Minggu, 27 Februari 2011

Cecep, Ayah bagi Anak Yatim dan Tunakarya


DATA DIRI

Nama : Cecep Maman Suherman
Lahir : Cirebon, 13 April 1937
Pendidikan :
- Jurusan Ilmu Sosial IKIP Muhammadiyah Jakarta, lulus 1974
- Sekolah Tinggi Chemical Industri Thailand, lulus 1977
Istri : Lili Suhaeli
Anak :
- Wiwik Aliyah A
- Maya Madya W
- Nurul Herlinda
- Gempur Ali Toupan
- Arif Laksono
- Baron Prajadisastra
- Bilqis Maulidyah
- Lulu Sipa R
Penghargaan, antara lain :
- Upakarti 2008 dalam bidang Pengabdian Masyarakat
- Piagam Instruktur Nasional Lifeskill dari UNESCO
- Piagam penghargaan instruktur pelatihan di Aceh dari Departemen Pendidikan Nasional
Kegiatan :
- Pengasuh Yayasaan PKBM Gadjah Mada
- Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia se-Cirebon
- Pengasuh perputakaan PKBM Gadjah Mada

Abah adalah pangggilan akrab bagi Cecep Maman Suherman, lelaki kelahiran Cirebon, 72 tahun silam ini. Dia menjadi ayah bagi seratusan lebih anak yatim piatu dan tunakarya. Lewat tangannya, para penganggur diajarkan untuk hidup mandiri dan anak yatim piatu bisa tetap bersekolah.

Oleh SIWI YUNITA CAHYANINGRUM

Cecep adalah perintis Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Gadjah Mada. Lembaga yang berkantor di Jalan Brigjen Darsono, Kota Cirebon, Jawa Barat, ini merupakan lemabaga sosial yang bergerak di bidang pendidikan.
Setiap tahun ajaran baru, lembaga ini menerima siswa dari berbagai kalanagan untuk belajar membuat berbagai kerajinan, atau berwirausaha. Setidaknya ada 23 jenis keterampilan usaha yang diajarkan Cecep, mulai dari membuat kue hingga pengelasan.
Salah satu produk hasil wirausaha yang belakangan sukses sampai ke mancanegara adalah kerajinan fiberglass, diantaranya berupa kap lampu. Produknya itu berhasil menembus pasara daratan Eropa, atara lain Belanda, Perancis, Spanyol, Italia, Amerika Serikat, dan Jepang.
Namun, semua itu tidak diraihnya begitu saja. Cecep merintisnya dari sanggar seni dan kerajinan sejak tahun 1975. Dia memulainya dengan melatih 23 anak yatim piatu dan 12 orang lanjut usia. Mereka membuat kerajinan topeng cirebonan dengan bahan baku tanah liat dan gipsum, serta suvenir miniatur perahu dari bambu.
Lambat laun ssanggar seni dn kerajinan itu berkembang. Mulai tahun 1982, kegiatan sanggar bisa menjadi sebuah PKBM dengan tujuan utama meningkatkan keterampilan masyarakat di bidang seni kerajinan. Dia bekerja sama dengan instansi Departemen Pendidikan Nasional daerah.

Anak Jalanan

Cecep sejak awal berniat membesarkan lembaga pendidikan yang kini masih berkantor di bekas sekolah dasar di Cirebon ini. Awalnya, yayasan yang ia dirikan tahun 1992 itu ditujukan untuk melatih anak jalanan yang tak mempunyai kemampuan untuk berwirausaha. Tetapi dalam perkembangannya tak hanya anak jalanan yang bisa belajar, para lulusan SMA atau SMK pun ditampungnya.
Mereka dilatih sekitar tiga bulan untuk bisa berkarya dan hidup mandiri. Tekad Cecep saat itu adalah mencetak wirausahawan yang terampil berusaha dalam waktu tiga bulan. Mereka tak perlu belajar sampai tiga tahun seperti di sekolah formal.
"Kalausaya lihat pengemudi becak, inginnya melatih dia berkarya lebih baik. Ini agar nantinya dia tak hanya menjadi pengemudi becak, tetapi juga bisa membuat jasa reparasi becak," kata Cecep.
Soal biaya, Cecep memilih tak mematok tarif tertentu bagi siapapun yang ingin belajar. Jika ada dana dari hasil penjualan kerajinan untuk menggaji guru dan kebutuhan praktik, kursus pun bisa digratiskan.
Kiprah Cecep di dunia pendidikan pun mendapat perhatian dari Pemerintah Kota Cirebon. Ia kemudian diberi tempat di bekas gedung sekolah dasar di Jalan Brigjen Darsono dan mendapatkan honor Rp.140.000 per bulan.
"Sekarang honor saya sudah Rp.280.000 per bulan. Selama ini honor itu digunakan untuk membiayai kebutuhan lembaga.Memang jumlah itu belum mencukupi karena tagihan telepon saja Rp.500.000. Tetapi, kami berusaha mencari solusi agar tetap bisa mengajar. kalau hasil kerajinan laku, itu bisa menkadi modal lagi," kata penyandang gelar pendekar silat itu.
Belakangan PKBM ini membuka kelas baru pada bulan Juni-Juli. Oleh karena bekerja sama dengan pemerintah, pendaftaran dan perekrutan juga dilakukan lewat Dinas Pendidikan Kota Cirebon.
Kesungguhan Cecep menekuni bidang pendidikan nonformal juga membuat dia dipercaya sebagai Ketua Forum Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat se-Jawa Barat periode tahun 2002-2007. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) pun menjadikan dia sebagai salah satu mentor untuk pelatihan keterampilan di tingkat nasional.

Terbiasa berbagi

Sedari muda, ayah delapan anak ini memang sudah akrab dengan dunia anak yatim. Sejak berusia 39 tahun, cecep sudah mengurusi anak yatim piatu dan warga lanjut usia yang harus dibiayai hidup dan sekolahnya. Rasa simpati dan empatilah yang menggerakkan penerima penghargaan Upakarti tahun 2008 ini untuk berbagi dengan anak-anak yatim.
Berbagi, kata Cecep, bukan sekadar menyisihkan sedikit harta, tetapi sebagian besar kekayaan. Tambak udang dan sebuah villa di daerah Kanci, Cirebon pun dia jual dengan rela untuk bisa menghidupi dan menyekolahkan anak yatim piatu dan orang jompo.
"Saya ini orangnya tidak tegaan. Jadi, kalau ada keluarga atau orang susah datang untuk minta bantuan, ya saya bantu dengan apa yang ada waktu itu. kalau tidak dibantu, rasanya saya kok tidak bisa enak tidur," katanya.
Langkah Cecep bisa berlanjut karena dia juga didukung penuh oleh keluarga. Meski awalnya mereka sempat tidak sepakat, pada akhirnya keluarga bisa mengerti, bahkan rela membantu Cecep untuk bekerja sosial.
Salah seorang putranya, Gempur Ali Toupan, mau menjadi penerusnya, dengan usaha mengekspor kerajinan fiberglass ke Eropa. Dia juga mau meluangkan waktu untuk membantu mengembangkan lembaga pendidikan yang dirintis sang ayah.

Sejak awal wirausaha

Dari muda, cecep tak ingin bergantung pada orang lain sehingga menjadi wirausaha adalah pilihannya. Ia lulus dari IKIP, tetapi bekerja di Bulog sebagai karier awal. Ketertarikannya terhadap dunia usaha membuatnya belajar di Sekolah Tinggi Chemical Industri di Thailand.
Kembali ke Tanah Air, ia tak hanya menerapkan ilmu di bidang yang dia pelajari, tetapi juga di bidang lain, seperti konstruksi dan pertambakan. Dengan berbagai usaha inilah lembaga yang dirintis Abah bisa tetap berjalan.
Meski telah mencetak banyak wirausaha, tetapi Cecep masih terus bekerja mengembangkan lembaga pendidikannya. Sementara para bekas siswanya sudah mampu mendirikan berbagai usaha di sejumlah tempat, seperti di Ciamis, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, hinggga Aceh.
"Masih banyak orang yang menganggur. Krisis global sebenarnya tak berdampak banyak karena pasar masih terbuka untuk barang kita. Tapi, seringkali kita tak jeli melihat peluang itu dan tidak semua orang mau bekerja keras, apalagi berwirausaha," katanya.
Sumpah Palapa Gadjah Mada yang menginspirasi dirinya untuk mendirikan lembaga pendidikan pun masih dia pegang. Oleh karena itulah, meski mempunyai kesempatan untuk hidup lebih layak, Cecep memilih tinggal di rumah sederhana di Kabupaten Cirebon.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 4 MEI 2009

Sartika : Berdikari di Jalur Sutra


SARTIKA

Lahir : Gowa, 18 Agustus 1973
Pekerjaan : Penenun dan Ketua Kelompok Usaha Bersama Cura' Lab'ba
Pengalaman :
- Peserta pelatihan kewirausahaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan, 2007
- Peserta pelatihan teknik pencelupan dan penenunan di Bandung, Jawa Barat, 2003
- Pelatihan pembatikan di Makassar, Sulawesi Selatan, 1997

Sartika (38) memercayai sepenuh hati bahwa sutra adalah jalan pembebasan. Melalui kelompok usaha bersama penenun sarung sutra Cura' Lab'ba, dia merangkul para perempuan agar berdaya untuk lepas dari kemiskinan.

OLEH MARIA SERENADE SINURAT

Datanglah ke Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di salah satu sentra penenunan sutra selain kabupaten Wajo, Soppeng, dan Enrekang ini ratusan perempuan setia menenun sutra bermotif Makassar.
Sutra memang tidak pernah kehilangan pasar. Namun, penenun sutra terus berkurang karena tekanan krisis ekonomi. Sartika mengenang krisis moneter tahun 1998 saat para penenun menjual gedogan mereka agar mampu membeli bahan pokok. Penenun tanpa gedogan ibarat petani tanpa cangkul.
Para perempuan muda pun tak lagi menenun. Mereka lebih memilih bekerja sebagai pegawai toko di kota ketimbang bergelut dengan sutra. kalau pun ada, mereka umumnya berhenti setelah menikah. Hal ini menggusarkan hati Sartika.
Penenunan sutra adalah tradisi yang menghidupi banyak keluarga di Gowa, dari generasi ke generasi. Motif tenun sutra Makassar pun sebuah warisan yang harus dilestarikan. "ketika penenun tua sudah tidak ada, siapa yang melanjutkan?" kata Sartika.
Berpijak pada pertanyaan itulah, Sartika membentuk Cura' Lab'ba pada 1997. Saat itu dia hanyalah perempuan muda yang belum banyak tahu ilmu persutraan. Usianya 24 tahun dan dia baru belajar menenun dua tahun.
Dengan pengetahuan terbatas, Sartika menghadiri pelatihan pembatikan di sebuah hotel di Makassar. Hatinya mencelus. Itu kali pertama dia menginjakkan kaki di hotel. Dia tertegun melihat peserta dari kabupaten lain sudah lebih maju soal penenunan.
Merasa tertinggal, Sartika segera pulang ke rumah dan menenun berhari-hari. Hasil tenunan itu langsung dia serahkan ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulsel. Selepas itu, Sartika bersama 25 penenun di desanya membentuk Cura' Lab'ba yang langsung dibina Dinas Perindustrian dan Perdaganagan Sulsel.

Belajar dan berbagi

Sejak Cura' Lab'ba dibentuk, Sartika memacu diri untuk terus belajar. Dia melahap berbagai pelatihan tentang pemintalan benang, pencelupan warna, penenunan, juga kewirausahaan. Sifatnya yang bersemangat dan mudah belajar membuat Sartika selalu terpilih untuk mengikuti pelatihan hingga ke Bandung, Jawa Barat.
Sartika tidak menyimpan ilmu itu sendirian. Kembali ke kampung, dia menularkan pengetahuan barunya kepada para ibu rumah tangga dan perempuan muda.
Dengan sabar Sartika mengajari para perempuan tentang cara menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM), satu per satu. Ini salah satu hal tersulit karena penenun di desanya terbiasa menggunakan gedogan. Sering kali dia mengajar para perempuan di desa lain yang tidak memiliki pengetahuan tentang sutra sama sekali.
Dalam proses ini, Sartika melihat pentingnya pengetahuan penenunan bagi perempuan muda. Di desanya, mayoritas penenun berusia 50 tahun. Secara perlahan, dia mengajak satu demi satu tetangganya untuk belajar menenun. Upayanya relatif berhasil sehingga saat ini Cura' Lab'ba memiliki lima penenun yang masih berusia 20-an tahun.
Penenun muda ini belajar sekaligus bekerja. Sartika memodali mereka benang untuk ditenun dan mengupah mereka untuk setiap lembar ssarung yang dihasilkan.
Melalui sutra, banyak perempuan mampu menghasilkan uang sendiri. Para ibu juga bisa berkontribusi terhadap pemasukan rumah tangga. Dalam waktu dekat, Sartika ingin menggandeng lebih banyak ibu rumah tangga untuk belajar menenun.
"Daripada mereka bergosip sepanjang hari, bukankah lebih menguntungkan kalau mereka menenun," katanya.

Berdikari

Menenun sutra adalah pilihan Sartika untuk keluar dari jerat kemiskinan. Sartika kecil tinggal di rumah panggung reyot bersama ayah, ibu, dan delapan saudara kandungnya. Dia hanya mengenyam pendidikan hingga SMP.
Selepas SMP, Sartika menganggur. Namun, rasa rendah diri hinggap tatkala melihat adiknya mampu membeli barang-barang dengan uang hasil menenun. Sejak itu, dia bertekad untuk menenun agar bisa mandiri.
Sartika menenun pertama kali dengan modal pinjaman Rp.70.000 dari sepupunya. Hasil tenunannya jelek dan tidak ada yang membeli. Karya pertamanya dia jual kepada sang ayah yang rela membayar Rp.70.000 agar anaknya bisa membayar hutang.
Pada kesempatan kedua, Sartika menenun sarung kotak-kotak berwarna kuning yang terjual Rp.175.000. Inilah momentum yang membuatnya terus menenun hingga saat ini. Betapa girang hatinya tatkala mampu membelikan ayahnya (alm) telepon seluler dengan uang hasil penjualan sarung sutra.
Kendati 13 tahun menenun, Sartika tidak mau berhenti belajar. Dia mengerti, sutra harus dikembangkan sesuai zamannya. Seorang penenun juga perlu membuat inovasi dalam pembuatan motif.
"Motif tenun Makassar tempo dulu, misalnya, cobo (berbentuk runcing) dan dang (kotak-kotak lebar). Sekarang setiap motif bisa dipadukan agar lebih menarik. Penenun juga bisa berkreasi dengan warna-warna yang lebih atraktif," demikian pendapatnya.
Semangat pembaruan itu yang membuat Sartika menilai Cura' Lab'ba bukan sekadar kelompok usaha. Tempat ini juga merupakan taman bermain bagi para penenun untuk mengembangkan ide-ide kreatif.
Setiappenenun bebas berkreasi, tetapi ada satu hal yang harus mereka pegang teguh, yakni penjiwaan. Bagi Sartika, penenun dan sutra memiliki ikatan batin yang kuat. Apa yang dirasakan penenun memengaruhi hasil tenunan. "Sutra itu begitu halus dan peka. Janganlah kita memperlakukan yang halus dengan yang kasar," ujarnya.
Prosesi menenun membutuhkan ketenangan, kesabaran, dan ketelitian luar biasa. Benang sutra yang halus bisa dengan mudah putus atau kusut jika si penenun tiadk berhati-hati. Menenun ibarat ritual yang harus dijalani sepenuh hati.
Hal itu tidak berlebihan. Penenunan memang bisa berlangsung tiga hari dengan ATBM, bahkan sebulan dengan gedogan. Seorang penenun harus menyatukan berkilogram helai benang yang terpisah menjadi kesatuan. "Setiap menenun, saya seperti berada di bilik sendiri dan saya bergerak seirama dengan benang-benang," ucapnya.
Sebetulnya Sartika ingin mengatakan bahwa penenun harus bekerja sepenuh hati. Seberat apa pun beban dan segusar apa pun jiwanya, Sartika menemukan ketenangan saat menenun. "Jiwa yang tenang menghasilkan sutra yang cantik," katanya.
Sartika sudah membuktikannya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 28 FEBRUARI 2011

Kamis, 24 Februari 2011

Safaruddin Paharu : Menjadi "Garam" bagi Teluk Kupang


SAFARUDDIN PAHARU

Lahir : Labakan, Sulawesi Selatan, 17 April 1962
Pendidikan : SD Labakan
Istri : Hamidah
Anak : Sahbiah, Rahbiah, Arafah, Ashar, Abidin, Fadel, Syaiful, Suhartiah, dan Syahrul
Pekerjaan : Pemimpin UD Sinar Timur Nusantara.

Nusa Tenggara Timur, provinsi kepulauan dengan panjang garis pantai ribuan kilometer itu, ternyata kebutuhan garamnya dipenuhi dengan mendatangkan garam kasar (tak beryodium) dari Surabaya (Jawa Timur), Bima (Nusa Tenggara Barat), dan Sulawesi Selatan. Sampai tahun 1984 garam yang beredar di kepulauan ini tak beryodium.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Safaruddin Paharu adalah orang pertama dibalik usaha budidaya garam lokal Nusa Tenggara Timur (NTT). Usaha itu lalu menjalar kepada penduduk di sepanjang teluk Kupang, yakni di Kelurahan Parity, Bipolo, Oeteta, dan Baubau, Kabupaten Kupang.
Akhir tahun 1980, saat berumur 18 tahun, pria asal Pangkel, Sulawesi Selatan, ini merantau ke Kupang. Setelah berjualan bahan kebutuhan pokok selama empat tahun, ia dibantu kakaknya, Baharudin (50), berniat mengembangkan keterampilan budidaya garam di Kupang.
Ketertarikan terhadap budidaya garam di Kupang karena saat itu semua kebutuhan akan garm (kasar) didatangkan dari Bima, Surabaya, dan Sulawesi Selatan. NTT sebagai provinsi kepulauan, tetapi belm ada usaha budidaya garam lokal. Ia yakin potensi tambak garam di daerah itu cukup besar.
"Lagi pula keterampilan dasar saya adalah petambak garam kasar. Sejak usia 7 tahun, masih di sekolah dasar, orang tua mengajarkan bagaimana cara budidaya garam. Terobosan pemerintah ingin menjadikan NTT sebagai salah satu gudang garam nasional saat ini telah saya pikirkan tahun 1984," kata Safaruddin di Kupang, pertengahan Februari.
Menurut dia, garam sangat penting dalam kehidupan. "Fungsi garam hampir sama dengan beras, bahkan lebih spesial. Ia tidak bisa digantikan dengan produk jenis apapun. Garam ini mengasinkan, mengawetkan, menyuburkan, mencegah penyakit. dan segala sesuatu terasa hambar menjadi enak dan gurih di lidah," tambahnya.
Sebagai pembanding, tahun 1983, Sfaruddin keliling daerah-daerah penghasil garam di Madura, Gresik, Bima, dan Sulawesi Selatan. Ternyata NTT punya potensi garam tidak kalah dengan daerah-daerah itu.
Sepulangnya, di NTT Safaruddin bertemu dengan Kepala dinas Pertanian dan Perindustrian NTT. Ketika itu belum ada dinas kelautan dan perikanan. Safaruddin akhirnya diberi kesempatan melkukan survei lokasi untuk budidaya garam lokal di sejumlah wilayah di NTT.
Bersama Baharuddin, dia pergi ke beberapa kabupaten melakukan survei lokais untuk tambak garam, tetapi tak ada yang dinilai cocok. "Kemudian kami masuk ke kelurahan Merdeka, Kabupaten Kupang. Lalu, kami putuskan, wilayah itu cocok untuk pengembangan garam tradisional," kata Safaruddin.
Iklim di NTT sangat mendukung pengembangan garam kasar. Musim kemarau lebih panjang (9bulan) dari pada musim hujan (3 bulan). Musuh utama dalam proses pembuatan garam adalah hujan. Ketika hujan tidak menentu, usaha itu akan sia-sia.
Dibantu Dinas Pertanian dan Perindustrian NTT waktu itu, Safaruddin kemudian bertemu masyarakat pemilik lahan di Pantai Taimeta dan Pantai Arkea, Kelurahan Merdeka, Kupang. Dalam pertemuan dengan pemilik lahan, Safaruddin tidak berniat membeli lahan, tetapi meminta kesediaan pemilik lahan memberi areal satu hektar untuk dijadikan lahan percontohan tambak garam.
Lahan seluas itu dikerjakan oleh penduduk lokal, pemilik lahan. Safaruddin terus melakukan bimbingan mulai dari proses pembuatan pematang dari tanah liat, proses pengaliran air laut, penggunaan mesin pompa air laut masuk ke setiap petak tambak, pengendapan air laut tahap pertama, sampai proses panen garam.
"Saya juga mengajarkan mereka bagaimana budidaya ikan bandeng dan udang di dalam setiap pematang itu. Musim hujan, petani panen ikan dan udang. Musim kemarau, petani garam bisa panen garam, juga ikan dan udang," katanya.
Produksi garam kasar waktu itu mencapai 1.000 ton. Melihat hasil bagus, pemilik lahan sekitar pun memberikan kesempatan kepada Safaruddin untuk mengolah lahan serupa di areal mereka.
Sampai tahun 1995, sekitar 10 hektar lahan percontohan garam tradisional dikembangkannya. Lahan seluas itu dimiliki 25 penduduk lokal dengan luasan kepemilikan berkisar 500 meter persegi - 25 hektar. Luas lahan potensial di sepanjang teluk Kupang mencapai 5.000 hektar.
Selain belajar keterampilan menambak garam, mereka juga diupah Rp.25.000 per hari waktu itu. "Setelah mereka memiliki keterampilan itu, lahan tersebut saya serahkan kepada mereka untuk dikelola sendiri. Sedangkan saya hanya memiliki satu hektar lahan agar tetap mendampingi petambak lokal," kata Safaruddin.
Pendampingan terhadap petambak lokal terus berjalan karena hasil produksi garam kasar dibeli Safaruddin dengan harga Rp. 25.000-Rp.30.000 per karung (50 kg), kemudian dijual ke pasar-pasar tradisional. Sebagian garam itu dijual kepada perajin garam beryodium di Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah.
Kini, sebagian besar petambak garam, ikan bandeng, dan udang di Kelurahan Merdeka telah membangun rumah permanen, memiliki kendaraan roda empat atau roda dua, dan menyekolahkan anak sampai tingkat perguruan tinggi. Usaha garam tradisional dan tambak ikan telah mengangkat kesejahteraan mereka.
Produksi garam kasar di Merdeka saja mencapai 205.000 ton dari areal 300 hektar. Masih sekitar 4.700 hektar lahan yang belum digarap.
Konsumsi garam di NTT sekitar 50.000 ton per tahun. Dengan asumsi setiap orang mengonsumsi sekitar 10 kg garam per tahun, belum termasuk kebutuhan industri, pengawetan, dan lainnya.
Pemimpin UD Sinar Timur Nusantara itu mengatakan sedang berencana membangun garam beryodium di Kupang. Namun, karena keterbatasan modal, ia akan memproduksi dalam skala kecil dulu.
"Kalau suatu ketika saya dapat dukungan dana dari pihak lain, saya coba menyuplai garam beryodium ke seluruh NTT dan negara Timor Leste. Selain itu untuk kebutuhan industri, saya akan kirim garam kasar ke Sulawesi Selatan dan Kalimantan," katanya.
Tahun 2003, lanjutnya, pernah ada satu perusahaan dari Jakarta dan Surabaya yang berniat membangun pabrik garam di wilayah itu. Namun, tiba-tiba perusahaan tersebut menghilang.
Menurut Safaruddin, perusahaan itu meninggakan Kupang karena keinginannya membebaskan seluruh lahan potensial tambak garam di Kelurahan Merdeka ditolak warga. Warga lebih suka perusahaan tersebut tetap memberdayakan mereka.
"Saya meminta kepada pemerintah daerah dan pengusaha yang mau berinvestasi garam di Kupang, jangan berusaha memiliki lahan garam yang saat ini dikelola warga atau hak warga. Kembangkan tambak garam dengan sistem inti dan plasma. Dengan cara itu, mereka akan diterima warga dan bertahan lama di Kupang," ujar Safaruddin.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 25 FEBRUARI 2011

Wamin, Mbahnya Nelayan Yogyakarta


DATA DIRI

Nama : Wamin
Tempat, tanggal lahir : Tasikmalaya, 21 Januari 1950
Pendidikan : SD IV Gumilir, Cilacap
Istri : Munirah
Anak :
1. Watini (32)
2. Sugeng Riyadi (30)
3. Mugiharto (29)
4. Nur Rofiq (27)
5. Wahyuni Setianingsih (12)
Pekerjaan : Nelayan dan Ketua TPI Pantai Sadeng, Gunung Kidul, DI Yogyakarta

Awal tahun 1983, untuk pertama kalinya Wamin menginjakkan kaki di Pantai Sadeng, Kabupaten gunung Kidul, DI Yogyakarta. Ketika 29 rekannya sesama nelayan Cilacap menyerah dan kembali pulang, Wamin tetap bertahan. Dia kemudian menjadi guru yang menciptakan nelayan lokal generasi pertama di wilayah pantai Kabupaten Gunung Kidul, Bantul, dan Kulon Progo.

Oleh MAWAR KUSUMA WULAN

Kala pertama kali tiba di Pantai Sadeng, Wamin membuat gubuk kayu beratap daun kelapa di bibir tebing. Istri Wamin, Munirah (52), dan anak pertamanya, Watini, yang baru berusia satu tahun, turut menjadi penghuni awal. Petani Gunung Kidul sering kali mengerubuti Wamin pada saat pulang melaut dengan hasil tangkapan ikan melimpah.
Dari situlah ayah lima anak ini menularkan kegairahan melaut. Petani yang awalnya hanya membantu mejadi buruh pendorong kapal mulai ikut melaut. Dinas Pertanian DI Yogyakarta yang mendeteksi kehadiran Wamin di Pantai Sadeng lalu meminta bantuannya untuk mengajari cara penangkapan ikan kepada masyarakat lokal.
Dimulai dengan menjadi guru melaut bagi 60 petani di Sadeng, Wamin lalu diminta menjadi guru di seluruh pantai Gunung Kidul, mulai dari Pantai Wediombo, Siung, SUndak, Drini, Baron, Ngrenehan, dan Gesing. Kemudian dia melanjutkan pengajaran tentang melaut ke Pantai Depok dan Pantai Samas di Kabupaten Bantul, dan di Pantai Glagah, Kulon Progo.
Meskipun tanpa bayaran sepeser pun, Wamin tak lelah berkelana dari pantai ke pantai untuk mengajar ilmu melaut. Awalnya, dia mengaku hanya ingin mengajak petani berubah menjadi nelayan agar punya teman ketika melaut. Maklum, kala itu tak ada satu pun warga Gunung Kidul yang berani melaut.
Kedatangan nelayan dari daerah lain, seperti Cilacap pun jarang, karena perairan pantai di Gunung Kidul masih penuh batu karang tajam. Warga lokal biasanya hanya mencari ikan di tepi laut dengan menggunakan pancing.Kini, jumlah nelayan di perairan Gunug Kidul telah mencapai 1.313 orang, 944 orang diantaranya adalah nelayan lokal.
Setelah mengetahui ketertarikan petani, Wamin mulai mengajak mereka secara bergiliran ikut melaut pada sekitar tahun 1984. Dengan menggunakan perahu dayung dan layar, para petani di Dusun Songbanyu dan Dusun Pucung, Kecamatan Girisubo, Gunung Kidul, bermetamorfosis menjadi pelaut.

Mabuk laut

Wamin yang telah menjadi nelayan sejak tahun 1974 ini mengaku sering kali tertawa geli melihat "orang-orang darat" itu mabuk laut. Tiap kali "muridnya" mabuk laut, Wamin segera mengikat perut mereka dengan ambang dan mencemplungkannya ke laut. Menggerakkan badan sembari berenang terbukti mampu menyembuhkan mabuk laut. Hanya butuh satu bulan untuk mengubah petani menjadi nelayan.
Nelayan-nelayan baru itu pun dibekali keterampilan membaca tanda alam, musim ikan, merakit jaring, dan belajar membuat kapal dari kayu. Beberapa pohon di Pantai Sadeng yang kala itu masih berupa hutan rimba tempat tinggal kera ditebang untuk dijadikan kapal nelayan.
Dengan kapal kayu yang awalnya hanya 19 buah, mereka bisa melaut hingga 10 kilometer dari garis pantai. Hal tersulit adalah menularkan ilmu tentang membaca tanda alam, terutama kehadiran angin barat daya yang bisa menyebabkan kapal kayu terbalik. Jumlah tangkapan, menurut Wamin, berlimpah karena pantai masih alami. "Asal buang jaring pasti dapat ikan," kenangnya.
Pemerintah kemudian membantu nelayan dengan kapal dengan mesin bebahan bakr minyak tanah. Kini nelayan sudah menggunakan kapal mesin tempel berkekuatan 15 PK berbahan bakar bensin yang bisa menjangkau hingga 90 mil perairan laut.
Tak hanya mengawali penularan ilmu melaut kepada petani di pantaiyang kini telah berganti wajah menjadi Pelabuhan Perikanan Sadeng itu, Wamin juga menumbuhkan minat warga untuk berdagang ikan. Sebelumnya Wamin harus menjual hasil tangkapannya ke Semarang, Jawa Tengah.
Semakin banyaknya nelayan di Pantai Sadeng mendorong pemerintah memperbaiki jalur pendaratan ikan. Karang-karang tajam di perairan pantai diledakkan dengan menggunakan 1,5 ton dinamit. Wamin turut memperkuat tim penyelam untuk proses peledakan batu karang.
Nelayan generasi pertama kemudian menularkan keterampilan tersebut ke generasi yang lebih muda. Sebagian nelayan generasi pertama di Sadeng sudah pensiun. Selain menjalankan tugas sebagai ketua tempat pendaratan ikan Sadeng sejak dibuka tahun 1986, Wamin hingga kini masih giat melaut.

Menjanjikan

Hasil melaut memang menjanjikan, tetapi nelayan sering kali tetap mengalami kesulitan ekonomi karena tidak terbiasa mengatur pendapatan. Sekali melaut, nelayan perahu mesin tempel bisa memperoleh hasil hingga Rp.1 juta.
Meskipun berjasa besar dalam "menciptakan" nelayan di wilayah DI Yogyakarta, Wamin sama sekali belum pernah menerima penghargaan berupa piagam atau pemberian uang dari pemerintah.
Namun, warga di sekitar Pelabuhan Perikanan Sadeng mengenang Wamin sebagai "mbahnya nelayan". Sebagai sesepuh yang dihormati, Wamin selalu diundang dalam berbagai kegiatan desa. Namanya juga dikenal sebagai nelayan pertama di Gunung Kidul.
Petani-petani di sekitar pantai juga selalu membagikan hasil panenan, seperti kacang tanah dan jagung, untuk tali asih kepada keluarga Wamin. Saat ini, Pelabuhan Sadeng telah ramai oleh kehadiran beragam jenis kapal dari berbagai daerah.
Dengan wajah yang masih letih sepulang melaut, Wamin mengaku tak lagi punya impian muluk-muluk. Dia telah cukup senang pernah menjadi bagian dari sejarah kenelayanan di Yogyakarta meskipun hanya segelintir orang yang masih menyadari kiprahnya dalam "melautkan" petani Yogyakarta.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 5 MEI 2009

Selasa, 22 Februari 2011

Dewo dan Tanaman Sirih Merah dari Merapi


BIO DATA

Nama : Bambang Sudewo
Lahir : Kota Yogyakarta, 12 Februari 1960
Istri : Mutabaritun Nisa (38)
Anak :
- Seysha Airunisa Dewanty (10)
- Irsha Suchi Maharany (8)
- Hiera Ahmadio Reza Dewa (6)
Pendidikan :
- SDN Jetisharjo,Yogyakarta
- SMPN 6, Yogyakarta
- STM Jetisharjo Yogyakarta
- Desain Komunikasi Visual, ISI Yogyakarta
Penghargaan :
- Penghargaan sebagai pelaku agrobis hortikultura di bidang biofarmaka tanaman obat sirih
merah dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2006
Karya tulis :
- Buku "Tanaman Obat Populer Penggempur Aneka Penyakit", Agro Media Pustaka, 2004
- Buku "BasmiPenyakit dengan Sirih Merah", Agro Media Pustaka, 2005

Memasuki Kampung Blunyahrejo, Kelurahan Karangwaru, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, mata kita langsung tertumbuk pada sebuah rumah bambu yang tingginya melebihi rumah-rumah lain di sekitarnya. Pot-pot dengan beraneka tanaman hijau memenuhi ruang-ruang dalam bangunan bertingkat empat yang terbuat dari bambu itu dan tanaman sirih merah mendominasi di sini.

Oleh IDHA SARASWATI

Persentuhan Bambang Sudewo atau Dewo panggilannya dengan sirih merah berawal dari sebuah kebetulan. Suatu pagi pada tahun 2002, pria yang punya hobi mendaki gunung ini tengah berjalan-jalan di lereng Gunung Merapi.
Saat dia berada tidak jauh dari tempat tinggal juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan, Dewo tertegun melihat tumbuhan yang dirasakannya aneh. Tanaman itu merambat di sela-sela bebatuan. Rasa penasaran kemudian menuntunnya memetik sehelai daun tumbuhan itu, lalu dikunyahnya. Rasanya, cerita Dewo, sungguh pahit.
Bukannya kecewa, rasa pahit yang dihasilkan daun itu justru membuat Dewo merasa senang. Sebab, berdasarkan pengalamannya sebagai peracik jamu, daun maupun buah yang yang terasa pahit, seperti brotowali (Tinosporae crispa), bidara upas (Merremia mammosa) maupun mahoni (Swietenia mahagoni jacq), biasanya memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Dewo yang ketika itu sedang menderita diabetes mellitus mencoba memotong tumbuhan tersebut beserta belasan helai daunnya untuk dibawa pulang. Sebagian dia konsumsi dan sebagian lainnya dia tanam di rumahnya.
Selama dua minggu dia mengonsumsi daun tersebut, Dewo merasa tekanan darah tinggi dan kolesterol dalam tubuhnya berangsur membaik. Luka-luka melepuh di sekujur tubuh akibat penyakit diabetes juga dirasakan mulai mengering.
Lelaki ini lantas semakin giat mencari informasi seputar tumbuhan tersebut. Dari sumber literatur yang terbatas, Dewo mengetahui bahwa tumbuhan itu selama ini dikenal sebagai sirih merah (Piper betle L var Rubrum).
Selain aroma daunnya yang khas daun sirih, bentuk daun tumbuhan ini memang menyerupai sirih yang biasa kita kenal. Bedanya, permukaan bagian bawah daun sirih ini berwarna merah mengilat. Meski belum secara massal, tanaman ini ternyata telah dimanfaatkan sebagai tanaman obat, terutama di lingkungan Keraton Yogyakarta.
"Tanaman ini mungkin ada dimana-mana, tidak hanya di (Gunung) Merapi, tetapi saya baru melihat yang di lereng Merapi itu," ungkapnya.
Merasa berjodoh dengan khasiat tumbuhan tersebut, Dewo yang telah membuka perusahaan jamu berskala industri rumahan berlabel Sekar Kedathon, pada tahun 1997 mulai fokus menggali manfaat sirih merah.

Skala besar

Lulusan jurusan Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, ini semakin rajin mencari informasi seputar tanaman sirih merah. Sejumlah perpustakaan dan toko buku dia datangi. Ia juga berkonsultasi dengan beberapa pakar tanaman herbal, dokter, sampai budayawan dalam dalam proses mengolah tanaman sirih merah.
Tahun 2004 Dewo mulai memasarkan ramuan teh herbal dari sirih merah. Ia barangkali adalah orang pertama yang mengolah sirih merah sebagai industri herbal. Eksplorasi terhadap manfaat sirih merah itu terus berlanjut sehingga ia bisa menciptakan produk-produk lain dari tanaman tersebut.
Untuk membuat produknya, setiap bulan Dewo memerlukan sekitar lima kuintal daun sirih merah basah. Bahan baku itu diolah menjadi berbagai produk, diantaranya teh herbal celup, teh herbal seduh, berbagai kapsul dari ekstrak sirih merah sampai teh pelangsing.
Seiring berjalannya waktu, perusahaan herbal milik Dewo berkembang pesat. Jika pada tahun 1997 ia bekerja sendiri, belakangan dia dibantu 25 karyawan.
Produk-produk yang dihasilkan dewo itu telah mendapat pengesahan dari Badan Pusat Pengawas Obat-obatan dan makanan. Kini, semua produk Dewo bisa dikatakan sudah tersebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia serta di ekspor ke Malaysia dan Brunei.

Kemitraan

Untuk menjamin pasokan bahan baku sirih merah, Dewo menjalin kemitraan dengan para petani di sejumlah daerah, baik di kawasan Di Yogyakarta maupun Jawa Tengah. Tak kurang dari 50 petani yang bekerja sama dengannya.
"Saya tidak punya lahan, jadi lebih baik mengembangkan sistem kerja sama dengan para petani sirih merah," ujarnya.
Selain menyediakan bibit yang semuanya merupakan keturunan yang ia bawa dari lereng Gunung Merapi, Dewo juga membeli hasil panen sirih merah dari petani.
Daun sirih merah dengan lebar delapan sentimeter, dia beli dengan harga Rp.120.000 per kilogram. Adapun daun sirih merah super dengan lebar minimal 11 cm dihargai Rp. 150.000 per kilogram.
Meski usahanya relatif berhasil, Dewo belum puas. Ia mengaku masih punya berbagai obsesi terkait pengembangan sirih merah. Selama ini sumber literatur tentang sirih merah masih sangat terbatas. Ia berharap ada penelitian lebih lanjut agar segenap potensi tanaman sirih merah bisa bermanfaat bagi masyarakat.
"Alam telah menyediakan segalanya. Masalahnya, bagaimana kita menemukan dan mengolahnya menjadi obat yang bermanfaat bagi kesehatan," katanya.

Lahan terbatas

Keseriusan Dewo dalam mengolah tanaman sirih merah sebagai tanaman obat bisa dilihat dari rumah bambu miliknya. Kata dia, rumah bambu itu dibangun untuk menyiasati lahan yang terbatas. Dengan bentuk vertikal, dia memiliki banyak ruang untuk membudidayakan bibit sirih merah.
Bibit dari rumah bambu inilah yang kemudian ditanam para petani di ladangnya masing-masing. Beberapa bulan kemudian, bibit-bibit itu akan kembali ke rumah bambu tersebut dalam bentuk lembaran daun sirih merah yang berguna sebagai bahan baku obat herbal. Di rumah bambu Dewo pula, lembar-lembar daun sirih merah itu diolah menjadi beraneka produk obat herbal.
Rumah bambu ini menutupi lahan seluas 1.000 meter persegi. Di lantai satu dan dua, sirih merah yang ditanam dalam pot-pot kecil menjalar ke atas kayu-kayu penopangnya.
Di lantai tiga dan empat rumah itu tersedia meja dan kursi yang biasa dipakai para tamu bersantai sambil menikmati ramuan daun sirih merah.
"Memang sering ada tamu berobat kesini. Sambil menunggu, para tamu bisa ngisis (mencari angin) sambil melihat tanaman dan menikmati teh sirih merah," kata Dewo tentang rumah bambunya.
Ruang-ruang dalam rumah bertingkat dari bambu ini dibangun sesuai dengan lingkungan sekitar yang ditumbuhi banyak pohon besar. Sambil duduk menikmati semilir angin di lantai tiga atau lantai empat, para tamu bisa meraih buah asam atau buah sawo yang berada di pohon sekitarnya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 14 APRIL 2009

Santoso Hartono: Naik Bersama Batik Lasem

SANTOSO HARTONO

Lahir: Rembang, 20 20 Mei 1968
Pendidikan : SMEA Yos Sudarso Rembang (1987)
Istri : Andriana Sulistyowati
Anak :
1. Filemon Hermawan Sulistyo
2. Theofilus Handy Syahputra
3. Agatha Tirsa Oktavia
Pekerjaan : Pemilik usaha batik Lasem "Pusaka Beruang"
Jabatan : Ketua Koperasi Batik Lasem

Sore itu orang-orang berkumpul di ruang tamu yang penuh kain mori putih yang baru digambari malam (sejenis lilin untuk membatik), kain batik setengah jadi, sampai kain batik dalam karung siap kirim. Seperti yang rutin terjadi sehari-hari, saat itu buruh batik menunggu pembagian upah.

OLEH HENDRIYO WIDI DAN SIDIK PRAMONO

Saat seperti itu adalah saat yang membahagiakan bagi Santoso Hartono, pemilik usaha batik lasem "Pusaka Beruang". Wajah para pekerja berbinar menerima hasil jerih payahnya. Meski bukan industri pabrikan, saat ini tercatat 754 tenaga kerja terlibat dalam usaha batik lasem milik Santoso. "Jika tak berani memberi makan orang (lain), apa artinya kerja?" kata penerima penghargaan Upakarti Jasa Pelestarian saat itu.
Para pekerja tersebut dibayar dengan sistem borongan berdasarkan pencapaian mereka hari itu. Sekitar Rp. 5 juta-Rp.7,5 juta per hari mesti disiapkan Santoso untuk pembayaran upah. Tak ada lagi cerita buruh yang hanya dibayar Rp.4.000 per hari sebagaimana terjadi tahun 1990. "sekalipun buruh, mereka harus hidup layak," kata Santoso.
Tidak semuanya bekerja di rumah, sekaligus tempat usaha, Santoso di Jalan Jatirogo, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sekitar 40 orang bekerja di bengkel kerja di kawasan Karasjajar, Kecamatan Pancur sekitar 4 kilometer dari kediaman Santoso di Jatirogo. Di situ berdiri bangunan sederhana untuk menampung para pembatik. "Industri makin mendekat ke desa, tempat tinggal para pembatik," kata Santoso. Sentra batik di Rembang adalah Kecamatan Pancur, Pamotan, dan Lasem. Masing-masing kecamatan punya ciri khas. Penduduknya memiliki keahlian tersendiri dalam membatik.
Santoso juga turut menggulirkan ide mempromosikan batik lasem sekaligus pelestarian bangunan cagar budaya. Tempat pemasaran yang berada di jalan pantai utara Rembang-Lasem itu bernama Griya Batik Lasem. Bangunan kuno yang didirikan tahun1800-an tersebut pernah dipakai Kawedanan Lasem. Saat ini bangunan itu menjadi pusat pemasaran batik lasem para pengusaha kecil menengah yang bergabung dalam Koperasi Batik Lasem.
"Selama ini perajin tersebar di daerah pedalaman Rembang sehingga pembeli kesulitan mengakses produk-produk perajin," kata Santoso.
Dengan adanya pusat pemasaran di pantura, dia berharap mampu "mencegat" pembeli luar kota yang melalui jalur itu.

Generasi ketiga

Santoso merintis usahanya Maret 2005 dengan hanya empat pekerja saja. Ia memang mengenal batik sedari kecil. Anak kedua dari enam bersaudara pasangan Tirto Hartono (Ang Tjay Gwan)-Sri Endah Wahyuningsih (Djie Frieda) ini generasi ketiga pembatik di keluarganya. Namun, sekalipun karya keluarganya laku sampai Jawa Timur, bahkan Sumater, usaha mereka tidak tergolong besar. 'Kalau tidak salah, sudah tutup sejak 1980-an," kata Santoso.
Usaha batik kala itu memang tidak cukup menguntungkan. Belitan tengkulak yang menjadikan keuntungan amat tipis, hanya Rp.1.500 per potong. Pengusaha batik tiarap. Buruh batik megap-megap dan akhirnya batik lasem pun terkapar di dasar.
Lulus sekolah menengah atas, Santoso muda merantau ke Jakarta. Beragam pekerjaan dijalani, termasuk mengumpulkan plastik bekas pembungkus mi instan. "Saya pernah mengalami gajian Rp. 45.000 per bulan," kenangnya. Saat itu dia bekerja di sebuah perusahaan mebel ternama di Cibinong.
tahun 1999, Santoso memutuskan pulang ke Lasem. Menikah pada tahun 2000, pasangan Santoso-Andriana masih mencoba beragam pekerjaan, mulai dari pengepul palawija sampai jual beli tembaga.
Titik balik terjadi tahun 2005, ketika Santoso ikut pelatihan batik Dinas Perindustrian Kabupaten Rembang. Bermodal pinjaman Rp.15 juta, Santoso memulai usahanya. "Perjudian" pertama terjadi Maret 2005 ketika Santoso mengikuti pameran di Jakarta. Hasilnya? "Cuma dapat Rp.475.000," katanya tertawa.
Namun, itulah awal. Pesanan kemudian mengalir. Pengalaman itu membuat Santoso terhitung rajin berpameran, sekalipun butuh minimal Rp.17,5 juta untuk sekali pameran di Jakarta. "Tetapi dampaknya jangka panjang," katanya.

Inovasi

Keunggulan batik lasem adalah murni batik tulis, tanpa teknik colet atau celup sebagaimana dipraktikkan di banyak sentra batik di daerah lain. Selembar kain batik lasem bisa dihargai Rp.100.000 - Rp.700.000.
Sekalipun kondisi sekarang relatif lebih baik, Santoso berharap pemerintah terus menggairahkan industri batik, semisal dengan tetap mempertahankan kewajiban berseragam batik bagi pegawai negeri. "Ibaratnya, gunung boleh digali, laut boleh dikuras, hutan boleh ditebangi, tapi batik tetap jalan," kata Santoso yang kini hanya sanggup dua tiga jam membatik. Waktunya lebih banyak tersita untuk mengelola usahanya.
Bagi pengusaha batik, untuk dapat bertahan, kuncinya terletak pada inovasi dan pengembangan kualitas ataupun menggenjot kuantitas. Inovasi mutlak diperlukan karena tantangan semakin berat. Misalnya saja, gempuran kain printing bermotif batik lasem yang harganya separuh batik lasem asli.
Bagi Santoso, dinamika tidak berarti mengabaikan pakem. Kiatnya, warna khas batik lasem semisal merah marun, biru, coklat, dan ungu tetap dipertahankan. Namun, motif tetap harus dinamis. Beberapa motif batik lasem yang terkenal adalah kendiri, ukel, latohan abangan, parang sekar es teh, lasem sekar jagat, lasem pasiran, dan lasem lerek lung-lungan.
Bersama Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kabupaten Rembang, Santoso berupaya mematenkan 20 motif batik dari 200 motif yang ada.
Di tengah kebangkitan kembali usaha batik lasem, generasi pembatik makin tua. Santoso pun memikirkan regenerasi. Santoso menggelar pelatihan batik bagi anak-anak setahun sekali. Pelatihan yang merupakan kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Rembang itu kerap disebut "Sekolah Bocah Canting". Biasanya digelar di belakang Griya Batik Lasem. "Saya mempunyai keinginan pemerintah bekerja sama dengan pengusaha batik membina anak-anak, terutama yang putus sekolah, menjadi generasi penerus batik lasem," katanya.
Didukung sebuah bank nasional, dia membuka Batik Village Area di Dusun Ngropoh, Desa Pancur, Kecamatan Pancur, Rembang, 9 Februari 2011. Semua itu dijalankannya dengan impian agar para pengusaha batik lasem maju bersama dan para pembatik tetap terpenuhi kesejahteraannya.
Bukan jalan yang mudah. Tidak semua orang sepaham. "Tetapi, kalau tidak dilakoni, mana tahu kita hasilnya?" kata Santoso.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 23 FEBRUARI 2011

Senin, 21 Februari 2011

Poniman Tak Pernah Menyerah......


BIO DATA

Nama lengkap : Poniman
Alamat : Dusun Karangnongko, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta
Istri : Tukirah
Anak :
- Purwanto
- Surani
- Maryadi

Meski order yang diterima terus turun, Poniman (52) tak pernah menyerah. Ia tetapsetia membuat gamelan karena kecintaannya terhadap artefak kultural tradisi itu. Ia khawatir jika meninggalkan usaha itu, gamelan akan sulit diperoleh sehingga keberadaannya pun terancam.

Oleh ENY PRIHTIYANI

Bagi Poniman, warga Dusun Karangnongko, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, gamelan sudah menjadi sesuatu yang menyatu dengan jiwanya. Ia sudah membuat gamelan sejak tahun 1980-an. Gamelan yang diproduksinya dikirim ke berbagai kota, bahkan ke mancanegara seperti Suriname, Vietnam, dan Jepang.
"Pasar gamelan hanya tertentu saja karena tidak semua menyukainya. Harganya juga mahal. Untuk seperangkat gamelan dari bahan besi harganya mencapai Rp.150 juta, sedangkan untuk bahan kuningan harganya berkisar Rp.450 juta. Jadi tidak setiap orang bisa menjangkau harga semahal itu," katanya.
Menurut Poniman, pelanggan tetapnya adalah instansi yang bergerak di bidang kebudayaan dan transmigrasi. Bagi instansi-instansi itu, gamelan sudah menjadi barang "wajib". Untuk instansi yang menangani transmigrasi, gamelan biasanya dibawa ke lokasi transmigran sebagai alat berekspresi sekaligus kenang-kenangan bagi para transmigran.
Untuk memperoleh pembeli, Poniman aktif memantau informasi dari suratkabar seputar lelang pengadaan gamelan. Dalam proses lelang tersebut, Poniman sering menang karena harga yang ditawarkan tergolong murah. Maklum, ia bukan makelar , tetapi perajin yang langsung membuat gamelan.
Satu set gamelan terdiri dari 22 jenis alat, seperti kenong, gong, saron, kendhang, dan gambang. Tingginya harga gamelan disebabkan mahalnya harga bahan baku. Besi, misalnya, harganya naik dari Rp.10.000 menjadi Rp.15.000 per kilogram, kuningan dari Rp.60.000 jadi Rp.100.000 dan timah naik dari Rp.100.000 menjadi Rp.130.000 per kilogram.
"Setelah harga BBM naik, semuanya ikut naik. Meski harga bahan baku naik, saya belum menaikkan harga jual karena takut peminatnya makin menyusut. Untung sedikit ndak apa-apa, asal saya masih bisa membuat gamelan," katanya.

Satu satunya

Di Bantul, Poniman menjadi satu-satunya pembuat gamelan yang sampai saat ini masih eksis. Rasa cinta terhadap gamelan telah mendorongnya untuk tetap bertahan meski berbagai kesulitan menghadang.
Meski menaruh kecintaan yang cukup dalam terhadap gamelan, Poniman mengaku tak bisa memainkannya dengan baik. "Saya ini memang bukan seniman karena itu tak bisa memainkan gamelan dengan baik. Saya hanya pembuat gamelan yang tidak ingin keberadaannya punah," tuturnya.
Menurut dia, gamelan adalah musik yang tercipta dari paduan bunyi gong, kenong, dan alat musik Jawa lainnya. Irama musik yang lembut dan mencerminkan keselarasan hidup orang Jawa. Gamelan juga menghasilkan bunyi yang enak didengar.
Keterampilan membuat gamelan diperoleh Poniman saat bekerja sebagai buruh di perusahaan yang memproduksi gamelan. Hampir 15 tahun ia bekerja di tempat itu. Semua pekerjaan dari menggosok, mengerok, hingga menyetel nada sudah dilakoninya. Setelah cukup matang, ia memutuskan keluar dan mengembangkan usaha sendiri. "Dari kecil saya sudah senang dengan gamelan. Saya melihatnya sebagai sesuatu yang unik," tuturnya.
Meski modalnya mepet, Poniman tetap bersemangat membangun usahanya. Dengan modal tidak lebih dari Rp.10 juta, ia pun mulai membuat gamelan sendiri. Awalnya hanya gong saja, tetapi kemudian terus berkembang hingga legkap satu set gamelan.
Kemahirannya membuat gamelan dikenal masyarakat luas. Pesanan demi pesanan pun diterimanya. Dulu saat Orde Baru berkuasa, pesanan gamelan melimpah. Waktu itu pemerintah banyak mencanagkan program-progam pelestarian kebudayaan sehingga keberadaan gamelan sangat dibutuhkan.
"Kalau dibandingkan dengan dulu, kondisi sekarang ini jauh berbeda. Sekarang ini komitmen pada pelestarian gamelan agak lemah. Dampaknya, order saya terus turun," kata bapak tiga anak itu.
Menurut Poniman, proses pembuatan gamelan tergolong rumit. Untuk gong, misalnya, proses awal dimulai dari pembentukan bodi, yakni dengan cara membakar atau memanaskan besi terlebih dahulu. Bila sudah terbentuk, gong harus dipukul-pukul dulu untuk mendapatkan nada yang bagus.
Gamelan Jawa menggunakan musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplet terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, sedangkan pelog memiliki 7 nada per oktaf.
Saat ini Poniman tengah mengerjakan gong raksasa berdiameter 6 meter, pesanan Pemerintah Kabupaten Bantul. Gong raksasa itu akan digunakan sebagai maskot hari jadi ke 177 Bantul yang jatuh tanggal 20 Juli nanti. Gong tersebut juga akan didaftarkan dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Untuk menyelesaikannya, Poniman butuh waktu sekitar 20 hari dengan bantuan 4 orang.
Kesuksesan dan kesetiaan Poniman pada gamelan telah mengantarnya pada perbaikan ekonomi keluarganya. Dua anaknya berhasil disekolahkan hingga jenjang perguruan tinggi. "Saya tidak ingin anak-anak saya bodoh seperti saya. Saya dulu SD saja tidak lulus karena faktor ekonomi. Saya hanya mengenyam pendidikan sampai kelas III saja. Saya berharap anak-anak saya bisa mewujudkan cita-citanya. Sebagai orangtua, tugas saya adalah membiayai mereka lewat gamelan-gamelan ini," tambahnya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 15 JULI 2008

Bambang Prajogo Eko Wardojo: Gandarusa untuk Kontrasepsi Pria


BAMBANG PRAJOGO EKO WARDOJO

Lahir : Surabaya, 17 Desember 1956
Istri : Dra Trie Widayatie, Apt (55)
Anak :
- Kukuh Widya Prayogo (21)
- Adi Widya Prayogo (19)
- Ega Widya (18)
Pendidikan :
- Sarjana Muda hingga S-3 di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya (1980-2002)
- Midcareer Training of Pharmacochemistry, Universitas Gadjah Mada-Vrije University (1987)
- Training of Good Laboratory: University de Lausanne-Switzerland (2002)
Pekerjaan :
- Peneliti dan dosen pada Departemen Farmakognisi dan Fitokimia Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga, Surabaya (1985-sekarang)
Penghargaan :
- Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa, Jakarta, 2 Oktober 2009
- Anugerah "Airlangga Widya Bhakti Adhikarapurusa", Surabaya, 10 November 2010

Keilmuan bidang farmasi dia tekuni dan menuntunnya pada ide memperbanyak variasi alat kontrasepsi. Kini ia memperoleh hak paten atas temuan tablet herbal kontrasepsi pria dari daun gandarusa.

OLEH NINA SUSILO DAN NAWA TUNGGAL

Tablet herbal untuk membatasi kelahiran itu adalah buah perjalanan hidup Bambang Prajogo Eko Wardojo (54). Semasa remaja, Bambang sudah tergelitik memikirkan bisa berbuat apa untuk turut ambil bagian dalam mengantisipasi peledakan penduduk. Ketekunan dan keteguhannya akan cita-cita ternyata membuahkan hasil.
Tablet kontrasepsi pria yang ditemukannya sudah diuji klinis kepada manusia. Bambang memperoleh hak patennya pada 12 Juni 2008. Untuk mendapatkan hak paten, Bambang harus menanti prosesnya selama tujuh tahun. Ia mengajukan perolehan hak paten sejak 23 Januari 2001.
"Menanti hak paten cukup lama," kata Bambang, peneliti dan dosen pada Departemen Farmakologi dan Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya, di ruang kerjanya, akhir Januari lalu.
Pada 14 Desember 2010, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional meluncurkan tablet herbal kontrasepsi pria ini untuk diproduksi secara massal. Produsen yang digandeng adalah PT Indofarma (Persero).
Namun, tablet itu belum akan ditemui di pasaran. Setelah peluncuran memang tidak segera diproduksi. Menurut Bambang, perusahaan tersebut masih akan menguji klinis lagi secara lebih akurat dan masif.
Sebelumnya, Bambang menguji secara klinik tablet ekstrak gandarusa (Justicia gendarussa), melibatkan 36 sukarelawan pria yang memiliki pasangan dan keduanya subur. Hasilnya, tablet herbal itu terbukti melemahkan sel sperma pria secara periodik. Artinya, tablet itu aman karena tidak memandulkan pria secara permanen.
Untuk mempersiapkan produksi massal, kata Bambang, akan ditempuh uji klinik dengan sukarelawan sebanyak 350 pria. "Mereka yang dipilih untuk mengikuti uji klinis itu bukan sembarang pria, tapi pria yang sudah memiliki pasangan (istri) dan keduanya subur," kata Bambang.
Target lain yang hendak diraih adalah masa aktif senyawa gandarusa diusahakan lebih cepat dalam memandulkan sperma. "Targetnya bisa aktif bekerja setelah 30 menit diminum, seperti obat-obat konvensional," kata Bambang.

Mahar kurang

Daun gandarusa tidak serta-merta menjadi inspirasi Bambang. Dia pun sudah meriset buah-buah yang dipercaya bisa melemahkan sperma. Semasa menuntaskan S-1 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, hingga tahun 1983, Bambang telah meriset buah pare (Momordica charantia).
Saat itu dia berhasil membuktikan khasiat senyawa aktif buah pare bisa melemahkan sel sperma hewan percobaan secara temporer. Bambang kemudian memaparkan hasil riset itu dalam Kongres Nasional V Ikatan Farmakologi Indonesia tahun 1983 di Semarang.
Setelah itu Bambang masih meneruskan riset mengenai khasiat pare. baru empat tahun kemudian ia mengalihkan pada riset daun gandarusa.
"Saya mulai meriset gandarusa pada 1987. Inspirasinya dari hasil riset etnobotani peneliti Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) tentang tradisi perkawinan dengan mahar kurang di Papua," kata Bambang.
Dalam tradisi entitas suku tertentu di Papua, lanjutnya, diterapkan persyaratan bagi pria pelamar gadis yang membawa mahar (mas kawin) kurang dari yang diharapkan. Walaupun si mempelai pria tetap boleh menikahi si gadis, dia tidak boleh menghamili istrinya sebelum menggenapi mahar yang disyaratkan. "Untuk menghindari kehamilan, si pria diberi makan daun gandarusa," kata Bambang.
Saat mahar dipenuhi, barulah si pria boleh menghamili si gadis. Setelah mendapat "lampu hijau" itulah si pria pun berhenti makan daun gandarusa.
Gandarusa merupakan tanaman semak yang tumbuh di dataran rendah. Gandarusa tumbuh tegak sampai dua meter, berbatang hitam atau hijau dengan cabang daun yang berwarna ungu kecoklatan mengilat.
Bambang yang mengaku belum pernah ke Papua telah memetik hikmah dari kebiasaan masyarakat tradisional Indonesia. Masyarakat tradisional ternyata mengetahui banyak manfaat tumbuhan di sekelilingnya tanpa mengetahui uraian kandungan ilmiah di dalamnya. Bagi periset, semestinya ini menjadi ladang inspirasi bagi penelitin ilmiah lebih lanjut.

Herbal tropika

Bambang semakin kerap hadir di berbagai simposium internasional. Baru-baru ini di Lausanne, Swiss, ia gencar menekankan kepada para pemerhati masalah reproduksi dan kependudukan di lingkup internasional tentang pentingnya menambah pilihan alat kontrasepsi yang aman. Diantara pilihan alat kontrasepsi tersebut, dia menyebut bahan-bahan herbal tropika.
Perlu pula menambah alternatif alat kontrassepsi bagi pria. Sebab, selama ini lebih banyak obat atau alat kontrasepsi ditujukan bagi perempuan.
Tahun 2010 Bambang juga berbicara sama dalam simposium "Innovative Ideas in Natural Medicine Research: Perspective Views, Social Science, Molecular Biology, and Nano Materials" di Universitas Toyama, Jepang. Selain itu, di Asian Conference on Clinical Pharmacy 2010 di Singapura. Kemudian berlanjut pada Joint Annual Meeting of The American Society of Pharmacognosy and The Phytochemical Society of North America: Natural Solution to 21st Century Problem-from Discovery to Commercialization di St Petersburg, Tampa, Florida, Amerika Serikat.
"Saya akan terus membawa inspirasi temuan tablet herbal gandarusa untuk kontrasepsi pria ini sebagai isu global, katanya.
Bambang menjadi pencetus tablet herbal kontrasepsi pria. Ia berandil mengubah pengetahuan tradisional menjadi pengetahuan modern.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 22 FEBRUARI 2011

Minggu, 20 Februari 2011

Stanislaus Sandarupa : "Juru Kunci" Budaya Toraja


STANISLAUS SANDARUPA

Lahir : Makale, 9 Oktober 1956
Orangtua : Martinus Ello (ayah) dan Clara Tibe (ibu)
Istri : Katrina Patabang (50)
Anak : Gabriella Sandarupa (26), Dirk Sandarupa (24), Stanley Fulbright Sandarupa (22), dan
Frank Ello Sandarupa (20)
Pendidikan :
- S-1 Linguistik Inggris Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (1982-1987)
- S-2 Department of Linguistics, University of Chicago, Amerika Serikat (1987-1989)
- S-3 Linguistic Anthropology, University of Chicago, Amerika Serikat (1993-2004)
Pekerjaan : Dosen Fakultas ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
Karya Tulia, antara lain:
- Pemerkosaan nilai-nilai Budaya Toraja
- Torajan Architecture: Order in Symbolic Design
- Toraja's Ancestral 'Tau-tau' Figures
- Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal Toraja
- Toraja Kota Orang Hidup yang Mati
- Hilangnya Bahasa Politik yang Puitik
- Life and Death in Toraja

Stanislaus Sandarupa (54) menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti budaya Toraja di Sulawesi Selatan. Ia masuk keluar pedalaman Toraja untuk menyelami makna yang terkandung dalam beberapa upacara adat. Bahasa ritual diterjemahkannya demi kelangsungan budaya Toraja.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP/NASRULLAH NARA

Stanislaus lebih dari sekadar peneliti. Selama 14 tahun terakhir, dia mengelola usaha perjalanan wisata Makassar-Toraja (325 km). Torondo Tour yang dikelolanya khusus melayani kelompok akademisi atau wisatawan peminat budaya suku yang berdiam di dataran tinggi Sulsel itu.
Dana mendirikan Torindo Tour diperolehnya dari menerjemahkan film dokumenter tentang beberapa ritual adat di Toraja buatan TV5 Perancis (1996). Rektorat Universitas Hasanuddin kala itu merekomendasikan Stanis-panggilannya- membantu TV5 menerjemahkan bahasa Toraja ke bahasa Inggris.
Sarjana lingusitik Inggris ini menerjemahkan sekitar 20 film selama sebulan dengan upah 200 dollar AS per hari. Selain membeli sebuah minibus, Stanis menyulap ruangan seluas 9 meter persegi di kediamannya menjadi kantor sederhana. Sebagian lagi digunakannya untuk membangun Rumah Makan Arumpala di jalan poros Makassar-Toraja.
Saat duduk di bangku kuliah, dia memang terbiasa menerjemahkan ucapan Toma'kayo, pemimpin upacara kematian di Toraja, yang direkamnya di sejumlah ritual Rambu Solo' (ritual kematian). Keinginan Stanis mengenal lebih dalam budaya Toraja semakin besar berkat dorongan Prof Dr Salombe sebagai pembimbing skripsi.
Ia menganalisis teks yang diucapkan Toma'kayo untuk mengungkap kepercayaan orang Toraja pada hidup sesudah mati dalam skripsinya. Setelah meraih gelar sarjana pada tahun 1987, Stanis menyusun buklet tentang gemerlap upacara adat dan sensasi adu kerbau sebagai panduan wisatawan. Buku pegangan ini turut menggairahkan kunjungan wisatawan ke Toraja yang saat itu sempat mencapai 375.000 orang setahun.
Niat Stanis untuk melanjutkan studi pada jenjang magister sempat terkendala karena tidak adanya jurusan linguistik antropologi di Indonesia. Namun, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddinini sukses meraih ambisinya setelah menjadi satu-satunya wakil dari Indonesai Timur yang mendapatkan beasiswa Fulbright dari pemerintah Amerika Serikat.
Studi tentang budaya Toraja melalui kajian linguistik antropologi dienyamnya di Departmen Linguistik University of Chicago. "Bahasa dalam upacara adat di Toraja ternyata tak bisa dikaji hanya dengan linguistik murni, melainkan linguistik antropologi untuk menghasilkan makna sesungguhnya," ujarnya.
Gelar magister akhirnya ia sandang pada tahun 1989. Selama empat tahun berikutnya, ia mengisi hari-harinya dengan mengajar dan menulis. Sejumlah artikel tentang Toraja tulisan Stanis termuat di media Ibu Kota.
Kiprah Stanis dalam menganalisis budaya Toraja kembali menarik perhatian pihak asing. Ford Foundation pada tahun 1993 menawarinya ikut program doktoral di University of Chicago. Dalam studinya kali ini, Stanis memfokuskan penelitian pada ritual Rambu Solo' yang dilakukan penganut Aluk Todolo (kepercayaan dari leluhur di Toraja).

Memahami Toraja

Setelah mengenyam teori kebudayaan selama dua tahun, ia kembali ke Tanah Air pada tahun 1995 untuk meneliti upacara adat Rambu Solo' di sejumlah perkampungan Toraja. Selama tujuh tahun lebih Stanis berkelana dari satu kampung ke kampung lain yang khusus didiami para penganut Aluk Todolo.
Stanis sedikitnya mengunjungi empat kampung yang masing-masing berlokasi di wilayah utara, selatan, barat, dan timur Toraja. Saat berkunjung ke Kampung Simbuang di bagian barat Toraja, ia harus berjalan kaki hingga 10km untuk mencapai lokasi. namun, jerih payah itu terbayar karena di Simbuang ia menemukan prosesi memeras mayat atau Mapara Tomate' untuk memisahkan unsur keras (tulang) dari yang lunak (daging).
Di tengah penelitiannya itu, ia menulis buku pertamanya berjudul life and Death in Toraja (Universitas Hasanuddin, 2000).Tatkala penelitiannya rampung dua tahun kemudian, ia mendapat beasiswa dari Toyota Foundation Jepang. Beasiswa itu sebagai bekal menyusun disertasi. "Hampir semua penelitian saya didukung yayasan asing karena mereka memahami pentingnya mengungkap keunikan budaya Toraja," ungkap Stanis.
Pencapaian itu kian mengukuhkan kapsitasnya sebagai peneliti yang memahami Toraja Luar dan Dalam. Pada tahun 2008, ia terlibat dalam dua proyek stasiun televisi asing, yakni FOX Television dan BBC Television yang memasukkan Aluk Todolo dalam program 80 Faith Around The Worlds.
Setahun kemudian, Stanis bersama dua penulis lain, Elizabeth Cofill (AS) dan Dana Rapaport (Perancis), menerjemahkan buku Ethnomusicology Toraja."Buku ini seperti kamus Toraja yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Perancis sebagai panduan bagi wisatawan," katanya.
Berbagai kerjasama dengan pihak asing itu membuat beberapa proyek Stanis tertunda. Empat buku yang telah ditulisnya sejak beberapa tahun lalu bakal rampung dan siap terbit tahun ini, antara lain, Tradisi Lisan Toraja, Kambunni',: mengungkap keunikan Budaya Toraja, dan Kamus Paralelisme Toraja.
Karya ini menjadi modal berharga bagi generasi muda yang ingin mempelajarikebudayaan Toraja. Selama ini kebudayaan Toraja yang berbasis pada tradisi lisan nyaris punah karena hanya dipahami oleh segelintir masyarakat yang sudah tua. Begitu pula dengan ritual Rambu Solo' versi Aluk Todolo mengingat penganutnya terus menyusut dari tahun ke tahun.
Seolah melengkapi penguasaannya akan budaya Toraja, Stanislaus kini tengah merampungkan kamus Bahasa Toraja-Indonesia.
Tak keliru jika Stanislaus dijuluki kuncen atau "juru kunci" budaya Toraja. Ia lahir di Toraja, berdarah Toraja, meneliti tentang Toraja, dan berbisnis untuk pengembaagan kebudayaan Toraja.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 21 FEBRUARI 2011

Kamis, 17 Februari 2011

Sukar Mudjiono : Pesan "Dokter" Wayang Potehi


SUKAR MUDJIONO

Lahir : Surabaya, 18 April 1960
Istri : Munifa (45)
Anak : Ganda Fakarja

Tepat pada tanggal merah, perayaan Imlek 2562, Sukar Mudjiono duduk santai sambil memainkan lagu-lagu Mandarin di lantai dua Kelenteng Hong Tiek Hian di Jalan Dukuh, Kota Surabaya, Jawa Timur. Lagu-lagu yang dia mainkan itu rupanya bisa menghibur para peziarah kelenteng sehingga tanpa diminta, lembaran uang yang ditaruh peziarah di atas meja di depannya terus bertambah.

OLEH IDHA SARASWATI

"Kalau pas Imlek, saya malah libur. Ini sudah tradisi. Tetapi besok, saya ada tanggapan (bermain) di Jakarta," ujar Sukar saat ditemui awal Februari ini.
Sukar adalah dalang wayang potehi. Hari-hari menjelang dan pasca Imlek menjadi hari sibuk baginya, kecuali pada hari Imlek itu ketika penanggalan berwarna merah. Sukar mendapat tanggapan untuk mendalang dari kelenteng hingga pusat perbelanjaan. Pengundangnya berasal dari beberapa kota, seperti Surabaya, Bojonegoro (Jawa Timur), Semarang (Jawa Tengah), dan Jakarta.
Pada saat libur itulah, ia mengajak teman-temannya dari grup wayang potehi Lima Merpati berkumpul. Kelenteng Hong Tiek Hian yang berada di daerah pecinan menjadi semacam tempat berkumpul kelompok ini. Mereka memilih berkumpul di kelenteng sambil mencoba memainkan lagu-lagu Mandarin yang baru dipelajari.
Siang itu, misalnya, Sukar kebagian memainkan olhu, sejenis alat musik gesek tradisional dari China. Alat-alat musik tersebut biasa mereka mainkan untuk mengiringi penampilan wayang potehi.
Dalam grup Lima Merpati, Sukar yang sudah menggeluti wayang potehi selama lebih dari 30 tahun berperan sebagai dalang utama. Meski demikian, dia juga mahir memainkan beberapa alat musik pengiring wayang potehi. Hal ini karena sebeleum menjadi dalang, ia mengawali "karier" dari bawah.
"Sebelum menjadi dalang itu kan biasanya kita jadi pemain musik dulu. Lalu, kita menjadi cantriknya dalang, baru jadi dalang," tuturnya.
Dengan keahlian itu, seorang dalang wayang potehi bisa tampil secara fleksibel. Ketika tidak sedang kebagian jatah mendalang, Sukar bisa menjadi pemain musik, mengiringi temannya yang bertugas menjadi dalang. Begitu punsebaliknya.

Sejak kecil

Sejak masih kanak-kanak, Sukar tertarik pada wayang potehi yang menyuguhkan legenda Tiongkok klasik. Waktu itu belum banyak hiburan seperti sekarang. ia setia mengikuti kelanjutan cerita wayang potehi yang biasanya dipentaskan setiap hari hingga sebulan penuh di Kelenteng Hong Tiek Hian. Letak kelenteng itu relatif tidak jauh dari rumahnya. Ayah dan ibunya tidak pernah melarang Sukar kecil menonton di kelenteng.
SAlah satu cerita favorit Sukar adalah kisah dua sahabat Sun Pin dan Ban Koan. Mereka menuntut ilmu militer bersama hingga mendapat kedudukan tinggi di kerajaan. namun, persahabatan itu menjadi retak karena sifat Ban Koan yang serakah. "Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari cerita itu," ujarnya.
Suatu hari seusai menonton, seorang dalang wayang potehi memanggilnya. Sukar kecil diajak mendekat ke kotak merah yang menjadi panggung wayang potehi. Sejak saat itu, Sukar mulai bersentuhan dengan dunia di balik tonil wayang potehi.
Guru pertamanya adalah Gan Cao Cao, dalang wayang potehi dari Hokkian, China. Ia memulai pelajarannya daari memainkan berbagai alat musik, membaca buku cerita legenda China, lalu menjadi pembantu dalang, hingga kemudian memulai debutnya sebagai dalang pada usia belasan tahun. Sukar mulai rutin memainkan wayang potehi untuk mengiringi ritual di kelenteng tua Hong Tiek Hian.
Beranjak remaja, Sukar semakin asyik menggeluti wayang potehi. Selain karena memang hobi, penghasilan dari wayang potehi membuatnya rajin terlibat dalam pementasan.
Uang dari pentas wayang potehi dikumpulkan sehingga bisa meringankan beban orang tua dalam membiayai sekolah. Sukar bahkan bisa melangkah hingga menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya. namun, kesibukan sebagai dalang wayang potehi membuatnya meninggalkan bangku kuliah.
Sukar adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Melihat dia bisa mengumpulkan uang, empat adik lelakinya ikut tertarik mendalami wayang potehi juga. Dua diantaranya kini menjadi dalang, sedangkan dua lainnya menjadi pemain musik.
Semakin dewasa, Sukar menyadari bahwa menjadi dalang wayang potehi bisa dikatakan profesi yang menjanjikan. Setiap kelenteng punya jadwal rutin pementasan wayang potehi, terutama berkaitan dengan hari ulang tahun kelenteng. Belakangan, Imlek dan Cap Go Meh juga membuat dalang wayang potehi kebanjiran tanggapan.
Bersama teman-temannya, Sukar lantas mendirikan grup wayang potehi Lima Merpati tahun 2005. Grup ini punya sekitar 20 anggota, yang terdiri dari dalang dan pemusik. Untuk sekali tampil, mereka dibayar minimal Rp. 4 juta.
Grup ini sudah menyambangi hampir semua kelenteng di Pulau Jawa. Mereka juga telah mengantongi piagam penghargaan dari beberapa perkumpulan warga Tionghoa atas upayanya melestarikan wayang potehi.
Menurut Sukar, penghargaan memang menjadi salah satu faktor yang membuat orang tertarik mendalami wayang potehi. Maka, setiapkali mendapati anak muda yang tertarik mempelajaari wayang potehi, ia mengajaknya pentas dan memberi mereka penghargaan berupa uang.
"Asal mereka terlibat dalam pentas pasti dikasih. Anak baru pun langsung dikasih (uang). Jadi mereka tahu kalau ini (wayang potehi) menjanjikan," katanya.

Lingkungan

Saat mendalang, Sukar membebaskan diri dalam membawakan cerita. Ia menggunakan bahsa Indonesia dengan logat China. Namun, kadang-kadang dia juga melontarkan lelucon dalam dialek suroboyoan.
Di sela-sela cerita yang ditampilkan, dia juga sering menyisipkan nasihat. Hal itu, mislnya, tentang pentingnya menjaga lingkungan agar tidak terjadi banjir. Pesan-pesan seperti itu juga yang dia bawa saat diundang tampil mendalang di sebuah stasiun televisi lokal di Surabaya.
Nasihat seperti itu dia sebut sebagai pesan-pesan "dokter". Inspirasinya diambil dari keadaan di sekitar lokasi pementasan wayang potehi. "Apa yang saya lihat di lingkungan, ya itu yang muncul di panggung. Kalau sebagai dalang kita enggak sampai ke situ, ya enggak usah jadi dalang," ucapnya.
Ketika sedang mendalang, Sukar juga membebaskan penonton yang masih kanak-kanak untuk maju, bahkan melongok ke belakang panggung. Mereka diizinkan memegang boneka atapun alat musik sepanjang tak mengganggu jalannya pementasan.
Dengan cara itu, Sukar merasa telah memperkenalkan wayang potehi kepada anak-anak. Perkenalan itu dia harapkan bakal berkembang seiring bertambahnya usia mereka sehingga wayang potehi pun tetap bertahan.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 18 FEBRUARI 2011

Lendo-Loula, Mengembangkan Sekolah Alam


DATA DIRI

Nama : Lendo Novo
Lahir : Jakarta, 6 November 1964
Pendidikan :
- S-1 Teknik Perminyakan ITB
- S-2 Manajemen Sumber Daya Energi ITB
Pengalaman Kerja :
- Diperbantukan ke Departemen Koperasi sebagai Asisten Tenaga Ahli Menteri khusus
pengembangan jaringan masyarakat, 1999.
- Tenaga Ahli Kementerian Negara BUMN Bidang Pengolahan Data, Informasi dan Investigasi
(2004-2005)
- Tenaga Ahli Kementerian Negara BUMN Bidang Pengolahan Data dan Informasi (2005-2007)

Nama : Loula Maretta
Lahir : Jakarta, 30 Maret 1959
Suami : Djarot Hadi Prayogo
Anak : Andante Hadi Pandyaswargo, Taufan Hadi Pandusegoro
Pekerjaan :
- Konsultan Pendidikan Sekolah Alam (1999 - kini)
- Pengawas Sekolah Islam Annisa, Pondok Aren, Tangerang
- Pendiri Green Education
- Direktur Sekolah Alam Cikeas (2008-2009)
- Guru Sekolah Global Jaya (1995-1999)
- Guru SD dan Kepala Sekolah TK Al-Izhar Pondok Labu (1990-1995)
- Kepala Sekolah TK Regency (1985-1990)

Pejuang sejati tak menyerah dengan rintangan yang menghadangnya. Prinsip inilah yang membuat Lendo Novo tak berhenti berjuang bagi masa depan bangsa ini meski sampai masuk bui demi membungkam pikiran kritisnya semasa pemerintahan Orde baru.

Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

Tujuh bulan dia mendekam di "hotel prodeo" pada 1989. Di sinilah Lendo, aktivis mahasiswa itu, terpikir memulai perubahan bangsa lewat pendidikan yang memanfaatkan alam Indonesia.
Dorongan hatinya begitu kuat untuk "merevolusi" pendidikan yang dinilai konvensional dan tak fokus pada keunikan tiap-tiap anak. Langkah itu dimulai dengan mendirikan TK Salman di bandung tahun 1992 lalu Sekolah Alam Ciganjur, Jakarta 1998.
Keinginannya menjadikan Indonesia unggul di dunia dengan memanfaatkan kekayaan negeri ini. Mimpi itu dimulai dengan menawarkan pendidikan yang menekankan pembekalan karakter, kecakapan hidup, dan persahabatan dengan alam.
"Saya pelajari semua prasyarat dimiliki Indonesia untuk bisa unggul sehingga kita tak lagi miskin dan ketinggalan dari negara lain," kata Lendo.
Pertama, Indonesia punya keragaman hayati dan menyumbangkan 40 persen hutan hujan tropis di dunia. "Seperempat obat-obatan di dunia itu dari hutan hujan tropis. Indonesia itu berpotensi menyelamatkan kehidupan di dunia," ujarnya.
Dia percaya suatu saatnanti Indonesia akan menjadi salah satu bangsa terbaik jika fokus pada alam. "Oleh karena itu, penguasaan pada alam secara bijaksana harus dikenalkan lewat sekolah alam," katanya.
Menurut dia, jika pendidikan Indonesia berlomba-lomba meniru sekolah internasional akan sulit untuk menonjol. Sekolah pun menjadi mahal. Adapun ssekolah alam modalnya tak habis untuk infrastruktur, seperti gedung dan sarana lain.
"Ruang kelas dari saung enggak masalah, yang penting konsep belajarnya tak kalah dibandingkan dengan sekolah internasional. Keunggulannya, dengan menjadikan alam sebagai sumber belajar tak terbatas buat anak-anak. Mereka bisa belajar sambil bermain," jelasnya.
Master manajemen sumber daya energi dari Institut Teknologi Bandung inilah yang menggagas lahirnya sekolah alam. Lendo yang awam bagaimana mengejawantahkan mimpi besarnya itu menggandeng sang kakak, Loula Maretta, yang paham seluk-beluk pendidikan.
Mereka menyebarkan benih sekolah alam ke berbagai penjuru negeri ini. Kehadiran sekolah alam di berbagai kota mulai tak asing sebagai pilihan untuk membekali generasi muda menimba ilmu dan pengalaman yang dekat dengan alam.
Loula yang berpengalaman mengelola sekolah bertaraf internasional mencoba "memengaruhi" para guru untuk menerima model sekolah alam. Awalnya tak mudah untuk menerima gagasan pendidikan baru yang tidak "lazim" ini, apalagi guru harus bisa mentransfer ilmu dengan memanfaatkan alam sekitarnya.
Ketika Sekolah Alam Ciganjur dibuka, masyarakat sekitar yang ditawari sekolah gratis saja menolak. Siswa yang mau mendaftar hanya ssatu, itu pun anak preman. "Mereka bilang ini sekolah atau tempat main? Persepsi orang di kampung sekalipun, sekolah itu harus ada gedungnya," cerita Lendo.
Sekolah alam pada 2002 mewakili Indonesia dalam program Kid Smart IBM World Program. Ini program pengenalan teknologi informasi untuk pendidikan dasar di 65 negara. Lendo mendapat penghargaan Ashoka Fellowship untuk kreativitas dan kepemimpinan entrepreneurship dan komitmen pada perubahan masyarakat tahun 2003-2006. Salah satu penerima penghargaan itu adalah Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan.

Berbagi ilmu

Model sekolah alam bisa menjadi lahan bisnis baru pendidikan. namun, tidak bagi Lendo yang menginginkan pendidikan terbuka bagi semua anak, kaya dan miskin, pintar, dan bodoh, anak baik maupun anak nakal.
Lewat Green Education yang didirikan tahun 2004, Lendo dan Loula semakin gencar mengenalkan skolah alam ke berbagai daerah. 'Siapa pun yang mau mengadopsi model sekolah alam, silahkan. Kami tak menetapkan fee. Saya tidak mau mengurus hak patennya sebab ilmu itu dari Yang di Atas. Kita tak punya hak untuk mengapling-ngapling," ujarnya.
Dia senang jika gagasan sekolah alam yang terinspirasi saat perenungan di penjara itu bisa diterima masyarakat. Padahal, dulu, idenya adalah membuat sekolah dengan kelas saung dan membiarkan anak belajar di sawah untuk menanam padi atau mengejar kodok itu ditertawakan banyak pihak.
Namun, gagasan Lendo terus bergullir. Sebagai lenjutan sekolah alam yang mellayani anak usia taman bermain hingga SD, ia mendirikan School of Universe. Layanan pendidikan non formal jenjang SMP-SMA ini memberikan wawasan bisnis dan menyiapkan siswa menjadi entrepreneur. Di sini bioteknologi diutamakan.
Awalnya, hanya satu siswa yang mau belajar di sini. Namun, kini sudah berkembang menjadi 170 siswa. Para guru juga harus bisa berbisnis. Kelulusan anak dinilai jika mereka mampu membuat bisnis mereka mejadi berjalan.
Tahun ini Lendo menyiapkan perguruan tinggi, Maestro School of Entrepreneurship. Kuliahnya tak dibatasi dinding kampus, tetapi langsung dalam masyarakat. bahkan, mahasiswa S-1 ddan S-2 yang mau kuliah di sini langsung belajar dari sang ahli atau maestro, bukan dosen. Pertemuan dengan dosen di ruang kuliah hanya untuk mendiskusikan pengalaman mereka. "Para mahasiswa itu disiapkan jadi pengusaha."

Trauma

Bagi dia, pendidikan mesti menghargai dan menerima keunikan tiap anak. Lendo kecil yang hiperaktif sempat trauma dengan sekolah. Dia sering dihukum karena dinilai guru sebagai anak nakal.
"Sekolah umum enggak bisa memfasilitasi orang seperti saya. Sejak itu saya bermimpi membuat sekolah agar orang seperti saya bisa menikmati belajar. Sekolah alam bisa melakukan itu. Kami juga mensyaratkan, sekolah menerima anak tak mampu dengan memberi beasiswa," kata Lendo yang besar dalam keluarga pendidik.
Lendo ingin terus berkecimpung di dunia pendidikan. Ia prihatin pada nilai-nilai dalam masyarakat yang menghargai seseorang dari gelar, kedudukan, kepandaian, atau materi yang dimiliki. Kesadaran itu muncul saat dia diinterogasi penyidik semasa dibui.
Dia dimaki dan dipukul aparat keamanan sebab berani melawan pejabat negara yang bergelar profesor dan dinilai pandai. "Kamu itu baru S-2 saja sudah berani melawan pemerintah," ujar Lendo mengulang ucapan petugas.
Namun, dia tak tinggal diam. "Saya tahu orang yang pantas dihormati. Buat saya, selama menteri itu korup dia tak pantas dihormati," jawabnya kepada sang petugas.
Di negara ini, penghormatan kepada seseorang tidak karena orang itu jujur, suka menolong atau berbakti. "Saya bersyukur, di penjara itu Tuhan menuntun saya untuk kembali ke jalan benar, lewat pendidikan," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 19 MEI 2009

Santana : "Kita Semua Anak-anak Terang"


CARLOS SANTANA

Nama : Carlos Augusto Alves Santana
Lahir : Autlan de Navarro, Jalisco, Meksiko, 20 Juli 1947
Diskografi :
- Santana, 1969
- Abraxas, 1970
- Santana III, 1971
- Caravanserai, 1972
- Welcome, 1973
- Borboleta, 1974
- Amigos, 1976
- Festival, 1977
- Marathon, 1979
- Zebop, 1981
- Shango, 1982
- Beyond Appearances, 1985
- Freedom, 1987
- Spirit Dancing in the Flesh, 1990
- Milagro, 1992
- Supernatural, 1999
- Shaman, 2002
- All That I Am, 2005
- Guitar Heaven, 2010

"When the power of love replace the love of power: peace - Ketika kekuatan cinta menggantikan cinta akan kekuasaan: itulah perdamaian," kata gitaris Carlos Santana (63) dalam wawancara dengan "Kompas", Rabu (16/2)pagi.

OLEH FRANS SARTONO

Carlos Santana bagi sementara orang adalah "Black Magic Woman," "Oye Como Va", atau "Samba Pati". Itulah lagu-lagu yang memopulerkan Santana di Indonesia pada awal 1970-an. Dan terbukti, Santana melintas zaman.Menjelang akhir era 1990-an, gitar Santana meramaikan blantika musik dunia lewat lagu "Smooth" yang dibawakan vokal Rob Thomas, serta "Maria Maria". Keduanya dari album Supernatural yang memborong sembilan penghargaan Grammy- delapan di antaranya untuk Santana. Album itu terjual 15 juta kopi.
Itulah bagian dari jejak Santana di jagat musik. Akan tetapi, bagi Santana, musik bukan sekadar urusan angka penjualan atau penghargaan Grammy. Musik memang harus membuat orang bahagia, berjingkrak-jingkrak. Namun, dengan bermain musik, Santana ingin mendapatkan makna yang lebih dalam.
"Bermain musik itu sebuah kesempatan untuk menyentuh hati manusia dan mengingatkan mereka bahwa hidup itu bisa indah. Bahwa hidup adalah kemungkinan-kemungkinan yang indah," kata Santana yang bertelepon dengan Kompas dari New York, Amerika Serikat.
"Maka, kami bermain musik untuk mengangkat semangat hidup. Musik itu mempunyai kekuatan menyembuhkan orang dari rasa takut. Musik itu semangat yang indah," kata Santana yang namanya mulai melambung ketika tampil di Festival Woodstock, New York, 15-18 Agustus 1969.
Santana masih dilingkupi harapan yang ditiupkan generasi Woodstock. Kaum muda, termasuk para seniman musik saat itu, mengekspresikan keresahan dan pemberontakan mereka dengan alternatif kehidupan yang lebih baik.
"Harapan kami sama dengan kaum muda era 1960-an, bahwa suatu hari akan datang kedamaian menyeluruh di seluruh planet. bahwa suatu hari akan ada lebih banyak sukacita daripada kesedihan. Prinsip-prinsip the sixties itu masih hidup," kata Santana.

Cinta dan rasa takut

Dengan semangat itulah Santana akan datang ke Jakarta.Ia akan tampil pada ajang Jakarta International Java Jazz Festival 2011 yang digelar tanggal 4-6 Maret mendatang. Ia direncanakan tampil pada 4 dan 5 Maret.
"Saya percaya musik mempunyai kekuatan membawa manusia untuk merayakan persatuan dan harmoni hidup," kata Santana dengan suara yang berat, tenang.
Kesadaran akan pentingnya harmoni kehidupan itu perlu dibangkitkan terus menerus karena manusia kadang menciptakan sekat-sekat. Musik menjadi pengingat akan hal itu.
"Kadang manusia menciptakan pagar dan batas karena rasa takut. Musik mengingatkan kita akan cinta. Bukankah hanya ada dua hal di planet ini: cinta dan rasa takut," kata Santana, tetap dengan cara bicara yang santun dan teduh.
"Amat sangatlah mahal membuat pertahanan, melindungi dan menyerang. Akan lebih baik jika kita membuka tangan lebar-lebar, berbagi makanan atau tempat berteduh, atau juga senyuman. Love is free, but fear is expensive -cinta itu bebas, tapi ketakutan itu mahal."
Santana tidak hanya berbicara. Ia mewujudkan omongan itu dengan usaha-usaha karitatif, antara lain dengan mendirikan Milagro Foundation pada 1998. Ini merupakan yayasan untuk membantu anak-anak tak mampu dalam bidang pendidikan, kesehatan dan seni.
Pada sampul album terbarunya, Santana: Guitar Heaven, gitaris itu mencantumkan maklumat tentang yayasan Milagro, yang artinya miracle, keajaiban. Sebagian dari hasil penjualan album, tiket konser, dan segala produk dengan lisensi Santana akan disumbangkan untuk anak-anak.
"Berinvestasi pendidikan yang baik dan makanan yang baik pada anak-anak adalah lebih dari segalanya," katanya saat menjawab pertanyaan tentang misi Milagro Foundation.
"Karena semakin baik anak-anak mendapat pendidikan, ketika mereka tumbuh besar nanti, mereka akan menjadi orang yang penuh welas asih (compassion). Mereka tidak akan menjadi orang brutal, dan mereka tidak hidup dengan kekerasan," kata Santana yang mengaku mendapat banyak inspirasi dari para bijak, mulai dari Mahatma Gandhi sampai Ibu Teresa.

Anak-anak terang

Santana akan datang ke Indonesia untuk kedua kalinya setelah berkonser di Jakarta pada 9 Mei 1996. Kali ini tampil di Java Jazz bersamaan dengan "Santana Guitar Heaven World Tour 2011", menyusul rilis album GuitarHeaven: The Greatest Guitar Classic of All Time terbitan Arista, 2010.
Pada album tersebut Santana membawakan lagu-lagu yang pernah kondang. Sebagian besar lagu lahirdari tangan-tangan gitaris. Ia, misalnya, membawakan "Smoke in the water" milik Deep Purple. Lagu tersebut dimainkan Santana dengan tetap menggunakan riff gitar seperti yang pernah ditorehkan gitaris Ritchie Blackmorre, gitaris Deep Purple.
"Kami menghormati versi orisinal, tetapi kami juga memainkannya dengan cara berbeda," kata Santana tentang "Smoke on the Water" yang melibatkan suara Jacoby Shaddix, vokalis band rock Papa Roach.
Santana juga memilih "Whole Lotta Love" dari Led Zeppelin, "While My Guitar Gently Weeps" nya Beatles, sampai "Can't You Hear Me Knocking" dari Rolling Stones. "Itu semua lagu-lagu bagus dan funky. Ini kesempatan kami membawanya ke tempat dan suasana yang berbeda," kata Santana tentang pilihan lagu-lagu dalam album terbarunya.
Meski memainkan lagu "milik" orang lain, paraf atau torehan personal Santana tetap terasa pada gitarnya. Apa yang keluar dari gitar bagi Santana bukan bunyi instrumen berdawai, tapi suara, voice, dari hati. "Saya main dari hati, untuk hati," katanya.
Nama Santana sudah beberapa kali disebut penyelenggara Java Jazz sebagai calon penampil. namun, baru tahun ini Santana akan datang. Mengapa akhirnya Anda memutuskan datang juga ke Indonesia?
"Saya kira ini saat yang baik karena kami membawa musik, inspirasi, dan warna musik baru. Selain itu, ini merupakan saat yang tepat untuk berbagi pesan universal bahwa kita semua adalah anak-anak terang (children of light)."

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 17 FEBRUARI 2011

Selasa, 15 Februari 2011

Kasim Ghozali : Duta Khusus RI di Shanghai


KASIM GHOZALI

Lahir : Medan, 20 April 1963
Istri : Henny Kusmin
Anak : Stephanie Ghozali (21), Michelle Ghozali (16)
Pendidikan :
- University of San Fransisco, faculty of Marketing and Business Management & Printing
Management
Pengalaman Kerja :
- Direktur Printing and Packaging Company-PT Printec & PT Grafitec (Indonesia)
- Direktur Foshan Sansico Printing And Packaging Co. Ltd (China)
- Direktur Made In Indonesia Culture Store - Shanghai
- Direktur International Trading Company- PT Sansico Natura Resources (Indonesia)
- Direktur PT Emax (Apple Premium Reseller)

Dia adalah pengusaha swasta. namun, apa yang dilakukan di Shanghai, Republik Rakyat China, membuat orang tidak lagi melihatnya sebagai orang swasta, tetapi perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di Shanghai.

OLEH : M CLARA WRESTI

Setiap dua bulan sekali, toko Made In Indonesia yag terletak di Shanghai Bay, Pudong Selatan, Shanghai, berubah menjadi tempat bertemunya warga Indonesia dengan perwakilan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia. Di toko milik Kasim Ghozali (47) itu, semua unek-unek yang menjadi beban warga Indonesia ditumpahkan.
Ada yang mengadu soal sulitnya mengurus hak waris dari almarhum suaminya yang berkewarganegaraan China. Ada juga yang mengeluh tentang pengurusan hak asuh anak, perceraian, atau sekadar perpanjangan paspor.
"Kami ini swasta. tetapi warga Indonesia yang ada di Shanghai dan sekitarnya tahunya kami ini wakil pemerintah. Jika mereka ada masalah, pasti datang kesini," kata Kasim yang ditemui di Shanghai, pertengahan Januari lalu.
Toko Made In Indonesia sekilas seperti galeri budaya Indonesia. Di sana terpajang kain-kain tradisional asal Indonesia, kerajinan tangan, lukisan, dan interior bergaya Bali. Di depan toko terpampang papan promisi yang menceritakan kopi luwak dan kopi toraja yang ditulis dengan bahasa Inggris dan Mandarin.
Setiap tamu yang masuk ke dalam toko itu perhatiannya pasti langsung tertuju pada satu set angklung besar yang terletak di tengah toko. Angklung tersebut berbeda dengan angklung biasa. Angklung itu bisa berbunyi sendiri, tanpa ada orang yang memainkannya.
Rupanya, angklung tersebut telah disambungkan dengan program komputer sehingga bisa mengumandangkan lagu-lagu Indonesia. Kasim bisa membuat angklung digital itu karena mempunyai hubungan yang baik dengan Apple Inc, perusahaan komputer terkemuka di dunia.
Istimewa karena, selain di Toko Made In Indonesia, angklung itu hanya ada di KBRI di Beijing dan Musical Instrument Museum di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat.
Menurut Kasim, angklung sengaja dipilih untuk dipamerkan di China karena alat musik itu terbuat dari dari bambu yang sangat dikenal masyarakat China.
"Tujuan utama saya adalah mengenalkan Indonesia kepada dunia. Tetapi, agar mudah diterima, saya harus mencari cara yang mudah diserap atau sudah dikenal masyarakat tujuan. Tamu-tamu China yang datang ke sini sangat kagum. Mereka baru tahu bambu bisa jadi alat musik selain suling," kata Kasim yang bisnis utamanya adalah percetakan dan pengemasan.
Membuat angklung digital itu adalah satu bentuk pengemasan yang unik terhadap budaya Indonesia. Keinginan pria yang murah senyum ini untuk mempromosikan Indonesia sudah tumbuh sejak dia duduk di bangku sekolah. Kasim yang menuntut ilmu di Singapura dan AS penasaran mengapa orang asing lebih kenal Thailand dan bahkan Vietnam daripada Indonesia. Dari penelusurannya, dia menemukan jawaban, bahwa negara-negara lain lebih terkenal karena banyak warganya yang pergi ke luar negeri. Mereka tidak sekadar berkunjung, tetapi juga menetap. Ketiak itulah mereka membawa budaya negaranya untuk dikenalkan kelingkungan sekitar.
Contoh yang paling nyata adalah makanan. Di tempat baru mereka mulai menjalin hubungan dengan warga setempat, lalu mengundang teman-temannya untuk mencicipi makanan tradisional mereka, akhirnya menumbuhkan ide untuk membuka restoran. "Ini baru makanan, belum tradisi yang lain. Makanya, semakin banyak yang keluar negeri, budaya negara itu makin dikenal warga dunia," jelas pria yang berpembawaan santun dan kalem ini.

Toko budaya

Di Toko Made In Indonesia yang dibuka sejak tahun 2008, Kasim juga mmembuka restoran yang menyediakan menu-menu tradisional Indonesia. Ada gado-gado, rawon, ayam penyet, soto, dan lainnya. Di bagian luar toko diletakkan sebuah meja pajang kaca yang di dalamnya berisi penganan khas Indonesia, seperti dadar gulung, kue lapis, dan lemper.
Kasim memang tidak menangani toko itu setiap hari. Toko tersebut dikelola John Suhardjo yang masih ada hubungan kerabat dengannya.
Kasim sadar toko budaya miliknya tidak akan menghasilkan keuntungan dari segi materi. Apalagi letaknya boleh dibilang kurang strategis. Namun, dia tetap telaten mengurus toko itu karena yang diinginkannya ssemata-mata mempromosikan budaya Indonesia sambil melayani warga Indonesia di Shanghai.
Beberapa kali toko tersebut juga menjadi tempat bertemu para pebisnis Indonesia dengan pebisnis China atau pebisnis dari negara lain. Kasim berencana mencari tempat yang lebih strategis agar tokonya lebih dikenal dan mudah dicapai banyak orang.
Setiap bulan Kasim datang ke Shanghai mengantar semua kebutuhan toko. Setiap kali ke China dia membawa dua koper besar, satu koper kecil, dan satu tas kerja. Dua koper besar berisi segala kebutuhan toko seperti kain, bumbu pecel, kerupuk, keluwek, bumbu dapur, dan lainnya.
"Saya tidak pernah banyak membawa kebutuhan pribadi. Jadi, koper-koper itu isinya keperluan toko semua. Lalu pulangnya saya sering membeli contoh-contoh kemasan yang saya temui di jalan," ujarnya.
Kasim meneruskan usaha percetakan dan pengemasan yang sudah berjalan selama tiga generasi. Dia menangani PT Princedan PT Grafitec bersama dua adik laki-lakinya, Rudy Ghozali dan Eddy Margo Ghozali. Kasim bertanggung jawab pada perusahaan yang di Indonesia, sedangkan Eddy mengelola teknologi informasi sekaligus membuat dan mengelola basis data untuk kepentingan perusahaan.
Tiga saudara yang sangat berkemampuan itu membuat perusahaan keluarga berkembang baik hingga ke China selama 13 tahun. Produk mereka diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat, serta telah membukukan hasil penjualan 100 juta dollar AS.
Melihat bisnisnya yang berkembang baik di China dan ketidakadilan yang sering dialami etnis Tionghoa di Indonesia, ternyata tidak membuat Kasim beralih dari Indonesia.

dikutip dari KOMPAS, RABU, 16 FEBRUARI 2011

Minggu, 13 Februari 2011

Dalyono : Dari Tukang Parkir Menjadi Wirausaha


Dalyono (30) bikin terhenyak peserta diskusi terbatas kewiraswastaan di Balai Soedjatmoko, Solo, Jawa Tengah, akhir 2010. Ia berangkat menjadi wirasawasta dari serba nol: nol modal, nol koneksi, dan nol keterampilan. Tiga tahun setelah jatuh-bangun, usahanya, mebel batik Mataram Furniture, pun berkembang.

OLEH ST SULARTO

"Saya berasal dari keluarga miskin di Desa Kalimundu, Gadingharjo, Bantul, DI Yogyakarta. Ayah saya petani, yutun, tak berpendidikan, tak punya sawah, hanya mengandalkan suruhan orang. Saya tahu mengapa orang tua saya miskin. Mohon maaf karena bodoh."
Kondisi itu menguatkan tekad anak sulung dari dua bersaudara ini. "Saya harus belajar, tak boleh lelah belajar." Namun, belajar tanpa biaya? "Ah itu omong kosong."
Jadilah anak pasangan Ngadiman-Boniyem ini sejak SMP belajar berjualan apa saja. Ketika melanjutkan sekolah di SMA 17 Bantul, ia juga berjualan ayam. Ia bekerja sambil belajar, sebab waktu belajar lebih sedikit dari jam kerjanya.
Awalnya, Dalyono tak tahu, itulah inti kewirausahaan, kiat dan keterampilan yang kemudian dibicarakan orang terpelajar belakangan ini. "Tidak mungkin saya menjadi mahasiswa, biaya tak ada. Begitu lulus SMA, saya ke Jakarta. Saya pikir, jadi orang sukses harus ke Jakarta," kata pria yang ke Jakarta berbekal beras 25 kilogram dan sedikit uang. Ia berjualan ayam di Ibu Kota.
Uangnya habis dalam seminggu. tak ada tumpangan, ia tidur di kolong jembatan di kawasan penjaringan. Untuk makan sehari-hari, ia menjadi tukang parkir. Ia hidup terlunta-lunta di Jakarta sekitar tujuh bulan.
Dalyono sempat sakit, tetapi ia menolak kembali ke Yogyakarta. Alasannya, malu karena belum bisa mengirim uang ke kampung.
Ia memang tak dibawa ke Bantul, tetapi dimasukkan ke Panti Sosial Bina Remaja di Sleman. Hampir setahun di panti, ia lalu dipekerjakan di bagian menggambar Summer Gallery, perusahaan furnitur.

Berpindah-pindah

Oleh sang bos, Dalyono dianggap tak bisa menggambar. Dia lalu pindah bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain selama kurun waktu lima tahun.
Meski berpindah-pindah tempat kerja, ia tetap bekerja di perusahaan yang lingkup usahanya furnitur. "Diberbagai perusahaan itu saya dilatih disiplin, minat belajar pun tumbuh lagi," katanya.
Dia lalu bertekad memiliki perusahaan furnitur. Usaha furnitur dirintisnya dan sedikit demi sedikit berkembang. bahkan, perusahaannya juga menjadi ssalah satu pemasok perusahaan yang dahulu bosnya menganggap Dalyono tak bisa menggambar.
Suatu saat ia bertemu Ir Ciputra, pengusaha yang punya obsesi kewirauahaan sebagai kunci kemajuan bangsa. Ketika itu Dalyono menjadi juara pemberdayaan masyarakat karena 25 pemuda yang dibinanya lewat usaha mebel Mataram Furnitur. Mereka adalah teman-teman di desanya, Kalimundu.
Awalnya agak sulit karena umumnya mereka tak berlatar belakang tukang kayu. Berkat usaha kerasnya, Dalyono pun terpilih sebagai pemuda pelopor tingkat nasional. Ia dinilai ikut serta memberdayakan masyarakat miskin.
Bupati Bantul (waktu itu) Idham Samawi lalu membiayai Dalyono untuk ikut kursus manajemen pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) leewat kerjasama dengan lembaga pendidikan Ciputra dan UGM. "Saya belajar langsung bagaimana mengubah 'sampah' menjadi 'emas'," katanya.
Selepas kursus kewirausahaan di UGM, Dalyono mengembangkan inovasi produk. Akhir Mei 2006, ia menemukan inovasi mebel batik. Dengan itu, ia bisa mengikuti pameran sampai ke luar negeri.
Semua keberhasilan itu membuat Dalyono berpikir agar hidupnya juga bermanfaat bagi orang lain. Maka, selain mengusahakan mebel batik yang mempekerjakan 160 orang di berbgai kaota sebagai pemasok mebelnya (antara lain Jepara, Temanggung, dan Sukoharjo), ia bekerja sama dengan Universitas Ciputra Entrepreneurship di jakarta mengusahakan lima lembaga kursus dan pelatihan.
Usaha itu kemudian berkembang lagi dengan satu lembaga keuangan mikro. Lembaganya pun mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp.250 juta, selain bantuan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Konsumsi ekspor

Kantornya menempati enam ruang SD Inpres yang ditutup karena tak ada murid. Sejak tiga tahun lalu Dalyono menyewa tempat itu Rp. 200.000 per tahun. Ongkos sewa itu tahun depan bakal naik menjadi Rp.3,5 juta.
Ruang-ruang kelas diaturnya sedemikian rupa hingga layak menjadi kantor sampai ruang untuk membuat desain batik dengan sejumlah karyawan binaan mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Pembeli produk mebel batiknya umumnya orang asing. Ia memanfaatkan promosi dari mulut ke mulut lewat pemandu wisata. "Saya punya beberapa teman tour guide. Mereka yang memperkenalkan produk saya kepada para tamu asing, selain lewat pameran," kata Dalyono yang kerap mengikuti berbagai pameran di Jakarta.
Produk mebel batiknya diekspor ke berbagai negara, seperti Perancis, Belanda, dan India. Setiap bulan ia mengekspor sekitar dua kontainer. Omzetnya per bulan sekitar Rp.700 juta.
Dengan mempekerjakan 20 orang di bengkelnya, Dalyono memberi upah sekitar Rp.25.000 - Rp.30.000 per hari per pekerja. "Itu bukan jumlah yang besar, tapi yang penting bermanfaat bagi orang lain," ucap Dalyono yang juga mengusahakan pernik-pernik, seperti alas kaki sampai gelang kayu yang hari itu diborong konsumen India.
Tak muluk-muluk menafsirkan konsep kewirausahaan, Dalyono berkeyakinan kewirausahaan bukan pengetahuan, tetapi praktik. "Saya belajar terus sambil terus bekerja juga."
Karena itulah, dia juga kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, selain belajar bahasa Mandarin, Inggris, dan Perancis lewat kursus.
Bagaimanapun ia senang karena adiknya, Purwanto (21), tak seperti dia. Selulus SMA sang adik bisa bekerja di perusahaan minyak di Riau. Ngadiman, sang ayah pun bangga pada pencapaian Dalyono yang dianggapnya mampu "mengangkat" keluarga.
Berkembangnya usaha mebel yang dirintis, membuat Dalyono semakin yakin bahwa jiwa kewirausahaan memang bisa dibentuk lewat pendidikan di sekolah. Namun, tambahnya, yang kemudian lebih berperan adalah pengalaman, kemauan seseorang berusaha keras, dan disiplin diri.
"Jiwa wirausaha itu terbentuk lewat kemauan keras untuk terus belajar dan senantiasa jeli melihat peluang,"ujar pria kelahiran 20 Juni 1980 yang telah membuktikan bahwa sebuah usaha bisa tercipta dengan kemauan belajar, meski seseorang memulai semuanya dari nol: nol modal, nol relasi, nol pendidikan, dan nol keterampilan.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 14 FEBRUARI 2011