Minggu, 31 Juli 2011

Chendana Putra : Pelestari Tarian Tradisional Pedalaman


CHENDANA PUTRA

Lahir : Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, 3 Maret 1979
Istri : Patrilia Paulina (27)
Pendidikan :
- SD Negeri Patih Rumbih, Palangkaraya
- SMP Nusantara, Palangkaraya
- SMA Kristen Palangkaraya

Berkali-kali tak diacuhkan saat pentas di daerah sendiri, tidak membuat semangat Chendana Putra surut untuk berkreasi membuat tari-tarian baru. Ketika generasi penerus cenderung meningalkan kesenian lokal, seniman dari Kalimantan Tengah yang relatif masih berusia muda ini justru bertekad melestarikannya.

OLEH DWI BAYU RADIUS

Chendana lahir dari keluarga seniman. Seiring bertambahnya usia, tumbuh pula kecintaannya terhadap budaya Dayak. Meski orangtua membebaskan anak-anaknya memilih cita-cita mereka, tetapi dia berketetapan hati menempuh jalur hidup sebagai seniman tarian tradisional pedalaman Kalimantan Tengah (Kalteng).
"Itulah 'darah' saya," ujarnya, menjelaskan tentang mengapa dia memilih menjadi seniman tari tradisional Kalteng.
Tarian tradisional pedalaman bercirikan gerakan yang diiringi alat musik, seperti gendang, kecapi, rebab, dan suling. Saat kesenian itu diperagakan, syair berisi pesan bijak dalam bahasa Dayak Ngaju pun menyertai sang penari.
Ketika berumur 17 tahun, Chendana sudah menciptakan tariannya yang pertama. "Nama tariannya saya sudah lupa," kata pria yang sudah menciptakan lebih dari 20 tarian dan tinggal di Palangkaraya, Kalteng ini.
Prestasi Chendana pun telah diukir dengan menjuarai berbagai kompetisi. Tari manyaluh batang danum pasang, misalnya, membawa Chendana dan timnya meraih juara pertama dalam perayaan ulang tahun Kalteng atau Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2011.
Tarian itu, menceritakan warna-warni kehidupan muda-mudi masa kini. Kreasi Chendana lainnya adalah tari manalampas dahiangbaya yang berarti membersihkan pertanda jahat. tarian itu pun membuat dia dan timnya mendapat juara pertama dalam FBIM 2010.
Tahun 2009, tim Chendana yang bernggotakan 20 orang menjadi juara kedua dalam acara tahunan yang sama. Dalam FBIM pula Chendana meraih penghargaan sebagai penata tari terbaik berturut-turut tahun 2009-2011.

Pengalaman pahit

Di sisi lain, dia menilai kecintaan masyarakat, terutama generasi muda Kalteng, terhadap kesenian Dayak umumnya kian pudar. Kondisi itu menjadi pengalaman pahityang dirasakan Chendana, justru di tanah kelahirannya.
Ia mengkau tak jarang diremehkan sebagian orang saat unjuk kebolehan. Dalam suaatu acara, misalnya, panitia justru menyediakan waktu menari saat hadirin sedang makan. Ini berarti hadirin sibuk makan dan ngobrol, mereka tidak menonton tarian yang ditampilkan.
Dalam kesempatan lain di Palangkaraya, ia menggelar pertunjukan dan tak jauh dari lokasi itu diadakan konser dangdut. "Kalau sudah ada dangdut, banyak (penonton) yang kabur. Mereka yang menyaksikan pertunjukkan saya pun menonton sambil jajan," katanya.
Pernah pula dalam satu acara, pertunjukan Chendana disandingkan dengan musik pop di sudut lainnya. Penonton pun lebih tertarik berkerumun di depan panggung kelompok musik pop. Padahal di luar Kalimantan, tari-tarian yang dimainkan Chendana justru kerap memperoleh sambutan.
Dalam Pekan Produk Kreatif Indonesia di Jakarta Convention Center, 8 Juli 2011, misalnya, tepuk tangan hadirin muncul seusai Chendana dan rekan-rekannya menampilkan kinyah atau tarian perang. Penari tampil dengan mahkota bulu burung enggang serta kalung tulang dan gigi hewan liar mengalungi lehernya.
Jemari mereka lincah memutar-mutar mandau dan perisai. Khalayak terpukau dengan keelokan kostum dan keluwesan para penari.

Membentuk komunitas

Chendana berkeliling ke berbagai provinsi di Indonesia sejak berusia 10 tahun. Dia tak ingat sudah berapa kali tampil, tetapi semua provinsi di Pulau Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera telah disinggahinya untuk berpentas.
Terkikisnya budaya lokal di Kalteng justru memicu semangat Chendana untuk melestarikan warisan leluhurnya kian besar.
"Generasi muda lebih suka membentuk band. Mereka menganggap kesenian tradisional itu kecil, cetek, dan pinggiran. Itulah tanda-tanda kepunahan kesenian (tradisional)," katanya.
Padahal, lanjutnya, kesenian Dayak bia diibaratkan sebagai mutiara kebudayaan Kalimantan.
Selain mengingatkan orang pada kesenian lokal, tarian juga difungsikan sebagai wadah untuk menyampaikan pesan moral kepada anak muda. Dalam tarian manyaluh batang danum pasang, misalnya, disisipkan nasehat kepada generasi muda untuk menjaga etika dan menghindari pergaulan bebas.
Tahun 2009, Chendana membentuk wadah untuk mereka yang mencintai kesenian khas Dayak, yakni Komunitas Tarantang Petak Balanga."Arti nama komunitas ini adalah generasi-generasi yang terpilih. Saya menjadi ketua hariannya," katanya.
Tujuan mereka yang bergabung dengan komunitas itu bermacam-macam, dari sekadar ingin tahu hingga serius mendalami kesenian. Jadilah para anggota komunitas datang dan pergi silih berganti. Meski begitu, setiap latihan jumlah peserta biasanya lebih dari 50 orang.
"Saya tak menganggap mereka yang datang adalah anak didik. Mereka saya anggap setara, sebagai rekan satu tim," ujarnya.
Namun, jadwal latihan menari komunitas ini belum tetap, tergantung kesepakatan anggota komunitas. Biasanya mereka latihan hampir setiap hari, kecuali ada lomba atau pentas.
Latihan diadakan di Jalan Patih Rumbih, Palangkaraya, di bagian belakang rumah Chendana. Ruang seluas 15x25 meter itu berlantai semen. Bagian tepi ruang disesaki berbagai alat musik, senjata tradisional, dan kostum penari.
Separuh dinding ruang latihan berupa kayu lapuk dengan atap seng. Di sudut lain, ada beberapa sofa yang tak lagi utuh. Biaya perawatan peralatan komunitas itu berasal dari kocek Chendana.
"Kadang ada dana dari donatur walau jumlahnya tak menentu. Kalau kami menjadi juara dan berhadiah uang, teman-teman menyisihkan sebagian (dari hadiah itu)," ucapnya.
Hadiah sebagai juara yang pernah mereka terima bervariasi. Misalnya, sebagai juara pertama FBIM tahun 2011 mereka menerima Rp 2,25 juta.
"Kalau uang sebesar itu dibagi untuk 20 anggota tim, belum memadai dibandingkan dengan tenaga, waktu, dan biaya yang kami keluarkan," ujar Chendana.
Persiapan untuk mengikuti lomba saja membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. akan tetapi, jika tarian mereka dinikmati dan diapresiasi khalayak, kepuasannya melebihi jumlah hadiah uang tersebut.
Bagaimanapun, Chendana konsisten melestarikan tarian Dayak dengan berpegang pada keyakinan, suatu hari nanti kesenian tradisional itu akan bangkit.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 1 AGUSTUS 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar