Rabu, 10 Agustus 2011

Sutrisno : Pejuang Kesejahteraan Petani


SUTRISNO

Lahir : Madiun, 1967
Istri : Karsiyatun, 1973
Anak :
- Anton Bakti N (10)
- Indra Dewi K (5)
Pendidikan :
- SD Sambirejo
- SMP Katolik Caruban
- Kejar Paket C (setara SLTA)

Kedelai hitam ("Glycine Soja") memiliki potensi bagus untuk dikembangkan di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Namun, tidak banyak petani yang membudidayakannya karena belum ada kepastian pasar dan jaminan harga. Cerita menjadi lain ketika Sutrisno berhasil mengambil ceruk pasar dan memberikan kepastian harga bagi petani.

OLEH RUNIK SRI ASTUTI

Tidak mudah membuat janji dengan Sutrisno. Sejak ia berhasil meyakinkan industri besar sebagai pasar bagi kedelai hitam tanaman petani di Madiun, penduduk Desa Sambirejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, ini bisa dibilang memiliki kesibukan yang luar biasa sehingga nyaris menyita seluruh waktunya.
Sejak pagi hingga petang, Sutrisno berada di sawah, memantau perkembangan tanaman kedelai. Dari satu sawah, ia berpindah ke sawah yang lain. Begitu setiap hari, sepanjang hari. Pekerjaan yang menyita waktu seperti itu harap dimaklumi karena dia harus memantau kondisi tanaman kedelai di total luas areal tanam tidak kurang dari 147 hektar.
Hebatnya lagi, tanaman kedelai ratusan hektar itu tidak berada dalam satu lokasi, tetapi tersebar di puluhan desa di lima kecamatan di Kabupaten Madiun, yang potensial untuk kedelai, yakni Saradan, Gemarang, Balerejo, Jiwan, dan Pilang Kenceng.
Sutrisno tidak melulu bergerak pada siang hari. Saat sang surya mulai beranjak ke peraduan, di mana kebanyakan orang beristirahat atau bercengkerama dengan keluarga, ia malah berkeliling menyambangi kelompok petani penanam kedelai hitam. Para petani itu sedang mengadakan pertemuan untuk membicarkan tentang berbagai hal yang menyangkut tanaman kedelai ataupun hal lainnya.

Meyakinkan petani

Bagi dia, hanya pada malam hari para petani bisa diajak ngobrol gayeng (sepuasnya) setelah mereka berkutat seharian di ladang. Dengan mengumpulkan para petani, Ketua Kelompok Tani Margo Mulyo ini lebih leluasa menggali persoalan di lapangan. waktunya pun menjadi lebih efektif dan efisien mengingat ada ratusan petani di setiap kelompoknya.
Sebagai contoh, anggota Kelompok Tani Margo Mulyo saja 253 petani, dengan luar areal tanaman kedelai 92 hektar. Di kebanyakan daerah di Tanah Air, tidak terkecuali di Madiun, rata-rata kepemilikan sawah petani kurang dari 0,5 hektar. Belum lagi karakter sawah mereka tidak sama sehingga memerlukan penanganan yang berbeda. Ada sawah yang cukup irigasinya, ada yang tadah hujan, bahkan ada pula yang letaknya di tepian hutan.
Pada satu sisi, Sutrisno merasa bertanggung jawab membimbing para petani kedelai hitam karena dialah yang mengajak. Lebih dari setahun ia berjuang meyakinkan petani bahwa menanam kedelai hitam memiliki masa depan yang cerah.
akan tetapi, pada sisi lain, ia juga harus menunjukkan komitmennya terhaap industri besar yang siap menampung kedelai hitam petani. Peran seperti inilah yang tidak semua orang bisa melakukannya.
Apalagi, tuntutan perusahaan penampung kedelai tidak mudah. Mereka menerapkan pengawasan yang ketat, mulai dari bibit kedelai, teknik budidaya, hingga penanganan pascapanen. Sutrisno pun harus berupaya keras agar para petani mendapatkan hasil kedelai hitam yang benar-benar berkualitas.
Pada musim panen kedelai di bulan Oktober, kesibukan Ketua Gabungan Kelompok Tani Sambirejo ini biasanya semakin berlipat. Itu karena ia harus mengawasi proses panen kedelai hingga penyortiran yang masih dilakukan konvensional dan manual dengan mengandalkan tenaga manusia.
Tidak kurang dari 100 orang terlibat dalam proses sortir kedelai hitam. hampir semua tenaganya adalah ibu-ibu di Desa Sambirejo dan sekitarnya.Sebagian di antara meeka adalah para lanjut usia yang masih butuh uang, tetapi kalah bersaing di dunia kerja sektor informal, apalagi sektor formal.
Untuk mendapatkan 100 ton kedelai hitam pilihan, butuh waktu sortir 5-6 bulan. Jika pada 2011 ini Sutrisno ditargetkan mendapatkan 140 ton kedelai pilihan, bisa dipastikan proses sortir tidak akan selesai dalam delapan bulan. Itu artinya para ibu-ibu akan mendapatkan tambahan uang belanja selama delapan bulan.
"Orang miskin kalau diutangi (diberi pinjaman) Rp 1 juta malah gak dadi gawe (tidak jadi pekerjaan). Namun, kalau dikasih pekerjaan, meski dengan upah hanya Rp 5.000 per hari, jadi bumbu (bisa bantu kebutuhan dapur)," ujar pria yang mengandalkan ijazah kejar Paket C (setara sekolah menengah atas) ini.
Berkat kerja keras Sutrisno, kedelai hitam menjadi komoditas yang diminati petani karena memiliki nilai jual stabil tinggi, yakni Rp 5.200 per kilogram, jauh di atas harga kedelai biasa, Rp 4.000 per kg. Kedelai hitam juga menajdi primadona ketika pangsa pasarnya jelas, yakni memasok kebutuhan bahan baku kecap di PT Unilever Tbk.

Memutus setan kemiskinan

Apabila kedelai kualitas terbaik di setorkan ke industri besar, kedelai yang pecah diolah menjadi kopi susu kedelai. Kedelai yang tidak bisa diolah dijual sebagai pakan ternak. Lalu, tinten, atau kulit kedelai yang terbawa saat panen, diolah sebagai campuran pupuk organik.
Setidaknya ada lima usaha kreatif yang dirintis Sutrisno melalui wadah kelompok taninya, yakni usaha pembuatan bubuk kopi kedelai hitam, usaha pembuatan pupuk organik, usaha jual beli gabah, serta memberikan les gratis pelajaran matematika dan bahasa Inggris untuk anak-anak petani tidak mampu.
Kegiatan yang disebutkan terakhir itu dia rintis karena menyadari bahwa masa depan anak-anak petani adalah hal penting untuk memutus lingkaran setan kemiskinan. Sebagai anak petani miskin, ia merasakan betul mahalnya bangku pendidikan dan terbatasnya akses pendidikan bagi masyarakat di pedesaan.
Buah kerja keras Ketua Kelompok Tani Margomulyo, Desa Sambirejo, Kecamatan Saradan, kabupaten Madiun, ini pun mendapat apresiasi dari kalangan petani dan pemerintah.
Meski bukan tujuan utama, penghargaan demi penghargaan mulai mendatanginya.
Pada 16 Agustus tahun ini, dia diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan sebagai juara I nasional bidang pengembangan agrobisnis kedelai. Sutrisno pun berhasil mengantarkan Kelompok Tani Margomulyo sebagai juara pertama agrobisnis kedelai tingkat Jawa Timur dan Gabungan Kelompok Tani Desa Sambirejo menyabet juara pertama bidang pengembangan usaha agrobisnis pedesaan.
Desanya juga sering menjadi tujuan studi lapangan bagi petani dari sejumlah daerah Nusantara. Sejumlah perusahaan multinasional dan negara tetangga pun tidak ketinggalan. Setidaknya, Direktur Jenderal Keuangan Timor Leste pernah menimba ilmu di tempatnya. Bahkan, puluhan petani dari 12 negara, di antaranya Amerika Serikat, China, dan Hongkong juga sempat menginap di rumahnya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 11 AGUSTUS 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar