri" yang "gila" purbakala. Di sela-sela kegiatan warga bertani, mereka punya kegiatan baru, sebagai perajin batu hias.
Fosil bebatuan yang rusak diubah menjadi gantungan kunci, cincin, asbak, hiasan taman, dan alat musik. Tak ada benda yang terbuang sia-sia. batuan unik yang dulu tak bernilai, kini tampil pada berbagai pameran.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 25 JULI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar