SAEIN
Lahir : Purbalingga, Jawa Tengah, 27 Juni 1970
Pendidikan : S-1 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Istri : Sri Lestari (35)
Anak :
- Mufidhatul Qoiriyah (5)
- Arifah Misna Sofiani (2,5)
Kegiatan :
- Penggiat Kelompok Tani Gemah Ripah Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja,
Purbalingga
- Penggiat Kelompok Tani Sida Muncul Desa Penaruban, Kecamatan Kaligondang,
Purbalingga
- Tenaga penyuluh lepas/kontrak Dinas Peternakan Kabupaten Purbalingga
Penghargaan :
- Cipta Lestari Kehati dari Yayasan Kehati sebagai Inovator Pertanian Ramah
Lingkungan, 2009
- Liputan 6 Award kategori Inovasi Teknologi Pertanian, 2011
Suatu riset tak akan bermanfaat jika berkutat dalam dimensi yang tersekat dari masyarakat. Berbekal prinsip inilah Saein "memindahkan" laboratoriumnya ke tengah sawah dan memilih bergumul di tengah keseharian petani yang butuh solusi konkret.
OLEH GREGORIUS MAGNUS FINESSO
Saein pria asal Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah, ini tak sekadar bicara. Menyandang gelar sarjana Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), rutinitas sebagai peneliti di laboratorium dilakoninya saat menjadi anggota staf pada Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat, 1995.
"Kala itu saya bertanya kepada diri sendiri, apakah yang saya teliti ini akan membawa perubahan bagi masyarakat? Ketika melihat fakta jutaan petani semakin resah dengan kehidupan yang tak kunjung membaik, saya merasa laboratorium bukanlah tempat saya," katanya.
Ia lalu mengundurkan diri sebagai peneliti.Sempat membantu beberapa riset pertanian Lembaga Pengendalian Hama Terpadu (PHT) IPB di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dan Brebes, Jawa Tengah, pada 1996-1998, Saein kembali ke kampung halaman pada 1999. Ia bertani dan mendedikasikan ilmunya kepada petani di Purbalingga.
Lahir dari orangtua yang juga petani, Saein merasa resah melihat kesejahteraan sesamanya tak jua terjamin. Dari pengalaman bergaul dan berorganisasi alam berbagai kelompok tani, ia temukan jawabnya.
"Petani Indonesia terkurung dalam kesenjangan teknologi, yang akhirnya dikomersialisasi oleh segelintir pemodal guna mengeruk keuntungan," katanya.
Berbekal teori di bangku kuliah, pengalaman menjadi peneliti dan riset lapangan, Saein mulai melakukan hal-hal sederhana. Ia membagikan ilmunya dengan mengembangkan pertanian ramah lingkungan. Lewat Kelompok Tani Gemah Ripah Desa Bukateja, ia mengajak petani mulai mengurangi penggunaan bahan kimia.
Mereka memanfaatkan mikroba akar bambu yang diolah sedemikian rupa dengan bekatul, gula, nira, terasi, dan kapur sirih menjadi pupuk hayati yang bermanfaat memacu pertumbuhan tanaman dan mencegah penyakit.
Untuk mengatasi hama penyakit, Saein mengajari petani cara alamiah dengan pestisida nabati, yakni memanfaatkan umbi gadung, kulit kayu semboja (kemboja), tembakau, biji dan daun mimba, biji sirsak, akar tuba, buah kecubung, bunga krisan, bratawali, sambilata, buah maja, cuka, arang sekam, abu, serta kapur. Semua bahan itu dihaluskan, dicampur air dengan persentasi tertentu, lalu disemprotkan ke tanaman.
"Lingkungan adalah laboratorium terbesar. Semua sudah ada fungsinya masing-masing. Saya hanya mengajak petani di sekitar saya supaya menghargai alam, demi mereka juga," tutur saein dengan dialek Banyumasan.
Serupa dokter, dia pun membuka layanan konsultasi gratis terkait sisetm pengolahan padi yang tepat guna.
Saein mengistilahkan layanannya itu "klinik tanaman". Umumnya petani bertanya tentang pemilihan benih, dosis pupuk yang tepat, serta seputar kesehatan tanaman dan lingkungan pertanian.
Dari kiprahnya itu ia dianugerahi Kehati Award dari Yayasan Kehati. Saein dinilai telah berupaya mendukung pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia.
Perjuangan Saein tak selalu mulus. Awalnya ia dicibir sejumlah petani yang menilai pola pertanian yang diperkenalkannya merepotkan.
"Ini salah satu kelemahan petani Indonesia. Mereka sulit menerima perubahan, bahkan perubahan yang akan memajukan mereka," kata Saein yang sejak 2007 menjadi tenaga lepas penyuluh pertanian di Purbalingga.
Benih mutiara
Saein juga menawarkan solusi nyata dengan mengembangkan benih unggul. Ia membuat demplot untuk riset berukuran sekitar 280 meter persegi di sawah seluas 0,8 hektar milik orangtuanya. ia mencoba menyilangkan varietas Pandan Wangi dan padi Wulung.
Dari varietas Pandan Wangi, ia mengambil kelebihan rasa dan aromanya, sedangkan padi Wulung dipilih karena tahan terhadap hama kresek atau hama daun bakteri. Hasil persilangan yang proses penelitiannya memakan waktu 1,5 tahun ini membuahkan benih yang dinamakan "Mutiara".
Nama Nutiara dipilih karena bentuk berasnya bulat lonjong dan mengkilat. Varietas temuan Saein ini memiliki sejumlah keunggulan, terutama menghemat pupuk majemuk hingga 50 persen. Cara menyilangkan benih ini pun dia tularkan kepada sesama petani.
Produktivitas dan rendemen varietas Mutiara tergolong tinggi. Hasil panen 1 hektar sawah antara 6,7 ton dan 8,4 ton. sedangkan 1 kuintal varietas Mutiara bisa menghasilkan 65-67 kilogram beras. Ia juga tengah menyempurnakan temuannya itu agar tahan hama wereng. Padahal dari data Dinas Pertanian Purbalingga, rata-rata produktivitas padi di daerah itu 5-6,5 ton per hektar.
Sayangnya, varietas Mutiara belum bersertifikat. Saein mengakui, biaya dan birokrasi menjadi kendala pengurusan sertifikat benih padi temuannya itu.
Penyuluh lepas
Saein juga diminta menjadi tenaga lepas penyuluh pertanian. Pekerjaan itu memungkinkan dia memperluas penyebaran pola pertanian teknologi ramah lingkungan. Tak hanya memberi pembekalan kepada penyuluh pemula, ia juga kerap diminta berbagi pengalaman hingga ke luar daerah, seperti Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Sekitar 10 tahun berkarya, tak kurang dari 800 petani di Desa Bukateja dan sekitarnya menikmati hasil karya Saein. Selain produktivitas padi meningkat, cara bertanam yang ramah lingkungan juga membuat kesuburan sawah terlindungi.
"Saya tak muluk-muluk. Cukup berawal dari kelompok tani saya, lalu kelompok tani desa tetangga, dan seterusnya. Semoga nantinya bisa membawa perubahan di Purbalingga," tuturnya.
Petani intelek ini setiap hari bolak-balik dengan sepeda onthel sejauh 30 kilometer dari rumah istrinya di Desa Penaruban ke Desa Bukateja. Dia mengamalkan ilmunya sebagai ibadah.
Sementara para pengambil kebijakan sibuk menyeret persoalan tanaman pangan menjadi komoditas politik, di pelosok Purbalingga, Saein terus bertani, meneliti, dan membagi ilmunya dalam karya nyata. Cita-citanya, petani mampu berdaulat atas produk yang dihasilkan tanpa bergantung kepada siapa pun.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 26 AGUSTUS 2011