HAGA SALMIN
Lahir : Desa Tangkahen, Kecamatan Banamatingang, Kabupaten Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah, 11 November 1972
Pendidikan :
- Sekolah Dasar Inpres Berengbengkel, Palangkaraya
- Sekolah Teknik Palangkaraya, Jurusan Bangunan (setingkat SMP)
- Sekolah Teknik Menengah Negeri 1 Palangkaraya, Jurusan Bangunan
Istri : Maslinah
Anak :
- Novia Pebriani
- Andika Pranata
- Amelia Cintha
Menghirup asap kebakaran hutan rasanya sesak. Keengganan mengisap "hasil" pembakaran itu menjadi motivasi Haga Salmin bergabung dalam Tim Serbu Api Kalimantaan Tengah. Tim itu berperan sebagai pencegah dan pemadam kebakaran hutan di Kalimantan Tengah.
OLEH DWI BAYU RADIUS
Saat pertama mendengar tentang Tim Serbu Api (TSA) tahun 1997, Haga baru tiba dari ruamh saudaranya di Kabupaten Katingan, Kalteng. Ia merasa lelah setelah menempuh perjalanan lebih dari 300 kilometer, pulang ke rumahnya di Kalampangan, Palangkaraya. Perjalanan itu ditempuhnya selama dua hari, dengan 100 kilometer di antaranya menggunakan perahu.
"Waktu saya baru sampai di rumah, ada anggota TSA yang mengajak melihat kebakaran di hutan. Meski lelah, saya langsung ikut dan tergerak memadamkan api," katanya.
Mereka berjalan di tengah hutan sambil merasakan sesaknya napas menghirup asap, mulai dari pukul 20.00 hingga tengah malam. Rasa waswas pun menghinggapi Haga saat melihat jarak kobaran api dengan rumahnya hanya sekitar 300 meter. Oleh karena itulah, dia lalu memutuskan terlibat dalam TSA. Bencana itu begitu besar. Sekitar 50.000 hektar hutan di Kalampangan dan Sebagau, Palangkaraya, habis terbakar.
"Lahan yang terbakar mencakup 70 persen dari total luas kawasan itu. Asap kebakaran mengganggu pernapasan warga, petani juga tak bisa bekerja," tuturnya.
Ilalang dan pepohonan di tepi jalan pun berubah menjadi bara. Jalan aspal sekalipun tak kuat menahan panas hingga retak. "Bara itu merembet ke bagian gambut di bawah jalan. Begitulah dahsyatnya saat lapisan gambut pun ikut terbakar," ujarnya.
gambut adalah sisa-sisa bagian pohon yang tertimbun dan amat mudah terbakar, pada musim kemarau. Jika sudah terbakar, lahan gambut sulit dipadamkan karena bara api bisa membakar lapisan dibawahnya. Kebakaran yang dianggap orang sudah padam setelah disiram air bisa muncul sewaktu-waktu.
"Susahnya, bara itu berada di bawah tanah. Kalau orang menyiramkan air di situ, dalam satu jam api bisa menyala. Jadi, lahan itu harus digenangi air," papar Haga.
Selama ia bertugas, kebakaran besar melanda wilayah tugasnya tiga kali, yakni tahun 1997, 2002, dan 2008. Kemampuan dan kegigihan Haga memadamkan serta mencegah kebakaran hutan di Kalampangan dan Sebangau membuat dia dipercaya menjadi "komandan" bagi tim TSA. dia menjadi Koordinator TSA Kalteng sejak tahun 2002.
Kepedulian rendah
Pada awal Haga bertugas, dia dan rekan-rekannya di TSA harus menghadapi tantangan lain di luar kobaran api. Kepedulian warga amat rendah, mereka hanya menjadi penonton kebakaran.
"Mereka sibuk bertani atau berjualan hasil panen. Kalau diminta ikut mencegah kebakaran, mereka bilang capek," katanya.
Upah juga menjadi kendala. Sejumlah warga menanyakan besarnya honor jika terlibat dalam TSA. Sementara sumber dana TSA bisa dikatakan tak pasti. "Kalau dapat dari LSM (lembaga swadaya masyarakat) luar negeri, baru tersedia dana di TSA," ujar Haga.
Oleh karena itu, tak jarang anggota TSA harus merogoh kocek sendiri, bahkan berutang sebelum ada dana dari LSM. Sebab, tak semua anggota TSA berasal dari dengan kondisi ekonomi mapan.
haga, misalnya, "hanya" memiliki usaha pengangkutan barnag kecil-kecilan dengan penghasilan sekitar Rp 3 juta per bulan. Rumah Haga relatif sederhana, terbuat dari kayu. Beberapa bagian rumahnya sudah kusam. kalaupun akhirnya dana bisa diperoleh, anggota TSA yang bertugas rata-rata mendapat honor sekitar Rp 60.000 per hari.
"Uang sebesar itu tak menarik untuk sebagian warga. Tak heran jika anggota TSA berganti-ganti setiap tahun," tuurnya.
Anggota TSA biasanya mengundurkan diri begitu mereka mendapatkan pekerjaan yang hasilnya lebih menjanjikan. Jumlah anggota TSA Kalteng sekitar 40 orang.
"Setiap tahun rata-rata 10orang mundur dan diganti anggota baru. Menjadi anggota TSA memang sebaiknya tak terlalu memikirkan materi," kata Haga.
Cinta hutan
Kecintaan terhadap hutan dan menghindarkan warga dari bahaya kebakaran harus menjadi motivasi utama anggota TSA. Apalagi tugas anggota TSA kerap bersinggungan dengan maut. Banyak anggota TSA, termasuk Haga, puluhan kali terperosok ke tanah rapuh dengan bara api pada lapisan bawahnya.
"Kaki kami bisa kena luka bakar karena bara masuk lewat sela-sela sepatu bot. Kalau sudah terperosok, satu bulan kaki baru sembuh. Jangankan kaki, sepatu saja melepuh kena bara," ujarnya.
Ia pernah nyaris tewas terpanggang saat masuk hutan yang terbakar pada 2008. Api sudah menghadang di depannya. "Saya mau mengambil tiga mesin pompa dan selang sepanjang 600 meter. Tahu-tahu api muncul di belakang (saya) karena mengikuti arah angin," cerita Haga, yang selamat karena nekat memacu sepeda motor menembus kobaran api. Peralatan tak bisa dibawanya dan hangus terbakar.
Nasib serupa pernah dialami beberapa rekannya di TSA.haga, berkisah tentang salah satu kejadian, "Ada lima orang anggota TSA yang harus terjun ke kanal eks program Pengembangan Lahan Gambut untuk menyelamatkan diri. hanya lubang hidung mereka yang muncul di permukaan air."
Menurut Haga, asap dari bara api di lahan gambut terasa lebih pedas di mata dan sesak terhirup hidung dibandingkan asap dari kebakaran pohon. Risiko lain anggota TSA adalah diserang hewan liar seperti ular dan buaya.
kini anggota TSA berkoordinasi dengan pemerintah desa sekitarnya meski warga yang bersedia membantu mereka belum dapat dipastikan karena tugas ini berdasar kesukarelaan.
"Peralatan dan jumlah personil TSA belum memadai. banyak selang kami sudah lapuk, tak bisa dipakai. Kami tak mampu membeli karena harganya mahal, "kata Haga, yang berharap suatu hari nanti TSA bisa bekerja dengan peralatan lengkap dan jumlah personel mencukupi.
harga selang khusus untuk pemadaman sekitar Rp 600.000 per 20 meter dengan diameter 2 inci (5 cm). Jumlah anggota TSA idealnya sekitar 100 orang.
"Jika terjadi kebakaran besar, bahan bakar yang kami butuhkan dua drum atau 400 liter premium per hari untuk menggerakkan pompa air," ujar Haga. Dia berharap makin banyak warga yang mencintai hutan dan mau membantu memadamkan kebakaran hutan.
Keluarga Haga sebenarnya mencemaskan keselamatan ayah tiga anak itu. namun, mereka berusaha memahami tugas Haga demi keselamatan banyak orang.
"Saya tak tahu sampai kapan menjadi Koordinator TSA. Selama masih dibutuhkan dan mampu mengerjakan, saya akan melaksanakan tugas ini," katanya.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS 14 JULI 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar