Kamis, 04 Agustus 2011

Ede Kadarusman : Mengembalikan Keunggulan Minyak Atsiri Garut


EDE KADARUSMAN

Lahir : Garut, 19 Agustus 1956
Istri : Iis Jubaedah (51)
Anak :
- Ahmad Nur Fathurudin (29)
- Iman Mutaqin (26)
- Nida Hamida (24)
- Ikhsan Taufik (22)
Pendidikan :
- SMA 1 garuta, lulus 1976
- Akademi Akuntansi Bandung, 1984
- Fakultas ekonomi Universitas Indonesia, 1987
Pencapaian :
- Ketua Asosiasi Minyak Atsiri Jawa Barat
- Anggota Dewan Atsiri Indonesia
- Ketua Koperasi Akar Wangi Garut

Minyak atsiri dari penyulingan vetiver bak emas cair bagi penduduk di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Teknik penanaman vetiver yang mudah, bebas hama, dan harga jual minyak atsiri yang tingi membuat banyak warga tertarik mengembangkannya. Minyak atsiri biasa digunakan perusahaan pembuat minyak wangi dan perisa makanan.

OLEH CORNELIUS HELMY

Menurut Ede Kadarusman, petani vetiver di Desa Sukakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten garut, terdapat 2.400 hektar lahan vetiver di Kabupaten Garut yang tersebar di Kecamatan Samarang, Bayongbong, Leles, Cilawu, dan Kecamatan Pasirwangi. Namun, yang tertanami hanya 1.700 hektar.
Dengan lahan seluas itu, Kabupaten garut menyuplai 50 ton-60 ton minyak atsiri per tahun bagi dunia dari total kebutuhan 250 ton per tahun. Ekspor sudah dilakukan ke Jerman, Perancis, India, Srilanka. Jumlah itu hanya kalah dari Haiti yang menghasilkan 100 ton minyak atsiri per tahun.
Dengan perhitungan tersebut, ada 90 ton-100 ton permintaan minyak atsiri dunia belum teerpenuhi."Celah itu yang tengah saya dan teman-teman petani vetiver di Garut coba rintis," kata Ede, yang juga Ketua Koperasi Akar Wangi Garut.
Ede bukan generasi pertama petani vetiver di Garut. Dia adalah cicit Haji Tasdiq, pribumi pionir penyulingan vetiver di Desa Sukakarya, bekerja sama dengan tuan tanah Belanda bernama Mr Haag, sejak tahun 1918. Saat itu, minyak vetiver dijual kepada tuan dan nyonya Belanda yang sengaja singgah di Garut.
"saking raminya, bahkan di sini sempat ada hotel untuk orang eropa. Tetapi sayang, bangunannya sudah hancur akibat agresi militer tahun 1947. Kini yang tersisa tinggal sedikit fondasinya," katanya.
Agresi militer Belanda juga menghancurkan bekas pabrik penyulingan dan berimbas pada hengkangnya mayoritas orang Eropa dari Garut. Akibatnya, bisnis penyuingan pun surut. Baru tiga tahun kemudian, Tasdiq kembali memulai usaha penyulingan dengan ketel buatan penyulingan sederhana yang dibuat sendiri.
"Perlahan, dengan berbagai penyempurnaan, mulai banyak warga menanam kembali minyak vetiver yang memicu tumbuhnya penyulingan di sekitarnya. Kualitas pun terjaga dilihat dari harganya yang tinggi. Kini 1 kilogram minyak vetiver dijual rata-rata di atas Rp 1 juta," kata Ede.

Petani alpa

Keuntungan besar, cerita Ede, pernah membuat petani lupa. Perlahan, keberadaan vetiver diperas tanpa henti. Perhatian pada kesuburan tanah dan kualitasnya dikesampingkan. Akibatnya, kualitas penyulingan vetiver menurun.
Bentuk alpa itu terlihat dari pola tanam yang tidak menggunakan pengukuran jarak tanam yang tepat. Mayoritas petani sembarangan menanam vetiver dengan membuat jarak terlalu dekat antartanaman. Akibatnya, pertumbuhan vetiver tidak maksimal. akar menjadi pendek dan hanya bisa dimanfaatkan sedikit untuk disuling.
Selain itu, petani juga menggunakan pupuk kimia dengan pertimbangan praktis. Akibatnya, tanah terkikis kesuburannya karena tidak kuat menahan kerasnya unsur kimia dari pupuk.
"Panen juga tidak dilakukan sesuai waktu ideal. Petani ingin mnedapatkan untung lebih cepat sehingga memanen vetiver kurang dari 12 bulan," kata Ede.
Selain itu, dengan alasan hemat bahan bakar, tingkat pemanasan penyulingan pun diperbesar. Dari idealnya 2 bar menjadi 5 bar. Di satu sisi cara itu bisa menghemat bahan bakar dan waktu.
Bila dipanaskan 2 bar, dibutuhkan 450 liter solar atau oli bekas untuk menyuling 1 ton akar kering vetiver. Waktu yang dibutuhkan sekitar 20 jam. Sementara dengan menggunakan pemanasan 5 bar, hanya dibutuhkan 350 liter solar atau oli bekas untuk menyuling 1 ton akar kering vetiver. Waktu yang dibutuhkan pun sekitar delapan jam lebih cepat.
Akan tetapi, harga minyak penyulingan 5 bar biasanya jauh lebih murah karena berbau gosong dan keruh. Harga jualnya sekitar Rp 1,2 juta per kilogram. Sementara hasil penyulingan 2 bar jauh lebih mahal, yakni Rp 1,7 juta per kilogram, karena hasilnya lebih jernih.
Kondisi seperti itu mendorong Ede mengajak petani kembali pada pola tanam berbasis warisan ilmu petani zaman dulu. Tak mudah memang, sempat muncul suara penolakan. "Kalau sudah ada cara yang mudah, mengapa harus diganti dengan yang rumit?" tutur Ede menirukan ucapan warga saat itu.

Organik

Ede tak menyerah. Di lahan seluas 20 hektar, ia mempraktikkan sendiri metode tanam yang benar. Ia memperhitungkan jarak antartanaman, sekitar 60 x 40 sentimeter.Tujuannya, memberikan kesempatan pada akar vetiver utuk berkembang biak.
Hasilnya, ia mendapatkan akar yang lebih panjang, sekitar 7 ton kering dengan panjang 50 sentimeter-1 meter. "Hasli ini masih jauh dari vetiver di Thailand yang akarnya mampu mencapai 2 meter," katanya.
Ede juga konsisten hanya menggunakan pupuk organik. Bahan-bahannya dari kotoran kambing atau pembusukan daun vetiver dan akar vetiver penyulingan. Pemupukan dilakukan rutin dan terjadwal, antara pukul 07.00 dan 12.00
Selain pola tanam, untuk meningkatkan penjualan di luar negeri, ia mulai mengembangkan metode penanaman organik demi mendapatkan sertifikasi dari The Institute for Marketology, yang berbasis di Swiss, sejak Juli 2011.
Ede bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Indonesia dan lembaga Swiss Contact mengembangkan metode yang diklaim pertama dilakukan di Indonesia. Cara itu diyakini akan meningkatkan kualitas vetiver dan harga jual minyak atsiri di Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa. Tahap pertama, penanaman organik dilakukan pada lahan vetiver seluas 5 hektar.
"Sebenarnya teknis di lapangan sama dengan yang sudah biasa dilakukan petani. Selain penggunaan kompos dan bahan alami, ada pengaturan jarak tanam dan pemilihan bibit. Namun, kami harus lebih tekun mencatat konsep dan metode tanamnya," katanya.
Ke depan, Ede berharap apa yang dilakukan bisa menginspirasi petani vetiver lainnya. Alasannya, jika menggunakan metode yang tepat, dengan sendirinya vetiver bisa memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi.
"Dengan menjaga agar lahan selalu subur dan konsumsi pasar tetap terjaga, petani tentunya sudah mewariskan 'emas' yang berharga bagi anak cucu kita kelak," katanya.

dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 5 AGUSTUS 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar