Selasa, 02 Agustus 2011

Azhar MJ : Modifikasi Musik Lawas Kerinci


AZHAR MJ

Usia : 48 tahun
Istri : Letna Wilis (39)
Anak :
- Mesy Juliza (20)
- Bela (13)
Pendidikan : Akademi Seni Drama dan Film Yogyakarta, lulus 1984
Pencapaian :
- Album "Musik Tradisi Kerinci Mindulahin"
- Mendirikan Sanggar Seni "Mindulahin" di Kerinci, 1979, dan mengembangkan
hingga ke Kota Jambi (1992). Mereka berlatih di Taman Budaya Jambi.
- Menciptakan sejumlah alat musik tradisi modifikasi dan menghidupkan kembali
penggunaan sejumlah alat musik yang hampir punah.

Dalam budaya modern yang dinamis dan saling melebur, musik tradisi kian ditinggalkan. Anak muda seolah tak berminat dengan warisan tempo dulu. Musik tradisi terdengar monoton, lamban, dan bikin mengantuk.

OLEH IRMA TAMBUNAN

Apa yang salah? " tak ada yang salah," ujar Azhar MJ yang ditemui di Taman Budaya Jambi, Kota Jambi.
Azhar menyadari, kegandrungan akan sesuatu itu selalu berubah-ubah. Anak muda tak bisa dipaksa menikmati musik tradisi. Kini, anak muda lebih menyukai musik pop. Itu tak salah. Namun, ada yang perlu ditata kembali pada musik tradisi.
Kesadaran itu mendorong Azhar mengaransemen musik asal Kerinci dan mengolaborasikan alat-alat musik tradisi untuk menghasikan karya yang lebih dinamis. Rangkaian proses itu dimulainya sejak tahun 1979.
Azhar mendirikan Sanggar Seni Mindulahin yang bermakna kerinduan pada seni tempo dulu.Mindulahin waktu itu beranggota tujuh orang tua. Mereka memiliki emosi serupa, melihat anak muda semakin enggan bermain musik tradisi. Para orang tua ini, kecuali Azhar yang saat itu berusia 16 tahun, bertekad menghidupkan kembali musik khas Kerinci.
Mereka menginventaris semua alat musik milik Kerinci yang sebagian besar berupa tabuhan dan ala musik tiup. Ada kelintang, cangar, gendang, serdam, sekdu, seruni, seruling, dan katete. Ada juga beduk, gambus, akordion, gendang dua sisi, dan gendang sikke. Dari hasil mengumpulkan jenis alat musik itu, mereka menyadari betapa kayanya alat musik Kerinci.
namun, alunan alat-alat musik yang unik itu terdengar kurang menarik karena cenderung dimainkan sendiri-sendiri. Misalnya, katete, alat musik tiup yang terbuat dari batang padi dikelilingi daun kelapa, menghasilkan bentuk seperti corong dengan suara mirip terompet. Katete hanya dimainkan saat petani dan anak-anak berada di sawah menunggu padi siap panen.
Kini, suara unik katete terasa monoton jika diperdengarkan secara tunggal. namun, jika suara katete berpadu dengan sejumlah alat musik tradisi lain, akan muncul musik yang membuat kita suka mendengarnya.
Tak hanya memadukan, Azhar juga melakukan modifikasi. Kelintang, misalnya, selama ini dibuat untuk dimainkan dengan kaki berselonjor. Ia lalu memodifikasi bentuk kelintang sehingga bisa dimainkan anak-anak sambil menari di panggung.
Azhar memperbaharui alat-alat musik sakral yang hanya boleh digunakan pada ritual tertentu, seperti aalt musik magis Torawai-Tirawak, bentuk aslinya menyatu dengan tanah. Pada dua lubang di tanah, dibentangkan kencang senar-senar dari rotan.
Senar yang terbuat dari rotan tersebut tak dimainkan dengan teknik memetik atau menggesek. Senar dipukul atau dilecut dengan tongkat kayu manau. Pukulan iramanya terasa magis, menghasilkan bunyi luar biasa menggetarkan alam sekitar.
Namun, Torawai-Tirawak tak bisa dibawa ke mana-mana karena menyatu dengan tanah. Azhar lalu membuat alat musik serupa berupa senar yang direkatkan pada sejenis tabung seperti drum. Hasilnya, Torawai-Tirawak versi baru, yang dapat dibawa-bawa walaupun suara dan kemagisan yang dihasilkan berbeda.
Azhar juga memanfaatkan tradisi petani Kerinci sebagai musik yang bisa dinikmati umum. Ia kerap melihat keseharian petani di kebun. Dari jarak yang berjauhan, para petani tetap bisa saling berkomunikasi dengan kentungan.
Setiap ketukan kentungan punya makna berbeda yang dapat dimengerti di anatra mereka. Dari situ, ia menciptakan alt musik versi baru yang dibuat dari tujuh kentungan. Alat yang kemudian disebutnya Ketuk 7 ini dapat dikolaborasikan dengan alat musik lainnya.

Masuk hutan

Aktivitas Sanggar Mindulahin dengan cepat menghidupkan seni tradisi Kerinci yang sempat tenggelam. Para penggiatnya rela masuk-keluar hutan mencari sejumlah jenis kayu tertentu yang cocok untuk diolah menjadi alat musik beruara indah, misalnya kayu mahang, kayu terab, dan kayu manau.
Akan tetapi, kegairahan itu tak berlangsung lama. Tahun 1980 Azhar meninggalkan Kerinci untuk kuliah di Akademi Seni Drama dan Film, Yogyakarta. empat tahun kemudian, ia lulus. Saat pulang ke Kerinci, ia mendapati Sanggar Mindulahin tak lagi hidup.
Azhar lalu mengumpulkan semua anggota sanggar dan mengajak mereka rekaman di Kota Padang, Sumatera Barat. Tujuannya agar mereka kembali bersemangat. Album pertama ini berjudul Musik Tradisi Kerinci Mindulahin, berisi suguhan musik tradisi yang dimodifikasi dengan berbagai jenis alat musik. Kegiatan rekaman rupanya berhasil menghidupkan semangat para anggota sanggar.
Tahun 1992, Azhar menjadi pegawai negeri sipil dan ditempatkan di Kota Jambi. Di tempat baru ini ia juga menggerakkan seni tradisi Melayu Kerinci. Banyak anak-anak dan remaja tertarik berlatih musik dan menari. Kegiatan latihan berlangsung setiap Jumat hinggaMinggu sore di Taman Budaya Jambi, Jambi. "Anggotanya sekitar 25 orang," ujarnya.
Menurut Azhar, Kerinci memiliki kekayaan seni budaya. Ia mencatat, ada sekitar 140 jenis musik, tari, dan seni sastra khas daerah Kerinci yang beragam mengisyaratkan peradaban Proto Melayu hingga Melayu Muda.
Namun, baru sekitar 20 jenis yang terangkat. Artinya, masih banyak potensi budaya belum dimanfaatkan, termasuk untuk kepentingan aset wisata Kerinci. "Padahal, inilah lumbung Kerinci," ujarnya.
Selain tidak maksimal memanfaatkan seni budayanya, Azhar menilai, orang Kerinci kurang melestarikan aset yang dimiliki. Kini, sejumlah pembuat alat musik lokal telah meninggal sehingga ada jenis alat musik tertentu yang sampai harus dipesan ke Kota Medan, Sumatera Utara.
Ia berharap pemerintah daerah juga lebih peduli melindungi seni budaya Kerinci, termasuk dalam upaya mematenkannya. "Kami sudah sebarkan seni budaya Kerinci ke mana-mana, tetapi belum dapat mematenkan apa yang kita miliki karena keterbatasan dana. Kalau tiba-tiba ada yang mengklaim budaya milik Kerinci, kita mau bilang apa?" kata Azhar.
Jangan sampai hasil keringat para penggiat seni budaya Kerinci tersebut menjadi sia-sia. Inilah saatnya membangunkan seluruh karya yang terpendam dan melestarikan yang telah ada.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 3 AGUSTUS 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar