Kamis, 14 Juli 2011

Suhaimi : Patin, Bukan Nostalgia di Tanah Leluhur


SUHAIMI

Lahir : Bangkinang, kampar, Riau, 10 Juli 1968
Pendidikan :
- SD Negeri 02 Bangkinang
- SMP Negeri 1 Bangkinang
- SMA Negeri 1 Bangkinang
- Fakultas Perikanan UNRI, 1993
Istri : Nani Widyawati
Anak : Muhammad Arif Nugraha (9), Nafizah Cahyanihaimi (7)

Keputusannya mundur sebagai pegawai honorer peneliti pada Badan Pengembangan Teknologi Perikanan Riau, membawa perubahan luar biasa buat dirinya dan lingkungannya. Daerah perbukitan yang tak memiliki sumber air mengalir itu menjadi pemasok ikan patin terbesar di Riau. Dalam tempo tak sampai 10 tahun, produksinya menjelajah ke seluruh Pulau Sumatera. Lebih dari 80 persen warga di Desa Kotomasjid, Kecamatan XIII Kotokampar, Kabupaten Kampar, Riau, menggantungkan hidupnya pada ikan berkumis ("catfish") itu.

OLEH SYAHNAN RANGKUTI

Suhaimi seakan menjadi merek dagang patin di Riau. Rumahnya nyaris tak pernah sepi tamu. Ada yang ingin belajar budidaya patin, anggota DPRD yang mau studi banding, pegawai industri perikanan yang menawarkan produk, hingga instansi pendanaan yang menawarkan pinjaman. Tamunya dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Keberhasilannya membudidayakan patin tercermin dari rumahnya yang mentereng. Di garasi ada mobil yang dibelinya dua tahun lalu seharga lebih dari Rp 200 juta. Dari kolamnya seluas tujuh hektar, dalam sebulan dipanen sekitar 30 ton ikan patin yang dijual Rp 16.000 per kilogram (kg). Tak lama lagi, di belakang rumahnya ada pembenihan ikan di bangunan berukuran 15 x 30 meter, dengan produksi sekitar 1,5 juta ekor bibit ikan sebulan.
Tahun 1989 sebagian daerah di Kecamatan XIII Kotokampar dijadikan lokasi transmigran lokal. Wilayah perbukitan yang sulit air itu menjadi pusat relokasi warga Desa Pulau Gadang Lama yang ditenggelamkan untuk pembuatan Waduk Kotopanjang, satu-satunya pembangkit listrik tenaga air di Riau.
Masyarakat yang semula menggantungkan hidup sebagai penangkap ikan di Sungai Kampar, relokasi keperbukitan dirasakan menyiksa.Mereka terbiasa mencari ikan di Sungai Kampar dengan mudah, cukup menebar bubu (perangkap), jaring, memancing, atau menjala.
Di tempat baru, ikan menjadi barang langka, kerinduan akan ikan membuat beberapa warga yang semula berprofesi nelayan, nekat membuat kolam yang mengandalkan hujan. Maklum, nyaris tak ada sumber air mengalir di desa itu.
Meski sulit air, struktur tanah di tempat baru itu cocok untuk kolam. Dengan tekstur liat berpasir, kolam yang terisi air tak mudah meresap ke tanah.
Keistimewaannya itu mulanya tak bermanfaat. Petani yang mencoba menanam ikan mas dan ikan jelawat, hasilnya kurang maksimal. Kala itu kolam lebih berfungsi sebagai proyek nostalgia tanah leluhur.
Tahun 1998 atau setelah sembilan tahun lokasi transmigrasi berdiri, tiga penyuluh dan peneliti, pegawai honorer Badan Pengembangan Teknologi Perikanan (BTPP) Riau, yakni Suhaimi, Walternis, dan Mahyuni ditugaskan mengembangkan budidaya ikan patin di desa itu, Suhaimi, putra asli daerah Kampar, bertugas di Blok A, dua temannya di blok B dan C. Tugas mereka memperkenalkan teknik pembenihan, pembesaran ikan, dan pembuatan pakan sendiri.
Tak banyak petani tertarik program itu. Hanya lima orang yang mau membudidayakan patin di kolamnya. Ketika program itu berhasil, makin banyak petani yang membuka kolam patin.
Kehidupan Suhaimi pun berubah. Pada 2001, dia menyunting gadis desa, Nani Widyawati, menjadi istrinya. Setelah menikah, pilihannya dua, menunggu panggilan menjadi pegawai negeri di Pekanbaru atau bertahan di Desa Kotomasjid. Dia memilih bertahan.
Ia membuat usaha pembenihan ikan di belakang rumah mertuanya. Tujuannya, melanjutkan upaya mengembangkan patin. Ia juga membuka usaha pembuatan pelet, makanan ikan berharga murah. Bila pelet pabrikan seharga Rp 7.800 per kg, pelet buatannya Rp 3.000 per kg.

Perkebunan karet

Perikanan di Kotomasjid semakin berkembang tatkala air tanah ternyata mudah didapat. Bahkan di beberapa lokasi ada sumber air artesis. Usaha Suhaimi semakin maju ketika PT Telkom mencari mitra binaan di Desa Kotomasjid pada 2004.
Mulanya ia mendapat pinjaman Rp 10 juta dengan bunga enam persen. tahun 2007, dengan uang tabungan, dia membeli areal perkebunan karet di ujung desa seluas 3,6 hektar. Nilainya terbilang kecil sekitar Rp 3 juta per hektar. Kini harga lahan di Kotomasjid mencapai Rp 100 juta per hektar. Itu pun nyaris tak ada yang menjual.
Ia mengubah kebun karet menjadi areal kolam. Namun, ia kesulitan mencari sumber air. Dengan sistem tadah hujan, hanya sedikit areal kolam yang diairi.
Semula ia mau mengalirkan air dari jarak yang cukup jauh. Untuk membangun sistem pengairan itu dianggarkan Rp 26 juta.
Namun, seorang tukang pompa air tanah meyakinkan Suhaimi, di tanahnya ada sumber air. Ternyata di tanah itu memancar air setelah dibor sedalam 40 meter. Artesis itu mengairi 11 kolam di areal dua hektar, sampai kini. "Ini semua kuasa Tuhan," katanya.
Usahanya yang berkembang membuat lembaga keuangan lain melirik Badan Usaha Milik Daerah Riau, PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PER), menyambanginya. Untuk kali pertama ia diberi pinjaman Rp 100 juta.
Uang itu dibelikannya lahan kebun karet seluas lima hektar, untuk kolam patin. hanya dalam empat bulan PT PER menggandakan pinjamannya menjadi Rp 200 juta. Dua bulan kemudian ditambah Rp 65 juta. Utang itu lunas dalam tiga tahun tanpa tunggakan. PT PER lalu meminjami Suhaimi lagi Rp 1,2 miliar.
Dari kolamnya seluas tujuh hektar, ia memproduksi 20 ton-30 ton ikan patin per bulan. Dengan harga ikan patin Rp 16.000 per kg, omzetnya Rp 320 juta-Rp 480 juta. Produksi benihnya sekitar 500.000 per bulan. Dengan harga Rp 170 per ekor, omzet benih ikannya Rp 85 juta per bulan.
Berapa keuntungannya per bulan? "Lumayan, yang jelas saya tak terlambat mencicil utang Rp 60 juta per bulan," ujarnya.
Ia tak takut produksi ikannya tak laku di pasar. Berapa pun panen ikan petani di desanya, habis diserap pasar. Apalagi dalam beberapa bulan ini, petani tak hanya memanen ikan berukuran 8 ons-1 kg per ekor. Berkembangnya usaha pengawetan ikan dengan teknologi pengasapan di desa tetangga yang disebut salai patin pun laris. Dalam sehari, sedikitnya empat ton ikan patin kecil dijadikan salai.
"Saya yakin ikan kami diterima pasar. Saya yakin, semakin tinggi pendidikan masyarakat, akan makin tinggi kesejahteraan hidupnya. Orang pintar pasti makan ikan," katanya.
Suhaimi juga mau menimba ilmu ke Pulau Jawa untuk mengembangkan produk hilir, berupa nugget, bakso, kerupuk, dan aneka industri perikanan lainnya. Pencapaian itu membuat dia meraih anugerah Adibhakti Mina Bahari dari Kementerian Perikanan dan Kelautan, sebagai satu-satunya Pembudidaya Teladan Nasional, Desember 2010.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 15 JULI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar