Minggu, 14 Agustus 2011

Wariadi : Jadi Juragan Setelah Bangkrut


WARIADI

Lahir : 31 Desember 1978 di Dusun Tanakmaik, Desa Masbagik Utara, Lombok Timur
Istri : Niayah (30)
Anak : M Wiranda Naufal
Pendidikan :
- Sekolah Dasar (lulus 1991)
- Madrasah Tsanawiyah Yadinu (1994)
- Sekolah Penyuluh Pertanian (1997)
- Sarjana Perikanan niversitas Gunung Rinjani, Lombok (2003)

Kalau sudah melangkah, pantang bersurut selangkah pun. Itulah Wariadi (32), pengusaha budidaya ikan air tawar, warga Dusun tanakmaik, Desa Masbagik, Utara, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Lelaki itu sempat jatuh bangkrut lantaran ikan nila dan karpernya tewas terserang "koi herpes virus" sehingga merugi puluhan juta rupiah.

OLEH KHAERUL ANWAR

Lewat kerja kerasnya, sarjana perikanan ini berhasil merajut kembali bisnisnya dari nol lewat usaha pemancingan. Kini ia jadi juragan lesehan dengan menu masakan sederhana: ikan bakar pedas, sambal tomat, sayur bening, pelecing kangkung, dan urap (kacang panjang, kecipir, kangkung, taoge, dan sambal kelapa).
Bukan mustahil, akibat menunya yang khas menurut cita rasa masyarakat Sasak Lombok dan lokasi lesehan yang "tersembunyi", ini membuat Wariadi sukses dengan usaha lesehannya. Lokasi usahanya memasuki perkampungan penduduk, di areal perawahan, dan ada suara gemericik air melalui saluran irigasi sehingga menghadirkan suasana pedesaan.
Ketua Kelompok Budidaya Ikan Purnama ini enggan mengutarakan omzet usahanya. Namun, hal itu bisa tergambar dari jumlah pegawainya yang 14 orang, meliputi delapan laki-laki dan enam perempuan. Wariadi pun memberikan upah Rp 450.000 per karyawan setiap bulan, ditambah makan, sebungkus rokok, dan pulsa telepon tiap hari.
Sementara karyawatinya mendapat upah Rp 60.000-Rp 70.000 per orang tiap dua-tiga hari kerja atau rata-rata Rp 600.000 sebulan. Para karyawati ini tidak harus bekerja di tempat lesehan saban hari. Mereka baru bertugas jika tamu relatif ramai, seperti Sabtu dan Minggu yang merupakan hari libur pegawai kantor pemerintah/swasta dan sekolah.
Sukses Wariadi bisa juga dilihat dari 12 berugak (balai-balai tempat duduk tamu) yang terbuat dari kayu pilihan berukuran 2,5 x 2,5 meter hingga 3 x 3 meter dan dibangun di atas kolam pemeliharaan ikan seluas 3.000 m2. Pengunjung lesehan ini umumnya dari seantero Pulau Lombok, termasuk warga Mataram, ibu kota NTB, yang berjarak 50 kilometer dari lokasi lesehan itu.
Kalaupun kini ada beberapa lokasi lesehan bertumbuh di seputar desa yang melimpah air ini, hal itu tidak lepas dari peran Wariadi sebagai pelopor. Sebelum Wariadi membuka usahanya, sawah-sawah di desa tersebut kebanyakan hanya ditanami padi, budidaya kangkung, dan pemeliharaan ikan bagi kepentingan lokal.
Ada juga tanah kebun ataupun halaman rumah yang oleh pemiliknya disulap menjadi tempat bisnis lesehan dengan menu khas.

Perlintasan maling

Usaha Wariadi tidak langsung sukses seperti saat ini. Dia harus melalui pengorbanan dan perjalanan panjang untuk menempuh itu. "Dulu di sini sepi, jadi perlintasan pencuri di malam hari," katanya menyebut lokasi budidaya ikannya. Kondisi itu diabaikan karena sasaran utama pencuri adalah sapi dan kerbau. Karena itu, Wariadi siang-malam berada di kolam, terutama menjelang panen, agar ikannya tidak "dipanen" lebih dulu oleh orang lain alias dicuri.
Tamat dari Sekolah Penyuluh Pertanian tahun 1997, Wariadi bekerja di salah satu perusahaan budidaya udang di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa. Namun, anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan H Misbah-Kartini ini hanya bertahan empat bulan. Pasalnya, bosnya tidak memenuhi janjinya mengangkat Wariadi sebagai pegawai tetap.
Tahun itu pula Wariadi pulang kampung, lalu kuliah di perguruan tinggi swasta di Lombok Timur, mengambil jurusan budidaya ikan, tahun 1998. Wariadi ingin mandiri secara ekonomi; membiayai kuliahnya sendiri. Pilihannya jatuh pada usaha budidaya ikan yang ditekuninya sejak tahun 1999.
Kebetulan ada areal sawah milik orangtuanya seluas 3.000 m2.Proses pembangunan kolam dikerjakan sendiri , 50.000 bibit ikan karper dan nila dibelinya dengan uangnya sendiri. Untuk memacu perkembangan populasi dan pembesaran ikan, ia meminjam 10 ikan (enam jantan dan empat betina) dari seorang petani. "Nanti kalau panen, dua pertiga hasilnya untuk saya dan sepertiga untuk pemilik yang saya pinjami ikan pejantan dan betinanya itu," katanya.
Karena tempat pemijahannya masih baru, sumber pakan alami tersedia relatif banyak. Tidak heran dalam tempo hitungan bulan, ikan di kolam pemeliharan berkembang dengan baik. Ikan itu pun ada yang dijual untuk konsumsi lokal, dibeli hidup-hidup untuk kegiatan lomba memancing yang saat itu harganya Rp 8.000 per kilogram.

Virus

Perkembangan itu membuat Wariadi dinobatkan sebagai Ketua Kelompok Budidaya Ikan Purnama, beranggotakan 15 orang. Setelah itu, kini tercatat enam kelompok budidaya ikan air tawar di desa itu. Tahun 2003, kelompoknya mendapat pinjaman modal usaha dari instansi teknis sebesar Rp 45 juta.
Namun, tahun itu pula, ketika ikan menjelang masa panen, para petani ditimpa malapetaka. Ikan-ikan peliharaan mereka terserang virus koi. Hampir 90 persen ikan tewas mengapung di air dan selama dua bulan seluruh kolam bau bangkai.
Usaha budidaya ikan di desa itu semuanya gulung tikar. Beruntung pula petani tidak diwajibkan mengganti pinjaman modal karena oleh instansi teknis dianggap kematian ikan itu bukan kesalahan petani, melainkan akibat bencana alam (force majeure).
Wariadi tidak mau larut dalam kesedihan kendati 25 persen dari modalnya sendiri ikut amblas lantaran serangan virus itu. Sedikit ikan yang bisa diselamatkannya dari serangan koi herpes virus itu dijadikan modal awal membangun kembali usahanya.
Dimulai dari membuka lomba memancing tahun 2005. Karena aktivitas memancing di kolam berjalan seharian, banyak di antara pemancing yang meminta Wariadi menyediakan makan buat mereka dengan menu utama ikan bakar pedas.
Lewat cerita para pemancing inilah masakan Wariadi dikenal, menyusul para tamu yang datang mencicipi masakannya. "Berugak yang awalnya satu tak cukup menampung tamu. Lalu, berangsur-angsur saya tambah," ujarnya.
Tahun 2006, ia mendapat pinjaman modal kredit usaha rakyat dari Bank BRI sebesar Rp 5 juta, dengan bunga 13-14 persen setahun. Modal itu digunakan, antara lain, untuk membangun berugak, mengingat kunjungan tamu hampir tidak pernah sepi tiap hari. Perkembangan kunjungan tamu itu memaksa Wariadi menutup usaha pemancingan dan sejak tahun 2007 berkonsentrasi mengelola lesehan sampai sekarang.
Kini Wariadi jadi juragan lesehan dan desa itu berkembang menjadi tujuan wisata kuliner.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 15 AGUSTUS 2011

1 komentar:

  1. Sangat menginspirasi gan,,, tapi coba usahain tampilin foto orangnya juga agar kita tahu seperti apa wajah2 sosok yang bisa menginspirasi itu..

    BalasHapus