Selasa, 19 Juli 2011

Ki Ledjar Soebroto, di Kaki Jalan Layang


DATA DIRI

Nama : Jariman atau Ki Ledjar Soebroto
Lahir : Wonosobo, Jawa Tengah, 20 Mei 1938
Pendidikan : Sekolah Rakyat
Istri : Kardjiyah (75)
Anak : Tujuh orang
Pencapaian : Berbagai karyanya menjadi koleksi museum nasional dan internasional, seperti Museum of Anthropology (Dominique Major) Kanada, Museum Westfreis di Hoorn, Belanda, Dr Walter Angst di Salem, Jerman, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, dan Museum Wayang Jakarta.
Penghargaan :
- Penghargaan Seni 1997 dari Pemprov DI Yogyakarta
- Penghargaan Gatra 1995 atas kepeloporan, kreativitas, dan inovasi dalam
menghidupkan wayang kancil yang nyaris punah.

Di kaki tiang-tiang pancang jalan layang Lempuyangan, Yogyakarta, terpampang deretan lukisan bernuansa etnik Jawa. Sebuah lukisan dengan latar Keraton Mataram dalam warna-warna terang. Inilah salah satu karya Ki Ledjar Soebroto, seniman tradisional sekaligus dalang wayang kancil dari Yogyakarta yang tetap berkarya hingga usia senja.

Oleh IRENE SARWINDHANINGRUM

Tubuh yang ringkih dan rambut memutih tak bisa menghentikan dia untuk berkarya. Mural bertema penyerbuan Sultan Agung ke Batavia diselesaikan akhir tahun 2007 saat usianya telah lewat 69 tahun.
Bersama enam seniman tradisional Yogyakarta dan anggota Sanggar Wayang Kancil asuhannya, K i Ledjar mengerjakan mural atau lukisan dinding berjudul Tanda dari Jogja itu. Karya itu mengubah ruang bawah jembatan layang yang semula dipenuhi coretan menjadi tak ubahnya ruang pameran.
Meski tak banyak orang tahu siapa penciptanya, lukisan dinding berukuran "raksasa" itu bisa jadi karya Ki Ledjar yang terbanyak dilihat orang. Namun, bagi dia, lukisan itu hanyalah slah satu dari ratusan karya yang pernah dibuatnya demi melestarikan seni wayang terutama wayang kancil.
Wayang-wayang kancil buatan Ki Ledjar telah menghuni sejumlah museum di dalam dan luar negeri, termasuk Museum Wayang Jakarta dan Ubersee di Bremen, Jerman. Terlepas dari prestasi yang telah dia capai, kegelisahan masih merundung sang dalang tua. Inilah yang menjadi sumber kegelisahan itu.
"Mengapa seni wayang malah tak mendapat tempat di negeri sendiri? Padahal, penghargaan dari negeri-negeri asing begitu tinggi?" ucapnya bernada prihatin.
Pertanyaan itu timbul saat semakin banyak pesanan membuat wayang datang dari luar negeri, seperti dari Jerman, Jepang, Perancis, dan Belanda. Namun, pesanan dari negeri sendiri justru makin tak pasti. Beberapa kali dia diundang memainkan wayang kancil di depan warga asing, tetapi undangan dari dalam negeri bisa dihitung dengan jari.
Setahun yang lalu, mantan pemain wayang orang ini diundang memainkan wayang kancil di Belanda. Selain tampil dan memberikan kursus membuat wayang di berbagai museum, Ki Ledjar juga tampil di Pasar Malam Tong-tong, festival seni dan budaya yang digelar setahun sekali di Den Haag, Belanda. Sebuah media lokal merekam pementasan dalang wayang kancil Ki Ledjar itu, sebagai salah satu pertunjukan yang mendapat sambutan meriah.
Pada Mei tahun ini, ia kembali mendapat undangan pada acara yang sama. tak hanya di Belanda, Jerman dan Perancis pun akan dia jelajahi bersama sekotak wayang kancil dan wayang revolusi karya terbarunya.

Keluarga dalang

Terlahir dari keluarga dalang Ki Hadi Sukarto di lereng Gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah, lelaki yang bernama asli Jariman itu bisa dibilang telah bergelut dengan wayang seumur hidupnya.
Memasuki usia 17 tahun, gairah menimba ilmu pedalangan membuat dia meninggalkan kampung halaman untuk nyantrik (berguru sekaligus melayani) kepada dalang terkenal Ki Narto Sabdo. Dalam masa nyantrik itulah nama Ledjar dia peroleh.
"Karena bisa membuat Ki Narto Sabdo tertawa, saya diberi nama Ledjar, yang artinya tenteram dalam kesenangan," ujar dia di rumahnya yang merangkap bengkel pembuatan wayang.
Puas nyantrik, timbul niat Ledjar muda untuk mandiri. Berbekal keahlian mendalang dan membuat wayang, ia merantau ke Yogyakarta. Masa awal di kota ini tak mudah baginya.
Ledjar harus menghidupi diri dengan menjadi buruh mewarnai wayang. Berbagai pasar malam dia telusuri untuk menjual wayang garapannya. Untuk menambah pendapatan yang kerap tidak memadai, ia menyambi berjualan rokok ketengan dan "buntut" (lotre) berhadiah.
Sambil berjualan, Ledjar muda mengumpulkan uang. Modal yang terkumpul itu dia gunakan mendirikan Sanggar Wayang Kancil yang hingga kini menjadi sumber nafkahnya. Minatnya terhadap wayang kancil mulai tumbuh sekitar tahun 1980. "Tidak banyak orang yang mendalami wayang jenis ini. Padahal, wayang kancil bisa menjadi media yang tepat untuk mengajarkan pendidikan seni dan budaya, terutama kepada anak-anak," katanya memberi alasan.
Wayang kancil adalah jenis wayang yang ceritanya berkisar tentang dongeng kancil dan hewan-hewan lainnya. Konon, wayang ini diciptakan Sunan Giri sekitar tahun 1808 untuk mengajarkan agama Islam. Alur ceritanya sederhana sehingga wayang kancil mudah dipahami anak-anak atau orang yang tidak terlalu mengenal wayang. Wujud wayang kancil pun relatif menarik dengan warna-warni cerah.
Namun, kisah yang sederhana bukan berarti tak berbobot. Secerdas kancil, tokoh kesayangannya, Ki Ledjar lihai menyisipkan pesan-pesan moral dalam setiap pementasan. Pesan untuk melestarikan alam merupakan salah satu favoritnya. Untuk menguatkan pesan yang ingin disampaikan, Ki Ledjar memadukan dongeng dengan kondisi zaman kini.
Suatu kali, misalnya, Ki Ledjar menghiasi kali (sungai kecil) dalam kisah Kancil Nyabrang Kali dengan berbagai sampah, termasuk pakaian dalam wanita. Pementasannya di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta beberapa waktu lalu itu bisa membuat penonton tertawa.

Wayang revolusi

Tidak berhenti pada wayang kancil, kreativitas Ki Ledjar terus berkembang. Karya terbarunya adalah satu set wayang revolusi akan diluncurkan di Museum Bronbeek di Delft, Belanda, Mei nanti. Wayang revolusi ini menggambarkan tokoh-tokoh revolusi di Indonesia, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta.
Dalam acara itu, turut pula diluncurkan game komputer wayang kancil karya cucu Ki Ledjar yang mewarisi darah seninya, Ananta Wicaksono (25).
Dari tujuh anak, 15 cucu, dan dua cicit, hanya Nanang, panggilan mahasiswa Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, yang meneruskan karya Ki Ledjar.
"Saya ikut Ki Ledjar sejak umur satu tahun. Saya juga sering ikut tampil bersama (Ki Ledjar). Dari pengalaman tampil itulah, saya belajar seni pedalangan," kata Nanang yang juga mahir mendalang.
Akan tetapi tak seperti dalang yang biasa dibayar jutaan rupiah sekali tampil, karya panjang Ki Ledjar tak memberinya banyak harta. Rumahnya di kawasan Jalan Mataram, Yogyakarta, relatif sederhana. Ini kontras dibandingkan dengan barisan pertokoan di sekelilingnya.
Namun, memang bukan harta yang dicari Ki Ledjar. Pada masa senjanya, ia hanya ingin terus berkarya untuk melestarikan warisan leluhur. Maka, kaki tiang-tiang pancang jembatan layang Lempuyangan itu seperti terus mengokohkan tekadnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 29 APRIL 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar