Senin, 22 Agustus 2011

Deded Ruhimat : Dedikasi dari Daerah Terpencil


DEDED RUHIMAT

Lahir : Tasikmalaya, Jawa Barat, 6 Maret 1969
Istri : Umaisyaroh (36)
Anak : Atiq Mifthahur Raafi (15), Rifqi Abdurrahman Fadhil (11), Muhammad Garin Natanegara (4), Zena Putri Azzahra (2)
Pendidikan :
- SPG Negeri, Tasikmalaya, lulus 1989
- S-1 Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, 2008
- Sedang mengikuti S-2 Jurusan Administrasi dan Kebijakan Pendidikan Sekolah
Tinggi Ilmu Administrasi "YPPT" Priangan Timur, Tasikmalaya

"Jadi tukang panggul!" itulah jawaban yang diteriakkan salah seorang murid kelas III Sekolah Dasar Inpres Denuh saat Deded Ruhimat bertanya tentang cita-cita muridnya. Kejadian tahun 2005 itu membuat dia tertegun karena sangat jauh dari bayangan ideal cita-cita umumnya anak sekolah dasar.

OLEH CORNELIUS HELMY

Tahun 2004 itu adalah kali pertama Deded berkarya menjadi guru di SD Inpres Denuh yang berlokasi di Kampung Denuh, Desa Cikuya, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekolah ini terletak sekitar 65 kilometer dari pusat kota Kabupaten Tasikmalaya, dipisahkan infrastruktur jalan rusak penuh tanjakan dan berkelok-kelok.
"Kalau anak-anak di kota ditanya cita-citanya, pasti kebanyakan menjawab ingin menjadi dokter atau tentara. Namun, ada anak bercita-cita menjadi tukang panggul, sama sekali tidak masuk dalam pikiran saya," kata Deded.
Baru setelah sekitar sebulan mengajar, dia mulai dapat memaklumi apabila anak didiknya mempunyai cita-cita menjadi tukang panggul. Pasalnya, hingga 2005, listrik dan alat komunikasi tidak masuk ke Kampung Denuh. Akibatnya, kampung ini seperti tertutup dari perkembangan dunia luar. Pengetahuan warga praktis hanya berasal dari pandangan mata pekerjaan orang-orang setempat.
Kekagetan Deded tidak berhenti sampai di sini. Pada akhir tahun pelajaran, dia menemukan fakta tingginya angka anak putus sekolah di Kampung Denuh. Dari 30-50 siswa lulusan SD per tahun, hanya sekitar 10 persen yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Sisanya terpaksa membantu orangtua bekerja di kebun atau menyerah pada jarak SMP terdekat yang berlokasi di pusat Kecamatan Culamega, sekitar 15 kilometer (km) dari Kampung Denuh. Ironis karena sesungguhnya setiap tahun SD Denuh dipadati banyak siswa.
"Saat itu masyarakat belum mengerti betul tentang pentingnya pendidikan. Mereka cenderung meminta anaknya membantu di kebun ketimbang melanjutkan ke SMP yang pasti juga membutuhkan biaya besar setiap hari," katanya.
Keprihatinan itu membuat Deded bersama empat guru lain menerapkan strategi pendidikan terencana. Para guru itu aktif berkunjung ke rumah orangtua siswa setiap hari. Dalam setiap kunjungan tersebut, dalam suasana santai dengan ditemani penganan ringan dan kopi, guru menekankan pentingnya pendidikan pada keluarga.
Salah satu pendekatan yang diambil Deded adalah menceritakan kisah sukses warga Culamega karena mereka terus berusaha bisa sekolah. Di antaranya adalah warga Culamega yang kemudian menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya.
Di sela-sela sosialisasi itu, bersama guru SD Denuh lainnya, Deded pun mengajukan pendirian SMP satu atap. Tujuannya agar lulusan setempat bisa melanjutkan sekolah dengan lebih mudah. Pada 2008, SMP satu atap berhasil didirikan di Kampung Denuh.
"Saat itu sekitar 90 persen dari 30-5- lulusan SD Denuh bisa melanjutkan pendidikan ke SMP. Orangtua murid di sini sekarang justru malu jika tidak menyekolahkan anaknya sampai SMP," katanya.

Jatuh ke jurang

Berkarya di Kampung Denuh bukan pilihan bagi Deded. Selepas diangkat menjadi pegawai negeri sipil pada 2005, ia diberi tugas menjadi guru di Kampung denuh. Saat itu, ia tak mengetahui letak kampung tersebut. Bahkan, di peta Kabupaten Tasikmalaya yang dia miliki pun, nama Denuh tidak tercantum.
Deded terkejut saat pertama kali datang ke Kampung Denuh. Dari rumahnya di Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, ia harus menempuh perjalanan selama empat jam dengan jarak tempuh 65 km.
Perjalanan terasa lebih berat saat ia harus melintasi infrastruktur jalan yang sangat buruk. Hingga kini, mayoritas jalan kampung itu disusun dari batu besar dengan geografis naik turun dan berkelok-kelok. Perjalanan panjang membuat dia harus tinggal di rumah dinas selama lima hari kerja.
"Jumat biasanya saya pulang ke Tasikmalaya guna melanjutkan pendidikan esok hari. Baru Senin pagi saya kembali ke Denuh. Sekarang saya sudah terbiasa, tetapi tidak saat pertama kali mengajar," katanya.
Banyak pengalaman baru yang dia rasakan di tempatnya mengajar. Hari pertama, Deded memilih naik ojek setelah menyimpan motor 100 cc buatan tahun 2002 yang dibelinya dengan sistem kredit itu di rumah warga di Cikawung, kampung terdekat dengan Denuh.
Hal itu dia lakukan selama tiga bulan karena menyadari keterbatasan kemampuannya mengendalikan sepeda motor di jalan licin berbatu.
Dengan ojek, ia menempuh jarak 5 km ke sekolah dalam waktu sekitar satu jam.
Deded bahkan pernah harus berjalan kaki menuju sekolah saat malam harinya kampung itu diguyur hujan deras. Berbekal senter, satu jam ia berjalan, lalu menyerah. Ia bermalam di rumah warga. Satu jam perjalanan berikutnya, dia lakukan esok harinya.
"Ban (sepeda) motor yang bocor hingga jatuh ke jurang sedalam sekitar 5 meter juga pernah saya alami setelah berani membawa motor sendiri," ceritanya.

Guru teladan

Kondisi itu tak membuatnya menyerah. Alasan Deded, begitu banyak semangat yang ia dapatkan setelah sampai di sekolah. Salah satunya, semangat guru yang sudah lebih dulu mengajar di Kampung Denuh.
Saat pertama kali tiba di kampung itu, sekolah tersebut hanya digawangi dua guru yang harus mengajar lebih dari 200 siswa. Kejutan yang lain, saat ia melihat begitu tingginya semangat anak-anak Denuh untuk berekolah.
"Letih yang sering muncul setelah melakukan perjalanan panjang terasa hilang saat melihat antusiasme anak-anak belajar. Pengalaman itu mungkin tidak akan saya rasakan kalau mengajar di kota," katanya.
Dedikasi Deded diapresiasi Pemernitah Kabupaten Tasikmalaya dengan penghargaan sebagai Guru Teladan 2011.
Pada tahun yang sama, ia juga dinobatkan sebagai Guru Berdedikasi Putra Tingkat Jawa Barat.
Penghargaan itu tak membuat dia besar kepala. Bagi Deded, penghargaan justru cambuk untuk bekerja dan berdedikasi lebih baik bagi pendidikan di daerah terpencil.
"Saya masih punya 'pekerjaan rumah' dalam membangun komunikasi yang lebih baik antar warga daerah terpencil dan akses pendidikan," katanya. Deded yakin, dengan pemahaman yang benar, masyarakat tak perlu dipaksa menuntut ilmu.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 23 AGUSTUS 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar