SERIATUN
Lahir : Desa Sapit, Kecamatan Suwela,Lombok Timur, NTB, 25 Agustus 1975
Istri : Halimah (30)
Anak : Al Hilal M (10)
Pendidikan :
- Sekolah Dasar Negeri II Sapit, lulus 1989
- Sekolah Menengah Pertama Negeri IV Suwela, 1994
- SMK Pertanian, Sakra, Lombok Timur, 1997
Mengubah perilaku masyarakat yang gemar menebang pohon di hutan untuk aktivitas rumah tangga agaknya susah juga. Namun, perilaku seperti itu bukan berarti tidak bisa diubah kendati memerlukan orang yang mau berbuat secara nyata sebagai motivator. Dia juga harus punya strategi sebagai "pintu masuk" dalam masyarakat tersebut.
OLEH KHAERUL ANWAR
Salah satu dari motivator itu adalah Seriatun yang kerap disapa Amak Hilal. Dia memiliki semua kemampuan itu untuk menggiring warga Dusun Sapit, Desa Sapit, Kecamatan Suwela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menanam pohon dei melestarikan lingkungan hidup desanya.
"Syukur alhamdulillah. Tiga tahun terakhir ini masyarakat mau menanami sawah, ladang, dan kebun mereka dengan tanaman konservasi," ujar Seriatun, warga Dusun Sapit, Desa Sapit, Kecamatan Suwela, Lombok Timur.
Kepedulian dan totalitasnya itu menjadi alasan pemerintah memberi penghargaan Wanalestari Bidang Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat kepadanya.
Seriatun, anak pasangan Ramijah dan Srianim, merasakan sendiri akibat kerusakan kawasan hutan di desanya, seperti tanah longsor dan krisis air yang nyaris setiap tahun dialami penduduk.
Hutan di desa yang berlokasi di seputar Gunung Rinjani (3.726 meter) itu gundul. Akibatnya, sumur kecil atau titik suber air yang ada di sawah pribadi warga pun umumnya kering kerontang. Begitu pula tanaman padi dan palawija di ladang ataupun kebun, sering tertimbun lumpur yang tergerus air ketika musim hujan.
Kondisi kawasan itu diperburuk dengan program pembukan lahan atau pencetakan sawah baru pada 1999 untuk bercocok tanam. Eksesnya, dari tujuh titik sumber mata air, hanya empat yang debit airnya tersisa bagi warga. Ini pun lambat laun volume airnya nyaris habis.
Konflik yang pernah terjadi di antara dua dusun juga bermula soal air. Warga dusun (hulu) yang dekat lokasi sumber mata air merasa keberatan. Sebab, warga dusun tetangganya (hilir) mengalihkan sebagian alur air agar sawah-sawah di hilir kebagian air, terutama musim kemarau.
Warga hulu dan hilir merasa sama-sama berhak terhadap sumber air itu. Namun, saling klaim air tersebut akhirnya bisa diselesaikan. Mereka kemudian bersepakat mengatur distribusi air sesuai dengan jadwal yang telah disusun bersama.
Pintu masuk
Pengalaman empiris itu lalu dijadikan pintu masuk oleh Seriatun untuk membangun kembali kesadaran masyarakat memelihara sumber daya alam sekitar desanya.
Pada 2002, dia aktif mengikuti kegiatan Gerakan Rehabitasi Lahan dan Hutan (Gerhan) di kawasan hutan di desanya. Luas wilayahnya 14 kilometer persegi dengan luas hutan 2.212 hektar.
Walau ada Gerhan, Seriatun tetap melaksanakan kebiasaannya, antara lain meluangkan waktu untuk masuk-keluar hutan guna mengumpulkan anakan. Dia tidak segan-segan menelusuri sungai yang ada di Kecamatan Sembalun (Lombok Timur) dan Bayan (Lombok Utara) demi mendapatkan bibit tanaman. Apalagi beberapa jenis pohon kayu yang dikenal masyarakat belakangan ini semakin langka. Sebutlah kayu suren, kelokos, dan rajumas yang sangat langka populasinya. Pohon lain yang termasuk cukup langka adalah kayu manis, bajur, dan mahoni yang anakannya harus diburu Seriatun hingga ke hutan di luar desanya.
Kemudian, bibit tanaman itu disemaikannya di lahan milik orangtuanya. Setelah bibit tanaman siap ditanam, Seriatun membagikannya kepada masyarakat desa.
Untuk menyadarkan warga, pada malam hari pun Seriatun menyempatkan diri bertamu dan berbicara dengan semua kalangan masyarakat didesa berpenduduk 1.501 keluarga (4.245 jiwa) ini. Dengan cara itu, dia berharap semakin banyak warga yang peduli dan ikut memulihkan lingkungan kawasan hutan.
Karena ketekunannya itu, masyarakat yang bertugas menghijaukan kawasan hutan Blok Dupe dan Blok Pampang (masing-masing berada di dalam dan luar kawasan hutan) memercayakan posisi ketua kelompok kepada Seriatun.
Pada 2008, sejumlah perusahaan juga menggelar program New Trees di Desa Sapit. Pada kesempatan ini, kembali Seriatun diperaya sebagai penggerak. Di sini Seriatun mendapat pelajaran berharga, tak hanya tentang manajemen persemaian, tetapi juga bagaimana mengoperasikan alat-alat untuk memetakan vegetasi dan pertumbuhan tanaman.
Pembibitan anakan dengan media kadaka (semacam humus yang menempel pada kulit/ batang pohon) bisa dia lakukan. Pembibitan dengan kadaka, kecuali tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman mencapai 99 persen, juga daya tahan tanaman lebih kuat.
"Istilahnya, biar bibit tanaman tumbang diseruduk babi, bibit yang media pakai kadaka bisa bertahan hidup seminggu. Kalau bibit tanaman yang tumbang tersebut menggunakan media tanah, paling lama bertahan hidup sehari, terus layu," katanya.
Gairah warga
Selama tiga tahun aktivitas penghijauan berjalan, warga merasakan dampaknya. Dulu, menjelang musim tanam, Pekasih (petugas pengatur air) sangat sulit membagi air untuk sawah. Kini, pekerjaan Pekasih lebih ringan karena beberapa titik sumber air cenderung meningkat debit airnya.
Dengan pemilikan lahan 0,30hektar (sawah, tegalan, ladang, dan kebun), setidaknya petani bisa menanam 30 pohon tanaman konservasi. Dari kegiatan menanam tanaman penghijauan itu, pohon suren, misalnya, mencapai ketinggian 5 meter dengan diameter 12 sentimeter. Hal sama terjadi pada kelokos dan rajumas yang rata-rata setinggi 3-5 meter.
Pihak Pemerintah Desa Sapit merespons positif munculnya gairah warga melestarikan sumber daya alam tersebut. Wujudnya, penyediaan lahan 2 are (200 meter persegi) untuk proses pembibitan. Selain itu, setiap calon pengantin yang mengurus administrasi pernikahan juga diwajibkan menanam sebatang pohon.
Keberhasilan warga Desa Sapit bergaung sampai ke beberapa desa tetangga. Mereka pun tergerak mengikuti jejak warga Desa Sapit. Sebagai "guru", Seriatun pun menularkan pengalaman dan mengajarkan teknis manajemen pembibitan dan penanaman kepada warga desa tetangga.
"Masyarakat mau mengikuti apa yang kita katakan jika sudah melihat hasilnya," ucapnya.
Untuk menanamkan kepercayaan itu, tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa hutan adalah peninggalan nenek moyang.
"Ini ditambah trauma masyarkat pada kegagalan berbagai program penghijauan instansi teknis yang umumnya menggunakan pendekatan proyek," kata Seriatun.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 22 AGUSTUS 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar