Kamis, 25 Agustus 2011

Saein: Pertanian Ramah Lingkungan dari Purbalingga


SAEIN

Lahir : Purbalingga, Jawa Tengah, 27 Juni 1970
Pendidikan : S-1 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Istri : Sri Lestari (35)
Anak :
- Mufidhatul Qoiriyah (5)
- Arifah Misna Sofiani (2,5)
Kegiatan :
- Penggiat Kelompok Tani Gemah Ripah Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja,
Purbalingga
- Penggiat Kelompok Tani Sida Muncul Desa Penaruban, Kecamatan Kaligondang,
Purbalingga
- Tenaga penyuluh lepas/kontrak Dinas Peternakan Kabupaten Purbalingga
Penghargaan :
- Cipta Lestari Kehati dari Yayasan Kehati sebagai Inovator Pertanian Ramah
Lingkungan, 2009
- Liputan 6 Award kategori Inovasi Teknologi Pertanian, 2011

Suatu riset tak akan bermanfaat jika berkutat dalam dimensi yang tersekat dari masyarakat. Berbekal prinsip inilah Saein "memindahkan" laboratoriumnya ke tengah sawah dan memilih bergumul di tengah keseharian petani yang butuh solusi konkret.

OLEH GREGORIUS MAGNUS FINESSO

Saein pria asal Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah, ini tak sekadar bicara. Menyandang gelar sarjana Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), rutinitas sebagai peneliti di laboratorium dilakoninya saat menjadi anggota staf pada Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat, 1995.
"Kala itu saya bertanya kepada diri sendiri, apakah yang saya teliti ini akan membawa perubahan bagi masyarakat? Ketika melihat fakta jutaan petani semakin resah dengan kehidupan yang tak kunjung membaik, saya merasa laboratorium bukanlah tempat saya," katanya.
Ia lalu mengundurkan diri sebagai peneliti.Sempat membantu beberapa riset pertanian Lembaga Pengendalian Hama Terpadu (PHT) IPB di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dan Brebes, Jawa Tengah, pada 1996-1998, Saein kembali ke kampung halaman pada 1999. Ia bertani dan mendedikasikan ilmunya kepada petani di Purbalingga.
Lahir dari orangtua yang juga petani, Saein merasa resah melihat kesejahteraan sesamanya tak jua terjamin. Dari pengalaman bergaul dan berorganisasi alam berbagai kelompok tani, ia temukan jawabnya.
"Petani Indonesia terkurung dalam kesenjangan teknologi, yang akhirnya dikomersialisasi oleh segelintir pemodal guna mengeruk keuntungan," katanya.
Berbekal teori di bangku kuliah, pengalaman menjadi peneliti dan riset lapangan, Saein mulai melakukan hal-hal sederhana. Ia membagikan ilmunya dengan mengembangkan pertanian ramah lingkungan. Lewat Kelompok Tani Gemah Ripah Desa Bukateja, ia mengajak petani mulai mengurangi penggunaan bahan kimia.
Mereka memanfaatkan mikroba akar bambu yang diolah sedemikian rupa dengan bekatul, gula, nira, terasi, dan kapur sirih menjadi pupuk hayati yang bermanfaat memacu pertumbuhan tanaman dan mencegah penyakit.
Untuk mengatasi hama penyakit, Saein mengajari petani cara alamiah dengan pestisida nabati, yakni memanfaatkan umbi gadung, kulit kayu semboja (kemboja), tembakau, biji dan daun mimba, biji sirsak, akar tuba, buah kecubung, bunga krisan, bratawali, sambilata, buah maja, cuka, arang sekam, abu, serta kapur. Semua bahan itu dihaluskan, dicampur air dengan persentasi tertentu, lalu disemprotkan ke tanaman.
"Lingkungan adalah laboratorium terbesar. Semua sudah ada fungsinya masing-masing. Saya hanya mengajak petani di sekitar saya supaya menghargai alam, demi mereka juga," tutur saein dengan dialek Banyumasan.
Serupa dokter, dia pun membuka layanan konsultasi gratis terkait sisetm pengolahan padi yang tepat guna.
Saein mengistilahkan layanannya itu "klinik tanaman". Umumnya petani bertanya tentang pemilihan benih, dosis pupuk yang tepat, serta seputar kesehatan tanaman dan lingkungan pertanian.
Dari kiprahnya itu ia dianugerahi Kehati Award dari Yayasan Kehati. Saein dinilai telah berupaya mendukung pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia.
Perjuangan Saein tak selalu mulus. Awalnya ia dicibir sejumlah petani yang menilai pola pertanian yang diperkenalkannya merepotkan.
"Ini salah satu kelemahan petani Indonesia. Mereka sulit menerima perubahan, bahkan perubahan yang akan memajukan mereka," kata Saein yang sejak 2007 menjadi tenaga lepas penyuluh pertanian di Purbalingga.

Benih mutiara

Saein juga menawarkan solusi nyata dengan mengembangkan benih unggul. Ia membuat demplot untuk riset berukuran sekitar 280 meter persegi di sawah seluas 0,8 hektar milik orangtuanya. ia mencoba menyilangkan varietas Pandan Wangi dan padi Wulung.
Dari varietas Pandan Wangi, ia mengambil kelebihan rasa dan aromanya, sedangkan padi Wulung dipilih karena tahan terhadap hama kresek atau hama daun bakteri. Hasil persilangan yang proses penelitiannya memakan waktu 1,5 tahun ini membuahkan benih yang dinamakan "Mutiara".
Nama Nutiara dipilih karena bentuk berasnya bulat lonjong dan mengkilat. Varietas temuan Saein ini memiliki sejumlah keunggulan, terutama menghemat pupuk majemuk hingga 50 persen. Cara menyilangkan benih ini pun dia tularkan kepada sesama petani.
Produktivitas dan rendemen varietas Mutiara tergolong tinggi. Hasil panen 1 hektar sawah antara 6,7 ton dan 8,4 ton. sedangkan 1 kuintal varietas Mutiara bisa menghasilkan 65-67 kilogram beras. Ia juga tengah menyempurnakan temuannya itu agar tahan hama wereng. Padahal dari data Dinas Pertanian Purbalingga, rata-rata produktivitas padi di daerah itu 5-6,5 ton per hektar.
Sayangnya, varietas Mutiara belum bersertifikat. Saein mengakui, biaya dan birokrasi menjadi kendala pengurusan sertifikat benih padi temuannya itu.

Penyuluh lepas

Saein juga diminta menjadi tenaga lepas penyuluh pertanian. Pekerjaan itu memungkinkan dia memperluas penyebaran pola pertanian teknologi ramah lingkungan. Tak hanya memberi pembekalan kepada penyuluh pemula, ia juga kerap diminta berbagi pengalaman hingga ke luar daerah, seperti Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Sekitar 10 tahun berkarya, tak kurang dari 800 petani di Desa Bukateja dan sekitarnya menikmati hasil karya Saein. Selain produktivitas padi meningkat, cara bertanam yang ramah lingkungan juga membuat kesuburan sawah terlindungi.
"Saya tak muluk-muluk. Cukup berawal dari kelompok tani saya, lalu kelompok tani desa tetangga, dan seterusnya. Semoga nantinya bisa membawa perubahan di Purbalingga," tuturnya.
Petani intelek ini setiap hari bolak-balik dengan sepeda onthel sejauh 30 kilometer dari rumah istrinya di Desa Penaruban ke Desa Bukateja. Dia mengamalkan ilmunya sebagai ibadah.
Sementara para pengambil kebijakan sibuk menyeret persoalan tanaman pangan menjadi komoditas politik, di pelosok Purbalingga, Saein terus bertani, meneliti, dan membagi ilmunya dalam karya nyata. Cita-citanya, petani mampu berdaulat atas produk yang dihasilkan tanpa bergantung kepada siapa pun.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 26 AGUSTUS 2011

Rabu, 24 Agustus 2011

Atitje, Relawan Kain Tradisional


BIODATA

Nama : Sativa Sutan Aswar
Lahir : Jakarta, 19 Oktober 1956
Suami : Arif Arryman
Anak : Puti Adla, Adhia, Puti Anasha
Pendidikan :
- Doktor bidang Sejarah dan Kebudayaan di Ecole Des Hautes Etudes en Science
Sociales (EHESS), Paris, Perancis
- Sarjana Seni Rupa Jurusan Desain Tekstil ITB
Pengalaman kerja :
- 2006-kini: Konsultan pengembangan kain di Sumatera Barat, Bali, Sambas, Nusa
Tenggara Barat, dan Lampung
- 1985-1989: Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti, Jakarta
Organisasi :
- 2005-2006: Ketua Bidang Program dan Pameran Dewan Kerajinan Nasional
- 2002-kini: Pengurus pada Yayasan Wastraprema untuk penelitian dan
pengembangan dan Bidang Pendidikan Yayasan Ratna Busana
Pencapaian :
- Juni 2008: Konseptor dan inisiator pendirian Sekolah Tenun di Pandai Sikek, Sumatera Barat. Menulis dalam buku "Panggung Sejarah", Penerbit Ecole Francaise Extrame Oriente (2000) dan "Antakesuma Suji dalam Adat Minangkabau", Penerbit Djambatan (1999)

Berbicara dengan Atitje, begitu Sativa Sutan Aswar dipanggil, bagaikan bertemu "manusia langka". Bukan hanya karena dia banyak bergelut dengan kain tradisional yang kian langka. Pemikirannya "nyeleneh". Kegiatannya pun tak biasa. Dia membina perajin kain dengan dana pribadi.

Oleh EDNA C PATTISINA

Sejak tahun 1998 Atitje membina perajin kain tradisional di Sumatera Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Jambi. Total, 200 perajin yang dia bina. "Apa yang disebut membina itu proses belajar sekitar 3-6 tahun. Bukan hanya kita datang sekali, bawa rancangan, mereka bikin, terus kita pergi," katanya.
Di Jambi, misalnya, Atitje mulai dari dasar. tahun 1999 ia diminta Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin meriset sejarah kebudayaan Sumatera melalui SUngai Batanghari. Pemegang gelar doktor sejarah dan kebudayaan dari Ecole Des Hautes Etudes en Science Sociales (EHESS), Paris, Perancis, ini mengatakan salah satu hasil penelitiannya, kain tak lepas dari budaya di selatan Sumatera.
Kain adalah bagian penting dari adat. Kain digunakan dalam berbagai acara tradisi dan kebutuhan sehari-hari. "Kepala itu sakral, kita punya tutup kepala asli dari Jambi," katanya.
Mulai 2002 Atitje mentransfer ilmunya kepada perajin, mulai dari berbagai motif, komposisi warna, mewarnai benang hingga ragam hias. Ada sekitar sembilan kabupaten di Provinsi Jambi yang sering dia datangi untuk mengajar, di antaranya adalah Bungo, Sorolangun, dan Merangin.
"Saya hanya mempersiapkan mereka menghadapi kebutuhan pasar," katanya.
Pada saat itu istri Gubernur Jambi, Ratu Munawaroh, tengah menyosialisasikan penggunaan kembali kain tradisional. Atitje membuat kerajinan tradisional menjadi industri yang punya keberlanjutan pasar. Misalnya, ia mengajari membuat songket dengan ahrga lebih terjangkau, menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) berbahan baku poliester.
"Biar bahan baku murah, yang penting komposisi, motif, dan selera desainernya bisa meningkatkan kualitas kain. Disinilah saya jadi relawan," kata lulusan Jurusan Desain Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini.

Dari kantong sendiri

Relawan, begitu Atitje mendefinisikan dirinya. Jangan ditanya soal biaya, semua keluar dari kantong sendiri. ia menolak membeberkan berrapa uang yang dia keluarkan. Namun, dari benang seharga Rp 125.000 untuk bahan baku sehelai kain, biaya operasional seperti transportasi, akomodasi, dan komunikasi hingga uang muka untuk perajin, dia tanggung. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
Bahkan dia pula yang mencarikan bahan baku karena di Jambi sulit mencari benang yang diinginkan.
"Saya enggak tahu berapa uang yang dikeluarkan. Saya enggak mau tahu. daripada saya berhitung-hitung nanti malah sakit hati," katanya.
Ia mengakui, tindakannya selama ini sama sekali tak ekonomis. Bahkan, selalu menggerus uang belanja rumah tangganya. Namun, ia memiliki logika sendiri.
"Saya bilang kepada suami, 'Man (Arif Arryman), daripada beli tas mahal, mending saya minta uang buat perajin, lebih berguna'," katanya.
Pengeluaran tak dia hitung, demikian juga pemasukan. Kain-kain dari perajin ia tampung di gudang rumahnya. aklau ada teman yang berminat, kain itu dia keluarkan dengan imbalan biaya produksi.
"Saya ini pengajar, bukan mau berdagang kain," katanya.

Dukungan ekonomi keluarga

Atitje bisa beraktivitas karena dukungan ekonomi keluarga. Tak sekali suaminya, Arif Arryman,pengamat ekonomi yang menjadi salah satu komisaris independen PT Telkom, geleng-geleng kepala karena aktivitas sang istri menyita uang belanja.
Pasangan ini bertemu semasa mahasiswa ITB, tahun 1978. Rumah kontrakan Atitje, anak pejabat di Angkatan Udara RI, Sutan Aswar Datuk, di Jalan Kitiran, abndung, menjadi salah satu markas aktivis. Arryman adalah salah seorang aktivis mahasiswa.
Kenapa dia mau menjadi relawan bagi perajin kain? "Kain ini cuma alat. Saya sosiolog. Saya ingin menyampaikan kepada banyak orang tentang nilai-nilai hidup yang saya percyai," katanya.
Awalnya Atitje sempat menjadi dosen di Universitas Trisakti dan Institut Kesenian Jakarta. Namun, sebuah pertemuan dengan Prof Widagdo, dosennya di ITB, mengusik hatinya.
"Ngapain kamu jadi dosen? Dosen itu kan karyawan," kata Atitje menirukan ucapan dosen pembimbingnya itu.
Selanjutnya, Atitje ikut sang suami yang studi ke Perancis. Ia ikut melanjutkan pendidikan. Skripsi sarjananya, "Evolusi Industri Tekstil di Sumatera Barat," diajukan ke Dennys Lombard dan mendapat sambutan. Ia meraih gelar doktor dengan tesis tentang evolusi industri tekstil abad ke-16.
Pulang ke Indonesia, ia melihat kain sebagai alat yang bisa menjadi medium untuk menyampaikan "pesan". Di pelatihan, misalnya, saat ia mengajarkan gradasi warna dari merah ke biru yang dibahas bukan hanya masalah warna.
"Saya bilang, 'lihat, enggak ada warna yang sama. Tiap orang punya rezeki dari Tuhan, enggak usah iri-irian'," katanya menyinggung perajin yang tak mau bekerja sama dan berbagi pengetahuan, bahkan saling memfitnah.
Atitje menekankan, kain itu tak sekadar hasil kerajinan tangan. Ada gagasan kebudayaan yang di antaranya terdiri dari aturan adat dan diekspresikan lewat berbagai motif tenun tradisional.
Di Minangkabau,misalnya, motif itik pulang patang atau itik pulang sore, berbentuk huruf S, dan digunakan sebagai batas pinggir horizontal. Dengan metafora bebek yang fleksibel, bisa berjalan di tanah dan berenang di air, motif ini hendak menggambarkan orang Minang yang fleksibel, mampu berdaptasi dan bekerja sama.
"Semua kain adat itu ada ayat-ayat kehidupannya. Itulah yang ingin saya sebarkan karena kita kehilangan nilai-nilai itu," kata Atitje.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 24 JULI 2009

Selasa, 23 Agustus 2011

Fauzi, Berpantun Lewat Ronggeng Melayu


DATA DIRI

Nama : Datuk Ahmad Fauzi (49)
Istri : Sugesti (44)
Anak :
- Faiza Ahmad (19)
- Mawaddah Isna (17)
- Abdullah Halim Hafis (16)
- Fauzan Azima (10)
- Naseha Al Sakina (9)
Pekerjaan :
- Dosen luar biasa Universitas Sumatera Utara, Jurusan Etnomusikologi
- Memimpin kelompok seni Ronggeng Melayu Cempaka Deli
Pencapaian :
- Juara III Lomba Berbalas Pantun se-Sumut, 1984
- Juara II Pantun Tingkat Nasional, 2007
- Juara II Lomba Pantun RRI, 2008
- Juara I Lomba Pantun Kelompok se-Sumut, 2008

Ia bukan satu-satunya pemantun Melayu, tetapi dialah generasi akhir pemantun. Ketika banyak kelompok seni ronggeng Melayu menghilangkan pantun, Datuk Ahmad Fauzi justru terus mempertahankannya.

Oleh ANDY RIZA HIDAYAT

Tradisi seni pantun sudah berkembang di tanah Melayu berbilang abad. Belakangan orang Melayu krisis penerus. Padahal tradisi berpantun masih berkembang di acara adat di perkampungan sampai pemerintahan. Jadi segelintir pemantun yang tersisa kebanjiran permintaan.
Saking jarangnya generasi penerus, pemantun bisa main dari satu grup ronggeng ke grup lain. Tak terkecuali Fauzi, pemantun sekaligus pemain ronggeng Melayu. Ia bermain dengan siapa saja, dari lorong kampung sampai ke luar negeri.
Dia berpantun empat-delapan kali seminggu. Dia tampil dalam merisik (bertanya kepada mempelai lelaki ataupun perempuan dalam dalam pernikahan tradisi Melayu), meminang, dan prosesi acara menyambut pengantin.
Di sejumlah kampung Melayu di Medan, Sumatera Utara, keberadaan telangkai (penghubung kedua pihak) pada pernikahan masih dibutuhkan. Sayang, keinginan masyarakat mempertahankan tradisi berpantun tidak sebanding dengan upaya mencetak pemantun baru.
"Tak banyak orang mengenal seni pantun. Saya khawatir, mereka malah tak kenal seni ronggeng. Saya ingin pantun tetap dikenal," katanya.
tanda krisis generasipemantun sudah terjadi sejak 1980-an. Saat itu salah satu kelompok musik orkes Melayu, Al Wathan, yang dipimpin orangtua Fauzi, Datuk Abdurrahman, bubar. Kelompok musik orkes Melayu yang didirikan pada 1960-an itu sebelumnya menjadi langganan keluarga Kesultanan Deli di Medan.
Keluarganya masih mempunyai satu kelompok seni ronggeng, Ronggeng Melayu Cempaka Deli. Fauzi tak ingin kelompok ini bubar. Kelompok seni ini bertahan sampai kini, bersama empat kelompok seni ronggeng lain di Medan. Merekalah sisa seni ronggeng yang bertahan, setelah belasan lain bubar pada 1980-an.
Dari empat kelompok ronggeng itu, sebagian sudah menghilangkan seni berpantun sebagaimana lazimnya ronggeng. Pantun menjadi bagian awal atau akhir pertunjukkan ronggeng Melayu.

Negara tetangga

Upaya Fauzi mempertahankan pantun Melayu tak berhenti di berbagai kampung di Medan. Ia kerap menghadiri pergelaran seni di negara tetangga, seperti akhir Mei lalu. malam itu ia menyiapkan lawatan ke Malaysia, di sebuah hotel kecil di Jalan Sipiso-piso, Medan. Ia membawa bekal seadanya, yang diangkut becak motor (betor) dari rumahnya di kawasan Marelan.
"Besok kami mau main di Malaysia," ujarnya.
Malam itu semua anggota seni Ronggeng Melayu Cempaka Deli bersiap tampil di "The Festival of Melayu Serumpun Wedding Ceremony". Di sini Fauzi menampilkan seni ronggeng lengkap dengan acara berbalas pantun. Sepekan kemudian ia mengabarkan dapat penghargaan sebagai peserta terbaik.
Misi budayanya berhasil, sesuatu yang sering dia dapatkan sejak tampil di acara serupa mulai 1993. Ia tampil di Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura.
fauzi punya tip memenangi lomba berbalas pantun. "Kuncinya satu, lihat isinya, jangan terkecoh pada sampiran. Pemantun biasanya memakai perumpamaan. Sampiran dalam pantun itu ibarat jebakan agar lawan tak bisa membalas."
Seorang pemantun tak cukup bermodalkan kelihaian membaca isi bait-bait pantun. Dia harus mampu menyusun pantun secepat mungkin. Kemampuan ini bisa dilakukan etelah menguasai banyak perbendaharaan kata, lihai menyusun perumpamaan, dan mendalami seni budaya Melayu.
Untuk menghadiri perhelatan seni ronggeng di luar negeri, Fauzi tak selalu punya dana cukup. Bantuan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Medan tak bisa dipakai sebagai sandaran.
Bagaimanapun, jika ada undangan ke luar negeri, sebisa mungkin Fauzi berusaha tampil. Momen seperti ini, tambahnya, sayang dilewatkan hanya karena masalah dana. Dia bahagia karena mampu membawa misi budaya Nusantara.

Sejarah dan falsafah

Pantun merupakan seni tutur Nusantara. Seni ini berkembang di banyak kebudayaan di Indonesia.
Setiap kebudayaan mempunyai sejarah perkembangan dan falsafahnya. Pantun Melayu awalnya berkembang di kalangan bangsawan. Penulis buku Pantun dan Petuah Melayu, Tengku Luckman Sinar, mengatakan seni ini awalnya dipakai para pembesar kesultanan.
Perkembangan di lingkungan darah biru berlangsung pada abad ke-16 sampai abad ke-19.
Pascaruntuhnya belasan kesultanan Melayu di pesisir timur Sumatera Utara pada 1946, pantun mulai masuk perkampungan. Semua orang bebas berpantun dalam kelompok seni yang mereka bentuk.
Seni pantun tak lepas dari pesan moral, kritik sosial, dan penghiburan. Luckman Sinar membagi pantun dalam 11 jenis, di antaranya pantun jenaka, percintaan, kias, adat, agama, nasihat, sampai teka-teki.
Adapun seni berbalas pantun awalnya hanya dilakukan pada pertunjukan ronggeng Melayu. Setiap permainan ronggeng diselingi berbalas pantun. Lantaran terbatasnya pemantun, kini ronggeng Melayu kerap tampil tanpa pantun. Krisis penerus pantun terjadi karena minimnya minat pemuda menyelami seni ini.
Pada tahun 2000-an kesadaran meneruskan seni pantun mulai muncul. Sejumlah lembaga nonpemerintah, seperti Majelis Adat Budaya Melayu Nusantara Indonesia, menggelar lomba berbalas pantun. Kegiatan serupa juga digelar lembaga lain. dari acara ini muncul pemantun muda, seperti Sofyan, aslim, serta Kori dari Medan dan sekitarnya.
Mereka belum terhimpun dalam wadah tempat bertukar pikiran dan mengasah kemampuan."Gejala munculnya pemantun muda itu hal positif. kegairahan mereka perlu diapresiasi. Saya berharap ada wadah pembinaan buat pemantun. Kalau pun tak ada, kami berusaha bertemu dan berlatih bersama," katanya.
Fauzi kerap mengajak pemantun muda, berusia kurang dari 30 tahun, tampil agar mempunyai pengalaman. Berkelana dalam dunia pantun, baginya, sungguh memuaskan jiwa.
sebagai anak Melayu, ia terpanggil melanjutkan tradisi berpantun.
Pada akhir perbincangan Fauzi berpantun setelah memejamkan mata beberapa detik.
Layar terkatup kemudi dikepit//Darat dituju jauh berlabuh//Biar tertangkup bumi dan langit//Pantun Melayu teguh diasuh.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 29 JULI 2009

Senin, 22 Agustus 2011

Deded Ruhimat : Dedikasi dari Daerah Terpencil


DEDED RUHIMAT

Lahir : Tasikmalaya, Jawa Barat, 6 Maret 1969
Istri : Umaisyaroh (36)
Anak : Atiq Mifthahur Raafi (15), Rifqi Abdurrahman Fadhil (11), Muhammad Garin Natanegara (4), Zena Putri Azzahra (2)
Pendidikan :
- SPG Negeri, Tasikmalaya, lulus 1989
- S-1 Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, 2008
- Sedang mengikuti S-2 Jurusan Administrasi dan Kebijakan Pendidikan Sekolah
Tinggi Ilmu Administrasi "YPPT" Priangan Timur, Tasikmalaya

"Jadi tukang panggul!" itulah jawaban yang diteriakkan salah seorang murid kelas III Sekolah Dasar Inpres Denuh saat Deded Ruhimat bertanya tentang cita-cita muridnya. Kejadian tahun 2005 itu membuat dia tertegun karena sangat jauh dari bayangan ideal cita-cita umumnya anak sekolah dasar.

OLEH CORNELIUS HELMY

Tahun 2004 itu adalah kali pertama Deded berkarya menjadi guru di SD Inpres Denuh yang berlokasi di Kampung Denuh, Desa Cikuya, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekolah ini terletak sekitar 65 kilometer dari pusat kota Kabupaten Tasikmalaya, dipisahkan infrastruktur jalan rusak penuh tanjakan dan berkelok-kelok.
"Kalau anak-anak di kota ditanya cita-citanya, pasti kebanyakan menjawab ingin menjadi dokter atau tentara. Namun, ada anak bercita-cita menjadi tukang panggul, sama sekali tidak masuk dalam pikiran saya," kata Deded.
Baru setelah sekitar sebulan mengajar, dia mulai dapat memaklumi apabila anak didiknya mempunyai cita-cita menjadi tukang panggul. Pasalnya, hingga 2005, listrik dan alat komunikasi tidak masuk ke Kampung Denuh. Akibatnya, kampung ini seperti tertutup dari perkembangan dunia luar. Pengetahuan warga praktis hanya berasal dari pandangan mata pekerjaan orang-orang setempat.
Kekagetan Deded tidak berhenti sampai di sini. Pada akhir tahun pelajaran, dia menemukan fakta tingginya angka anak putus sekolah di Kampung Denuh. Dari 30-50 siswa lulusan SD per tahun, hanya sekitar 10 persen yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Sisanya terpaksa membantu orangtua bekerja di kebun atau menyerah pada jarak SMP terdekat yang berlokasi di pusat Kecamatan Culamega, sekitar 15 kilometer (km) dari Kampung Denuh. Ironis karena sesungguhnya setiap tahun SD Denuh dipadati banyak siswa.
"Saat itu masyarakat belum mengerti betul tentang pentingnya pendidikan. Mereka cenderung meminta anaknya membantu di kebun ketimbang melanjutkan ke SMP yang pasti juga membutuhkan biaya besar setiap hari," katanya.
Keprihatinan itu membuat Deded bersama empat guru lain menerapkan strategi pendidikan terencana. Para guru itu aktif berkunjung ke rumah orangtua siswa setiap hari. Dalam setiap kunjungan tersebut, dalam suasana santai dengan ditemani penganan ringan dan kopi, guru menekankan pentingnya pendidikan pada keluarga.
Salah satu pendekatan yang diambil Deded adalah menceritakan kisah sukses warga Culamega karena mereka terus berusaha bisa sekolah. Di antaranya adalah warga Culamega yang kemudian menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya.
Di sela-sela sosialisasi itu, bersama guru SD Denuh lainnya, Deded pun mengajukan pendirian SMP satu atap. Tujuannya agar lulusan setempat bisa melanjutkan sekolah dengan lebih mudah. Pada 2008, SMP satu atap berhasil didirikan di Kampung Denuh.
"Saat itu sekitar 90 persen dari 30-5- lulusan SD Denuh bisa melanjutkan pendidikan ke SMP. Orangtua murid di sini sekarang justru malu jika tidak menyekolahkan anaknya sampai SMP," katanya.

Jatuh ke jurang

Berkarya di Kampung Denuh bukan pilihan bagi Deded. Selepas diangkat menjadi pegawai negeri sipil pada 2005, ia diberi tugas menjadi guru di Kampung denuh. Saat itu, ia tak mengetahui letak kampung tersebut. Bahkan, di peta Kabupaten Tasikmalaya yang dia miliki pun, nama Denuh tidak tercantum.
Deded terkejut saat pertama kali datang ke Kampung Denuh. Dari rumahnya di Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, ia harus menempuh perjalanan selama empat jam dengan jarak tempuh 65 km.
Perjalanan terasa lebih berat saat ia harus melintasi infrastruktur jalan yang sangat buruk. Hingga kini, mayoritas jalan kampung itu disusun dari batu besar dengan geografis naik turun dan berkelok-kelok. Perjalanan panjang membuat dia harus tinggal di rumah dinas selama lima hari kerja.
"Jumat biasanya saya pulang ke Tasikmalaya guna melanjutkan pendidikan esok hari. Baru Senin pagi saya kembali ke Denuh. Sekarang saya sudah terbiasa, tetapi tidak saat pertama kali mengajar," katanya.
Banyak pengalaman baru yang dia rasakan di tempatnya mengajar. Hari pertama, Deded memilih naik ojek setelah menyimpan motor 100 cc buatan tahun 2002 yang dibelinya dengan sistem kredit itu di rumah warga di Cikawung, kampung terdekat dengan Denuh.
Hal itu dia lakukan selama tiga bulan karena menyadari keterbatasan kemampuannya mengendalikan sepeda motor di jalan licin berbatu.
Dengan ojek, ia menempuh jarak 5 km ke sekolah dalam waktu sekitar satu jam.
Deded bahkan pernah harus berjalan kaki menuju sekolah saat malam harinya kampung itu diguyur hujan deras. Berbekal senter, satu jam ia berjalan, lalu menyerah. Ia bermalam di rumah warga. Satu jam perjalanan berikutnya, dia lakukan esok harinya.
"Ban (sepeda) motor yang bocor hingga jatuh ke jurang sedalam sekitar 5 meter juga pernah saya alami setelah berani membawa motor sendiri," ceritanya.

Guru teladan

Kondisi itu tak membuatnya menyerah. Alasan Deded, begitu banyak semangat yang ia dapatkan setelah sampai di sekolah. Salah satunya, semangat guru yang sudah lebih dulu mengajar di Kampung Denuh.
Saat pertama kali tiba di kampung itu, sekolah tersebut hanya digawangi dua guru yang harus mengajar lebih dari 200 siswa. Kejutan yang lain, saat ia melihat begitu tingginya semangat anak-anak Denuh untuk berekolah.
"Letih yang sering muncul setelah melakukan perjalanan panjang terasa hilang saat melihat antusiasme anak-anak belajar. Pengalaman itu mungkin tidak akan saya rasakan kalau mengajar di kota," katanya.
Dedikasi Deded diapresiasi Pemernitah Kabupaten Tasikmalaya dengan penghargaan sebagai Guru Teladan 2011.
Pada tahun yang sama, ia juga dinobatkan sebagai Guru Berdedikasi Putra Tingkat Jawa Barat.
Penghargaan itu tak membuat dia besar kepala. Bagi Deded, penghargaan justru cambuk untuk bekerja dan berdedikasi lebih baik bagi pendidikan di daerah terpencil.
"Saya masih punya 'pekerjaan rumah' dalam membangun komunikasi yang lebih baik antar warga daerah terpencil dan akses pendidikan," katanya. Deded yakin, dengan pemahaman yang benar, masyarakat tak perlu dipaksa menuntut ilmu.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 23 AGUSTUS 2011

Minggu, 21 Agustus 2011

Seriatun : Motivator Pelestarian Hutan


SERIATUN

Lahir : Desa Sapit, Kecamatan Suwela,Lombok Timur, NTB, 25 Agustus 1975
Istri : Halimah (30)
Anak : Al Hilal M (10)
Pendidikan :
- Sekolah Dasar Negeri II Sapit, lulus 1989
- Sekolah Menengah Pertama Negeri IV Suwela, 1994
- SMK Pertanian, Sakra, Lombok Timur, 1997

Mengubah perilaku masyarakat yang gemar menebang pohon di hutan untuk aktivitas rumah tangga agaknya susah juga. Namun, perilaku seperti itu bukan berarti tidak bisa diubah kendati memerlukan orang yang mau berbuat secara nyata sebagai motivator. Dia juga harus punya strategi sebagai "pintu masuk" dalam masyarakat tersebut.

OLEH KHAERUL ANWAR

Salah satu dari motivator itu adalah Seriatun yang kerap disapa Amak Hilal. Dia memiliki semua kemampuan itu untuk menggiring warga Dusun Sapit, Desa Sapit, Kecamatan Suwela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menanam pohon dei melestarikan lingkungan hidup desanya.
"Syukur alhamdulillah. Tiga tahun terakhir ini masyarakat mau menanami sawah, ladang, dan kebun mereka dengan tanaman konservasi," ujar Seriatun, warga Dusun Sapit, Desa Sapit, Kecamatan Suwela, Lombok Timur.
Kepedulian dan totalitasnya itu menjadi alasan pemerintah memberi penghargaan Wanalestari Bidang Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat kepadanya.
Seriatun, anak pasangan Ramijah dan Srianim, merasakan sendiri akibat kerusakan kawasan hutan di desanya, seperti tanah longsor dan krisis air yang nyaris setiap tahun dialami penduduk.
Hutan di desa yang berlokasi di seputar Gunung Rinjani (3.726 meter) itu gundul. Akibatnya, sumur kecil atau titik suber air yang ada di sawah pribadi warga pun umumnya kering kerontang. Begitu pula tanaman padi dan palawija di ladang ataupun kebun, sering tertimbun lumpur yang tergerus air ketika musim hujan.
Kondisi kawasan itu diperburuk dengan program pembukan lahan atau pencetakan sawah baru pada 1999 untuk bercocok tanam. Eksesnya, dari tujuh titik sumber mata air, hanya empat yang debit airnya tersisa bagi warga. Ini pun lambat laun volume airnya nyaris habis.
Konflik yang pernah terjadi di antara dua dusun juga bermula soal air. Warga dusun (hulu) yang dekat lokasi sumber mata air merasa keberatan. Sebab, warga dusun tetangganya (hilir) mengalihkan sebagian alur air agar sawah-sawah di hilir kebagian air, terutama musim kemarau.
Warga hulu dan hilir merasa sama-sama berhak terhadap sumber air itu. Namun, saling klaim air tersebut akhirnya bisa diselesaikan. Mereka kemudian bersepakat mengatur distribusi air sesuai dengan jadwal yang telah disusun bersama.

Pintu masuk

Pengalaman empiris itu lalu dijadikan pintu masuk oleh Seriatun untuk membangun kembali kesadaran masyarakat memelihara sumber daya alam sekitar desanya.
Pada 2002, dia aktif mengikuti kegiatan Gerakan Rehabitasi Lahan dan Hutan (Gerhan) di kawasan hutan di desanya. Luas wilayahnya 14 kilometer persegi dengan luas hutan 2.212 hektar.
Walau ada Gerhan, Seriatun tetap melaksanakan kebiasaannya, antara lain meluangkan waktu untuk masuk-keluar hutan guna mengumpulkan anakan. Dia tidak segan-segan menelusuri sungai yang ada di Kecamatan Sembalun (Lombok Timur) dan Bayan (Lombok Utara) demi mendapatkan bibit tanaman. Apalagi beberapa jenis pohon kayu yang dikenal masyarakat belakangan ini semakin langka. Sebutlah kayu suren, kelokos, dan rajumas yang sangat langka populasinya. Pohon lain yang termasuk cukup langka adalah kayu manis, bajur, dan mahoni yang anakannya harus diburu Seriatun hingga ke hutan di luar desanya.
Kemudian, bibit tanaman itu disemaikannya di lahan milik orangtuanya. Setelah bibit tanaman siap ditanam, Seriatun membagikannya kepada masyarakat desa.
Untuk menyadarkan warga, pada malam hari pun Seriatun menyempatkan diri bertamu dan berbicara dengan semua kalangan masyarakat didesa berpenduduk 1.501 keluarga (4.245 jiwa) ini. Dengan cara itu, dia berharap semakin banyak warga yang peduli dan ikut memulihkan lingkungan kawasan hutan.
Karena ketekunannya itu, masyarakat yang bertugas menghijaukan kawasan hutan Blok Dupe dan Blok Pampang (masing-masing berada di dalam dan luar kawasan hutan) memercayakan posisi ketua kelompok kepada Seriatun.
Pada 2008, sejumlah perusahaan juga menggelar program New Trees di Desa Sapit. Pada kesempatan ini, kembali Seriatun diperaya sebagai penggerak. Di sini Seriatun mendapat pelajaran berharga, tak hanya tentang manajemen persemaian, tetapi juga bagaimana mengoperasikan alat-alat untuk memetakan vegetasi dan pertumbuhan tanaman.
Pembibitan anakan dengan media kadaka (semacam humus yang menempel pada kulit/ batang pohon) bisa dia lakukan. Pembibitan dengan kadaka, kecuali tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman mencapai 99 persen, juga daya tahan tanaman lebih kuat.
"Istilahnya, biar bibit tanaman tumbang diseruduk babi, bibit yang media pakai kadaka bisa bertahan hidup seminggu. Kalau bibit tanaman yang tumbang tersebut menggunakan media tanah, paling lama bertahan hidup sehari, terus layu," katanya.

Gairah warga

Selama tiga tahun aktivitas penghijauan berjalan, warga merasakan dampaknya. Dulu, menjelang musim tanam, Pekasih (petugas pengatur air) sangat sulit membagi air untuk sawah. Kini, pekerjaan Pekasih lebih ringan karena beberapa titik sumber air cenderung meningkat debit airnya.
Dengan pemilikan lahan 0,30hektar (sawah, tegalan, ladang, dan kebun), setidaknya petani bisa menanam 30 pohon tanaman konservasi. Dari kegiatan menanam tanaman penghijauan itu, pohon suren, misalnya, mencapai ketinggian 5 meter dengan diameter 12 sentimeter. Hal sama terjadi pada kelokos dan rajumas yang rata-rata setinggi 3-5 meter.
Pihak Pemerintah Desa Sapit merespons positif munculnya gairah warga melestarikan sumber daya alam tersebut. Wujudnya, penyediaan lahan 2 are (200 meter persegi) untuk proses pembibitan. Selain itu, setiap calon pengantin yang mengurus administrasi pernikahan juga diwajibkan menanam sebatang pohon.
Keberhasilan warga Desa Sapit bergaung sampai ke beberapa desa tetangga. Mereka pun tergerak mengikuti jejak warga Desa Sapit. Sebagai "guru", Seriatun pun menularkan pengalaman dan mengajarkan teknis manajemen pembibitan dan penanaman kepada warga desa tetangga.
"Masyarakat mau mengikuti apa yang kita katakan jika sudah melihat hasilnya," ucapnya.
Untuk menanamkan kepercayaan itu, tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa hutan adalah peninggalan nenek moyang.
"Ini ditambah trauma masyarkat pada kegagalan berbagai program penghijauan instansi teknis yang umumnya menggunakan pendekatan proyek," kata Seriatun.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 22 AGUSTUS 2011

Kamis, 18 Agustus 2011

Ida Yurinda Hidayat : Menyambung Lidah Petani Lewat Radio Komunikasi


IDA YURINDA HIDAYAT

Lahir : Jakarta, 7 Maret 1945
Pendidikan, antara lain :
- Sekolah Rakyat Cikini, Jakarta
- SMPN 9 Jakarta
- SMA Budi Utomo, lulus 1963
- Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tidak selesai
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia, lulus 1973
Penghargaan :
- Life Achievement Award Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat, 2010

Pada usianya yang akan menginjak 67 tahun, Ida Yurinda Hidayat tak jua lelah berkeliling dari satu daerah ke daerah lain di wilayah Jawa Barat. Ida kerap menerobos gang-gang sempit, melewati jalan-jalan yang rusak berdebu, dan menelusuri pesisir pantai demi menemui kader-kader penggerak radio komunitas binaan Jaringan Radio Suara Petani yang dipimpinnya.

OLEH RINI KUSTIASIH & CORNELIUS HELMY HERLAMBANG

Kegiatan tersebut sudah dirintis sejak 1989 saat dia berkecimpung dalam Majelis Keluarga Petani Mandiri Indonesia (MKPMI). Bersama sejumlah teman yang peduli terhadap nasib petani di Jawa Barat, Ida yang ketika itu sudah malang melintang dalam dunia jurnalistik menggerakkan petani untuk berdaya melalui teknik-teknik pertanian modern.
Jejak pengalamannya sebagai jurnalis masih kentara dalam pembawaannya yang tegas saat berbicara dan kritis ketika menyikapi kondisi petani belakangan ini. Menurut Ida, petani dan nelayan termasuk golongan masyarakat yang sulit mengakses informasi dari media massa.
Kepedulian Ida pada kehidupan petani terus tumbuh sekalipun dia tidak lagi bekerja sebagai jurnalis. Pada 1988-1989, Ida aktif di kalangan petani di Desa Sempora, Sumedang, Jawa Barat. Dalam berbagai pertemuan dengan para petani tersebut, Ida mengenalkan mereka pada teknik-teknik pertanian.
Salah satunya adalah dengan menanam cabai merah."Saat itu banyak sekali petani Desa Sempora, Sumedang, yang datang ke pertemuan untuk belajar tentang cara menanam cabai merah," katanya.
Menurut Ida, petani perlu diwadahi agarr pemberdayaan mereka bisa lebih ditingkatkan. Respons yang baik dari Ikatan Keluarga Petani Sempora tersebut kemudian menuntun dia untuk mendirikan MKPMI, sebuah organisasi petani yang wilayah cakupannya lebih luas, meliputi seluruh Jawa Barat. Untuk itu, Ida kemudian aktif berkeliling ke berbagai daerah di Jawa Barat.

Radio komunitas

Salah satu kunjungannya ke sebuah desa di Kecamatan Bangodua, Indramayu, pada 1992, mewarnai perjalanan hidup selanjutnya. Ida yang saat itu diantarkan rekannya, Syamsudin Simoon, terheran-heran saat melihat banyaknya antena di permukiman warga.
Syamsudin lalu memberi Ida informasi bahwa antena radio "gelap" itu dikelola secara mandiri oleh warga dengan menggunakan frekuensi FM yang ketika itu sedang trend.
Kemudian terbersitlah ide Ida untuk memanfaatkan stasiun-stasiun radio tersebut bagi kepentingan penyampaian informasi kepada para petani dan nelayan.
Maka, sepanjang 1999-2000, Ida menginventarisasi radio-radio "gelap" di sejumlah tempat di Jawa Barat untuk menjadi anggota Jaringan Radio Suara Petani (JRSP). Calon anggota JRSP juga diberinya pemahaman tentang pentingnya informsi bagi nelayan dan petani.
Pada tahap awal, ada sekitar 400 stasiun radio yang tergabung dalam JRSP. Namun, jumlah itu kemudian berkurang setelah keluarnya Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Stasiun-stasiun radio "gelap" di bawah binaan JRSP pun harus memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan UU, antara lain mengisi frekuensi 107,7 FM-107,8 FM, daya pancar 50 watt, panjang antena tidak lebih dari 20 meter, dan jarak antarradio tidak lebih dari 2,5 kilometer.
Seiring berjalannya waktu, jumlah stasiun radio semakin menyusut. Sampai sekarang yang bertahan terdata 129 radio komunitas yang beroperasi di wilayah Jawa Barat.
Dari jumlah itu, radio komunitas terbanyak ada di wilayah Indramayu, yakni 48 unit. Daerah lain yang juga mengembangkan radio komunitas, antara lain, di daerah Cianjur, Sukabumi, Majalengka, dan Sumedang.
Ida,selaku Ketua Umum JRSP, turun langsung ke lapangan menyampaikan materi pertanian yang dinilai penting diketahui para petani.
Maka, berkembanglah materi yang disampaikan lewat radio-radio komunitas tersebut.Mulai soal harga gabah dan sayur-mayur di pasar, harga ikan di bandar, informasi masa tanam, pembagian air irigasi, hama di ladang, sampai tentang keperluan sehari-hari para petani dan nelayan.
Dalam beberapa kesempatan, pengelola radio-radio komunitas itu pun kerap mengundang para penyuluh pertanian untuk memaparkan program yang berguna bagi petani atau nelayan.

Kekuatan akar rumput

Agar menarik perhatian para pendengar, di sela-sela acara hiburan musik tarling, sandiwara, dan wayang kulit, pengasuh radio komunitas itu menyelipkan berbagai pesan. Misalnya, agar warga berhati-hati menghadapi virus HIV/AIDS, flu burung, sampai ancaman perdagangan manusia (trafficking).
Untuk menarik perhatian pendengar pada masalah dilingkungannya sendiri, radio komunitas juga mengudarakan tentang jalan kampung yang rusak atau pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin) yang kemungkinan tak sesuai peruntukan. Lewat siaran radio komunitas, hal-hal yang menjadi bagian kehidupan petani dan nelayan mendapatkan panggungnya.
"Media besar pada tingkat regional, apalagi yang berskala nasional, kecil sekali kemungkinannya untuk mengangkat persoalan yang dianggap 'kecil', seperti jalan rusak di satu kampung atau blok tertentu. Sebaliknya, hal semacam itu justru menjadi perhatian dari radio komunitas," kata Ida.
Tidak jarang isu-isu di tingkat kampung bisa segera diatasi setelah didiskusikan secara hangat lewat radio komunitas. Hal itu seperti dilakukan Radio Ari FM di Desa Limpas, Kecamatan Patrol, Indramayu.
Dalam salah satu acaranya pada pukul 22.30-01.00, yakni segmen lagu lama, "curahan hati" warga Desa Limpas ditampung. Jadilah di sela-sela lagu dangdut dan tarling yang membahana, warga berbagi cerita tentang persoalan yang mereka hadapi.
"Soal jalan rusak, misalnya, kami bisa menagih janji kuwu (kepala desa) yang dulu sempat siaran di radio. Jadi, ada semacam kontrol sosial pada tingkat yang paling bawah dalam masyarakat," kata Carya (47), pengasuh Radio Ari FM yang dikenal sebagai Kang Rama saat mengudara.
Ida berkeyakinan, radio komunitas bisa menjadi kekuatan warga pada akar rumput untuk mandiri dan berkonsolidasi menyelesaikan persoalan mereka. Sayangnya, selama ini pemerintah cenderung abai terhadap keberadaan mereka. "Padahal, radio komunitas sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan program-program dan aturan-aturan di daerah itu," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 19 AGUSTUS 2011

Senin, 15 Agustus 2011

Kak Idik Sulaeman : Merindukan Roh Pandu Indonesia


IDIK SULAEMAN NATAATMADJA

Lahir :Kuningan, Jawa Barat, 20Juli 1933
Pendidikan :
- Sekolah Rakyat di Tasikmalaya
- SMP Tasikmalaya dan Purwakarta
- SMA Boedi Oetomo Jakarta
- Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, 1954-1960
Istri : Aisah Martalogawa
Anak :
- Isandra Matin ahmad
- Isantia Dita Aslah
- Isanilda Dea Latifah
Pekerjaan :
- Desainer tekstil di Balai Penelitian Tekstil Bandung, 1960-1964
- Kepala Biro Menteri Perindustrian dan Kerajinan, 1965-1967
- Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan Direktorat Jenderal Urusan Pemuda dan
Pramuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1967-1975
- Kepala Sub Direktorat Pembinaan dan Pelatihan, 1975-1977
- Pelaksana Harian Direktur Pembinaan Generasi Muda Direktorat Jenderal
Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga, 1977-1979
- Direktur Pembinaan Kesiswaan Ditjen Pebinaan Dasar dan Menengah, 1979-1983
- Dosen Fakultas Teknik Universitas Trisakti , 1985-2003
- Pembantu Rektor III Universitas Trisakti, 1989
Riwayat kepanduan :
- Pandu perintis di Pandu Rakyat tasikmalaya, 1946
- Pandu pawang di Purwakarta, 1950
- Pandu penuntun di Jakarta
- Andalan Nasional Pengurus Himpunan Pandu dan Pramuka Werda, 1998
Penghargaan :
- Wibawa Seroja Nusantara
- Bintang Jasa Pratama Karya Satya XXX

Sederhana dan mengabdi tanpa pamrih. Sifat-sifat itu tergambar jelas dalam diri Idik Sulaeman Nataatmadja. Sifat seperti itu sungguh sulit dicari pada sosok pemimpin masa kini.

OLEH NINA SUSILO

Kendati sudah berusia 78 tahun, Idik yang aktif dalam gerakan kepanduan dan merancang kurikulum latihan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) pada awal kemerdekaan RI, tetap dipanggil "Kak Idik". Semangatnya terasa. Jabat tangannya hangat dan bertenaga, pancaran matanya lembut meski Kak Idik tak leluasa berbicara setelah terserang stroke pada 2006 dan akhir tahun lalu didera kanker usus.
Tak banyak orang yang paham siapa sebenarnya Idik Sulaeman. Namun, namanya tertera sebagai penulis puluhan buku tentang gerakan Pramuka, seperti Menempuh Kecakapan Siaga Mula, Penolong Pembina Siaga, Gagasan Latihan untuk Penegak, Perkemahan Regu dan Pasukan, Nayati Siaga Putri, Upacara dalam Kesiagaan, Metode Kesiagaan, dan Kursus Kader Pemimpin Regu.
Ilustrasi sosok anggota yang menghiasi sampul depan buku-bukunya juga digambarkanya sendiri. Idik memang gemar menggambar dan seorang sarjana Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung. Atribut pramuka siaga, penggalang, dan penegak pun Idik yang merancangnya.
Karya Idik yang juga digunakan jutaan anak Indonesia adalah badge pada seragam sekolah, baik taman kanak-kanak, sekolah dasar, maupun sekolah menengah pertama serta badge OSIS untuk siswa sekolah menengah atas.
Pada badge TK, misalnya, tampak dua siswa putra dan putri menjunjung Sang Merah Putih sebagai harapan generasi muda, simbol penanaman cinta Tanah Air sejak dini. Sementara bunga yang belum mekar berdaun lima menunjukkan siswa muda usia harapan bangsa yang perlu diisi jiwa Pancasila untuk kelak dihayati dan diamalkan.
Sekitar tahun 1980, Idik merancang badge itu atas permintaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Saat itu Idik menjabat Direktur Pembinaan Kesiswaan Ditjen Pembinaan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Idik pula yang menciptakan lambang dan atribut yang dikenakan Paskibraka, mulai dari lambang korps, lambang anggota, tanda pengukuhan, seperti lencana MerahPutih Garuda, hingga kendit kecakapan. Untuk semua rancangan itu, tak sepeser pun Idik mengantongi bayaran.
Ketika ditanya apakah menyesal karena tak pernah mendapat honor atas karyanya yang digunakan banyak warga Indonesia, Idik tegas menjawab, "Tidak". Ia menganggap hal itu sebagai pengabdian.

Sukarela

Kesukarelaan dan pengabdian tanpa pamrih merasuk kuat dalam nadi Idik. Ini pula, menurut dia, yang membedakan gerakan kepanduan dengan gerkan pramuka.
Dahulu, seseorang masuk gerakan kepanduan karena sukarela. Namun, setelah menjadi gerakan pramuka, siswa diwajibkan mengikuti kegiatan ini di sekolah. Bahkan, belakangan ini ada daerah yang mengharuskan sekolah mengadakan ekstrakurikuler pramuka. Akhirnya keterpaksaan muncul dan gerakan pramuka tidak bisa berkembang.
Semestinya, menurut Idik, seorang pandu memiliki semangat persatuan, kemandirian, kesederhanaan, pengabdian, kesukarelaan, dan kecintaan kepada tanah air. Ini membentuk watak seseorang menjadi baik.
Karena itu, ketika Idik bersama Husein Mutahar (kala itu Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) membidani Paskibraka, konsepnya adalah pembekalan generasi muda untuk menjadi pemimpin masa depan. Ibaratnya, seorang anggota Paskibraka harus seperti pisau bermata dua yang tajam di kedua sisinya dan runcing. Paskibraka dipersiapkan untuk tugas jagka pendek, mengibarkan bendera pusaka dalam puncak peringatan hari jadi Indonesia.
Adapun tujuan jangka panjangnya adalah membentuk karakter generasi penerus bangsa.
Kurikulum latihan Paskibraka pun tak melulu baris berbaris. Sebaliknya, penyiapan mental, ideologi, etika, dan kepemimpinan disampaikan juga dengan suasana pembinaan yang disebut Desa Bahagia.
Hubungan pembina dan calon anggota Paskibraka adalah kakak-beradik, dilandasi persaudaraan dan cinta kasih, bukan senior dan yunior.

Bersahaja

Berbincang dengan Kak Idik di rumahnya di kawasan Kemanggisan Ilir, Jakarta, hanya kesederhanaan yang melingkupi. Rumahnya berukuran sekitar 100 meter persegi, ruang tamunya diisi seperangkat kursi kayu tanpa ukiran. Lampu penerangannya pun seperlunya, tak ada lampu gantung yang terkesan mewah.
Aisah Martalogawa, istri Idik yang mendampinginya saat itu, bersama seorang alumnus Paskibraka 1978, Budiharjo Winarno, menceritakan peluang untuk mendapatkan kekayaan sesungguhnya terbuka. Ketika Idik menjabat sebagai Direktur Pembianaan Kesiswaan Ditjen Pembinaan Dasar dan Menengah, kata Aisah, banyak pengusaha yang berusaha menemuinya, Mereka berharap bisa mendapatkan hak monopoli pengadaan bahan seragam sekolah.
Idik tak pernah menemui mereka. Idik lebih menginginkan pengadaan seragam ditangani koperasi-koperasi di sekolah. Dengan demikian, sumber ekonomi bisa lebih menyebar kendati tidak dalam jumlah besar.
Karena itu, jangankan menginginkan baYaran atas rancangannya atau penghargaan, Idik menganggap semua karyanya sebagai pengabdian tanpa pamrih.
Namun, apakah layak pemerintah dan masyarakat berdiam diri dan tak menghargai karya Idik? Tak hanya itu, Idik pun bisa menjadi tempat bertanya dan belajar segala sifat baik seorang pandu indonesia sejati.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 16 AGUSTUS 2011

Minggu, 14 Agustus 2011

Wariadi : Jadi Juragan Setelah Bangkrut


WARIADI

Lahir : 31 Desember 1978 di Dusun Tanakmaik, Desa Masbagik Utara, Lombok Timur
Istri : Niayah (30)
Anak : M Wiranda Naufal
Pendidikan :
- Sekolah Dasar (lulus 1991)
- Madrasah Tsanawiyah Yadinu (1994)
- Sekolah Penyuluh Pertanian (1997)
- Sarjana Perikanan niversitas Gunung Rinjani, Lombok (2003)

Kalau sudah melangkah, pantang bersurut selangkah pun. Itulah Wariadi (32), pengusaha budidaya ikan air tawar, warga Dusun tanakmaik, Desa Masbagik, Utara, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Lelaki itu sempat jatuh bangkrut lantaran ikan nila dan karpernya tewas terserang "koi herpes virus" sehingga merugi puluhan juta rupiah.

OLEH KHAERUL ANWAR

Lewat kerja kerasnya, sarjana perikanan ini berhasil merajut kembali bisnisnya dari nol lewat usaha pemancingan. Kini ia jadi juragan lesehan dengan menu masakan sederhana: ikan bakar pedas, sambal tomat, sayur bening, pelecing kangkung, dan urap (kacang panjang, kecipir, kangkung, taoge, dan sambal kelapa).
Bukan mustahil, akibat menunya yang khas menurut cita rasa masyarakat Sasak Lombok dan lokasi lesehan yang "tersembunyi", ini membuat Wariadi sukses dengan usaha lesehannya. Lokasi usahanya memasuki perkampungan penduduk, di areal perawahan, dan ada suara gemericik air melalui saluran irigasi sehingga menghadirkan suasana pedesaan.
Ketua Kelompok Budidaya Ikan Purnama ini enggan mengutarakan omzet usahanya. Namun, hal itu bisa tergambar dari jumlah pegawainya yang 14 orang, meliputi delapan laki-laki dan enam perempuan. Wariadi pun memberikan upah Rp 450.000 per karyawan setiap bulan, ditambah makan, sebungkus rokok, dan pulsa telepon tiap hari.
Sementara karyawatinya mendapat upah Rp 60.000-Rp 70.000 per orang tiap dua-tiga hari kerja atau rata-rata Rp 600.000 sebulan. Para karyawati ini tidak harus bekerja di tempat lesehan saban hari. Mereka baru bertugas jika tamu relatif ramai, seperti Sabtu dan Minggu yang merupakan hari libur pegawai kantor pemerintah/swasta dan sekolah.
Sukses Wariadi bisa juga dilihat dari 12 berugak (balai-balai tempat duduk tamu) yang terbuat dari kayu pilihan berukuran 2,5 x 2,5 meter hingga 3 x 3 meter dan dibangun di atas kolam pemeliharaan ikan seluas 3.000 m2. Pengunjung lesehan ini umumnya dari seantero Pulau Lombok, termasuk warga Mataram, ibu kota NTB, yang berjarak 50 kilometer dari lokasi lesehan itu.
Kalaupun kini ada beberapa lokasi lesehan bertumbuh di seputar desa yang melimpah air ini, hal itu tidak lepas dari peran Wariadi sebagai pelopor. Sebelum Wariadi membuka usahanya, sawah-sawah di desa tersebut kebanyakan hanya ditanami padi, budidaya kangkung, dan pemeliharaan ikan bagi kepentingan lokal.
Ada juga tanah kebun ataupun halaman rumah yang oleh pemiliknya disulap menjadi tempat bisnis lesehan dengan menu khas.

Perlintasan maling

Usaha Wariadi tidak langsung sukses seperti saat ini. Dia harus melalui pengorbanan dan perjalanan panjang untuk menempuh itu. "Dulu di sini sepi, jadi perlintasan pencuri di malam hari," katanya menyebut lokasi budidaya ikannya. Kondisi itu diabaikan karena sasaran utama pencuri adalah sapi dan kerbau. Karena itu, Wariadi siang-malam berada di kolam, terutama menjelang panen, agar ikannya tidak "dipanen" lebih dulu oleh orang lain alias dicuri.
Tamat dari Sekolah Penyuluh Pertanian tahun 1997, Wariadi bekerja di salah satu perusahaan budidaya udang di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa. Namun, anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan H Misbah-Kartini ini hanya bertahan empat bulan. Pasalnya, bosnya tidak memenuhi janjinya mengangkat Wariadi sebagai pegawai tetap.
Tahun itu pula Wariadi pulang kampung, lalu kuliah di perguruan tinggi swasta di Lombok Timur, mengambil jurusan budidaya ikan, tahun 1998. Wariadi ingin mandiri secara ekonomi; membiayai kuliahnya sendiri. Pilihannya jatuh pada usaha budidaya ikan yang ditekuninya sejak tahun 1999.
Kebetulan ada areal sawah milik orangtuanya seluas 3.000 m2.Proses pembangunan kolam dikerjakan sendiri , 50.000 bibit ikan karper dan nila dibelinya dengan uangnya sendiri. Untuk memacu perkembangan populasi dan pembesaran ikan, ia meminjam 10 ikan (enam jantan dan empat betina) dari seorang petani. "Nanti kalau panen, dua pertiga hasilnya untuk saya dan sepertiga untuk pemilik yang saya pinjami ikan pejantan dan betinanya itu," katanya.
Karena tempat pemijahannya masih baru, sumber pakan alami tersedia relatif banyak. Tidak heran dalam tempo hitungan bulan, ikan di kolam pemeliharan berkembang dengan baik. Ikan itu pun ada yang dijual untuk konsumsi lokal, dibeli hidup-hidup untuk kegiatan lomba memancing yang saat itu harganya Rp 8.000 per kilogram.

Virus

Perkembangan itu membuat Wariadi dinobatkan sebagai Ketua Kelompok Budidaya Ikan Purnama, beranggotakan 15 orang. Setelah itu, kini tercatat enam kelompok budidaya ikan air tawar di desa itu. Tahun 2003, kelompoknya mendapat pinjaman modal usaha dari instansi teknis sebesar Rp 45 juta.
Namun, tahun itu pula, ketika ikan menjelang masa panen, para petani ditimpa malapetaka. Ikan-ikan peliharaan mereka terserang virus koi. Hampir 90 persen ikan tewas mengapung di air dan selama dua bulan seluruh kolam bau bangkai.
Usaha budidaya ikan di desa itu semuanya gulung tikar. Beruntung pula petani tidak diwajibkan mengganti pinjaman modal karena oleh instansi teknis dianggap kematian ikan itu bukan kesalahan petani, melainkan akibat bencana alam (force majeure).
Wariadi tidak mau larut dalam kesedihan kendati 25 persen dari modalnya sendiri ikut amblas lantaran serangan virus itu. Sedikit ikan yang bisa diselamatkannya dari serangan koi herpes virus itu dijadikan modal awal membangun kembali usahanya.
Dimulai dari membuka lomba memancing tahun 2005. Karena aktivitas memancing di kolam berjalan seharian, banyak di antara pemancing yang meminta Wariadi menyediakan makan buat mereka dengan menu utama ikan bakar pedas.
Lewat cerita para pemancing inilah masakan Wariadi dikenal, menyusul para tamu yang datang mencicipi masakannya. "Berugak yang awalnya satu tak cukup menampung tamu. Lalu, berangsur-angsur saya tambah," ujarnya.
Tahun 2006, ia mendapat pinjaman modal kredit usaha rakyat dari Bank BRI sebesar Rp 5 juta, dengan bunga 13-14 persen setahun. Modal itu digunakan, antara lain, untuk membangun berugak, mengingat kunjungan tamu hampir tidak pernah sepi tiap hari. Perkembangan kunjungan tamu itu memaksa Wariadi menutup usaha pemancingan dan sejak tahun 2007 berkonsentrasi mengelola lesehan sampai sekarang.
Kini Wariadi jadi juragan lesehan dan desa itu berkembang menjadi tujuan wisata kuliner.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 15 AGUSTUS 2011

Kamis, 11 Agustus 2011

I Wayan Patut : Terumbu Karang untuk Anak-Cucu


I WAYAN PATUT

Lahir : Denpasar, 6 Juni 1971
Pendidikan :
- SD Negeri I Serangan
- SMP PGRI Serangan
- SMEA Negeri Denpasar
Istri : Ni Komang Agustini (25)
Anak :
- Ni Wayan Mahita (7)
- Ni Made Tania (2)
Kegiatan :
- Tenaga penjual ("sales") (1994-1997)
- Aktivis lingkungan (1998-2001)
- Ketua Kelompok Nelayan Karya Segara (2002-sekarang)
Penghargaan : Kalpataru kategori penyelamat lingkungan (2011)

Pulau Serangan, Denpasar, Bali, pernah menjadi "surga" bagi para pencongkel terumbu karang. I Wayan Patut tak dapat tinggal diam melihat kerusakan alam bawah laut di desanya bertambah parah. Berkat kegigihannya, kini tidak hanya terumbu karang yang terselamatkan, tetapi juga masa depan warga Pulau Serangan.

OLEH HERPIN DEWANTO

Sejak 1992, kondisi pantai di Pulau Serangan mulai rusak karena reklamasi. Pelan-pelan ekosistem laut di sekitar pulau yang berada di bali bagian selatan itu mulai terganggu. banyak terumbu karang rusak. Ikan-ikan mulai menghilang dan kehidupan ratusan nelayan di daerah itu semakin sulit.
"Masalahnya, nelayan tetp butuh uang. Maka, mereka mulai mengambil terumbu karang untuk dijual," kata Patut, awal Agustus lalu, di Denpasar.
Lebih dari 100 nelayan di tempat itu pun memiliki aktivitas baru. Mereka pergi ke laut dengan membawa linggis; menyelam dan mencongkel karang.
Penjualan terumbu karang itu sangat menguntungkan mereka. Dalam satu bulan, seorang nelayan dapat memperoleh hingga Rp 15 juta dari menjual batu-batu karang itu. Padahal, jika mengandalkan penangkapan ikan, separuhnya pun sangat sulit mereka dapatkan.
"Memang menguntungkan untuk jangka pendek. Namun, ke depan nelayan itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Anak dan cucu mereka sudah tidak dapat menikmati hasil laut," kata Patut.
Terumbu karang merupakan dasar kehidupan biota bawah laut sehingga kerusakan sekecil apapun sudah mengganggu keseimbangan ekosistem. Apabila terumbu karang rusak, ikan-ikan kecil tak dapat bersembunyi di antara karang. Akibatnya, ikan kecil sulit bertahan hidup, apalagi berkembang sampai dewasa.

Tantangan berat

Melihat kerusakan itu, Patut mulai merintis usaha penyelamatan terumbu karang pada 2002. Ia menyadari tantangannya berat karena harus berhadapan dengan ratusan nelayan yang masih ingin meraup keuntungan dari pengambilan terumbu karang.
Patut tak langsung mendekati para nelayan itu, tetapi anak-anak mereka. Ia membuat program pembelajaran bagi para pelajar di tempat tinggalnya di banjar kaja, Desa Serangan, Pulau Serangan, dengan materi khusus berupa cara menanam terumbu karang.
Anak-anak itu diajak membuat media untuk transplantasi terumbu karang dan menanamnya di dasar laut. Setiap terumbu karang yang di tanam juga dipasangi label plastik kecil bertuliskan nama anak yang ikut program itu. "harapannya, orangtua anak-anak itu batal mencongkel karang karena tahu yang menanam karang adalah anaknya sendiri," kata Patut.
Melalui program itu, lama-lama orangtua dari anak-anak itu mulai ikut memahami pentingnya terumbu karang. Situasi ini dimanfaatkan Patut dengan membentuk sebuah kelompok nelayan bernama "Karya Segara"yang fokus dalam bidang konservasi karang pada 2003.
Saat kelompok itu terbentuk, ada sekitar 48 nelayan yang bergabung. Namun, kemudian berkurang menjadi 36 nelayan. Kegiatan utama mereka adalah membudidayakan terumbu karang untuk ditanam kembali. Mereka yang keluar umumnya menilai kegiatan konservasi tidak memberikan keuntungan pasti.
Menyadari bahwa para nelayan masih sangat kekurangan, Patut sama sekali tidak melarang nelayan untuk tetap menambang terumbu karang. Namun, sebagian nelayan yang sudah berhenti kemudian diajak menangkap ikan hias di sekitar pantai untuk dijual. Hasil budidaya terumbu karang dan penangkapan ikan hias cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Paket wisata

Baru pada 2009 Patut mendapat ide untuk membuat program Terumbu Karang Asuh. Dalam kegiatan ini, dia mencari "Bapak Asuh", yaitu orang yang mau membeli terumbu karang dan menanamnya.
Program itu mendapat tanggapan positif dari kalanagan pemerintah dan swasta. Untuk menanam terumbu karang itu, setiap bapak asuh menyumbang Rp 2,5 juta kepada kelompok Karya Segara.
Patut dan rekan-rekannya kemudian melanjutkan program tersebut dengan membuat reef ball atau bola karang buatan lebih banyak lagi. Kerangka bola beton berongga dan berdiameter 60 sentimeter hingga 1 meter itu menjadi media tanam terumbu karang.
Satu paket reef ball dijual Rp 5 juta. Sampai saat ini sudah terjual sekitar 60 unit untuk kegiatan konservasi di Nusa Dua, Kabupaten Badung.
Tidak hanya itu, Kelompok Karya Segara juga bekerja sama dengan agen wisata untuk membuka paket wisata penanaman terumbu karang sejak 2010. Setiap bulan rata-rata ada 400 wisatawan yang berpartisipasi, sebagian besar berasal dari China.
Selain menanam terumbu karang, wisatawan juga dapat melepas kuda laut.
Juni 2011, upaya konservasi Patut dan Kelompok Karya Segara mendapat penghargaan berupa Kalpataru kategori penyelamat lingkungan yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari total kerusakan area terumbu karang seluas 5 hektar di Pulau Serangan, pada kurun waktu 2003 hingga sekarang area terumbu karang yang sudah terselamatkan seluas 1,8 hektar. "Dengan melibatkan wisatawan, upaya rehabilitasi terumbu karang akan lebih cepat dan efektif," kata Patut.

Mantan "sales"

Alumnus SMEA Negeri Denpasar (1993) yang sempat menjadi sales itu sejak 1998 mulai bergabung dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan. Dari LSM itulah Patut mendapat banyak informasi mengenai terumbu karang dan mengenal banyak orang.
Informasi itulah yang ia tularkan kepada masyarakat di desanya. Sementara untuk membiayai berbagai program yang dibentuknya, Patut mengajukan sejumlah proposal permohonan donasi kepaa orang-orang yangia kenal selama aktif di LSM.
Karena memiliki jaringan yang luas, Patut sempat ditunjuk sebagai wakil dari nelayan untuk hadir dalam berbagai forum internasional, seperti di Afrika Selatan dan Jepang. Ia juga sering diminta menjadi fasilitator program konservasi terumbu karang di sejumlah daerah di Bali dan provinsi lain, seperti Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Meski demikian, Patut masih belum puas berkarya demi kelestarian lingkungan. Kini, ia sedang merancang program "Bank Sampah" di desanya. Dengan program tersebut, Patut berharap, tidak sekadar desanya bersih dari sampah, tetapi kesejahteraan warga juga meningkat berkat pengolahan sampah.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 12 AGUSTUS 2011

Rabu, 10 Agustus 2011

Sutrisno : Pejuang Kesejahteraan Petani


SUTRISNO

Lahir : Madiun, 1967
Istri : Karsiyatun, 1973
Anak :
- Anton Bakti N (10)
- Indra Dewi K (5)
Pendidikan :
- SD Sambirejo
- SMP Katolik Caruban
- Kejar Paket C (setara SLTA)

Kedelai hitam ("Glycine Soja") memiliki potensi bagus untuk dikembangkan di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Namun, tidak banyak petani yang membudidayakannya karena belum ada kepastian pasar dan jaminan harga. Cerita menjadi lain ketika Sutrisno berhasil mengambil ceruk pasar dan memberikan kepastian harga bagi petani.

OLEH RUNIK SRI ASTUTI

Tidak mudah membuat janji dengan Sutrisno. Sejak ia berhasil meyakinkan industri besar sebagai pasar bagi kedelai hitam tanaman petani di Madiun, penduduk Desa Sambirejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, ini bisa dibilang memiliki kesibukan yang luar biasa sehingga nyaris menyita seluruh waktunya.
Sejak pagi hingga petang, Sutrisno berada di sawah, memantau perkembangan tanaman kedelai. Dari satu sawah, ia berpindah ke sawah yang lain. Begitu setiap hari, sepanjang hari. Pekerjaan yang menyita waktu seperti itu harap dimaklumi karena dia harus memantau kondisi tanaman kedelai di total luas areal tanam tidak kurang dari 147 hektar.
Hebatnya lagi, tanaman kedelai ratusan hektar itu tidak berada dalam satu lokasi, tetapi tersebar di puluhan desa di lima kecamatan di Kabupaten Madiun, yang potensial untuk kedelai, yakni Saradan, Gemarang, Balerejo, Jiwan, dan Pilang Kenceng.
Sutrisno tidak melulu bergerak pada siang hari. Saat sang surya mulai beranjak ke peraduan, di mana kebanyakan orang beristirahat atau bercengkerama dengan keluarga, ia malah berkeliling menyambangi kelompok petani penanam kedelai hitam. Para petani itu sedang mengadakan pertemuan untuk membicarkan tentang berbagai hal yang menyangkut tanaman kedelai ataupun hal lainnya.

Meyakinkan petani

Bagi dia, hanya pada malam hari para petani bisa diajak ngobrol gayeng (sepuasnya) setelah mereka berkutat seharian di ladang. Dengan mengumpulkan para petani, Ketua Kelompok Tani Margo Mulyo ini lebih leluasa menggali persoalan di lapangan. waktunya pun menjadi lebih efektif dan efisien mengingat ada ratusan petani di setiap kelompoknya.
Sebagai contoh, anggota Kelompok Tani Margo Mulyo saja 253 petani, dengan luar areal tanaman kedelai 92 hektar. Di kebanyakan daerah di Tanah Air, tidak terkecuali di Madiun, rata-rata kepemilikan sawah petani kurang dari 0,5 hektar. Belum lagi karakter sawah mereka tidak sama sehingga memerlukan penanganan yang berbeda. Ada sawah yang cukup irigasinya, ada yang tadah hujan, bahkan ada pula yang letaknya di tepian hutan.
Pada satu sisi, Sutrisno merasa bertanggung jawab membimbing para petani kedelai hitam karena dialah yang mengajak. Lebih dari setahun ia berjuang meyakinkan petani bahwa menanam kedelai hitam memiliki masa depan yang cerah.
akan tetapi, pada sisi lain, ia juga harus menunjukkan komitmennya terhaap industri besar yang siap menampung kedelai hitam petani. Peran seperti inilah yang tidak semua orang bisa melakukannya.
Apalagi, tuntutan perusahaan penampung kedelai tidak mudah. Mereka menerapkan pengawasan yang ketat, mulai dari bibit kedelai, teknik budidaya, hingga penanganan pascapanen. Sutrisno pun harus berupaya keras agar para petani mendapatkan hasil kedelai hitam yang benar-benar berkualitas.
Pada musim panen kedelai di bulan Oktober, kesibukan Ketua Gabungan Kelompok Tani Sambirejo ini biasanya semakin berlipat. Itu karena ia harus mengawasi proses panen kedelai hingga penyortiran yang masih dilakukan konvensional dan manual dengan mengandalkan tenaga manusia.
Tidak kurang dari 100 orang terlibat dalam proses sortir kedelai hitam. hampir semua tenaganya adalah ibu-ibu di Desa Sambirejo dan sekitarnya.Sebagian di antara meeka adalah para lanjut usia yang masih butuh uang, tetapi kalah bersaing di dunia kerja sektor informal, apalagi sektor formal.
Untuk mendapatkan 100 ton kedelai hitam pilihan, butuh waktu sortir 5-6 bulan. Jika pada 2011 ini Sutrisno ditargetkan mendapatkan 140 ton kedelai pilihan, bisa dipastikan proses sortir tidak akan selesai dalam delapan bulan. Itu artinya para ibu-ibu akan mendapatkan tambahan uang belanja selama delapan bulan.
"Orang miskin kalau diutangi (diberi pinjaman) Rp 1 juta malah gak dadi gawe (tidak jadi pekerjaan). Namun, kalau dikasih pekerjaan, meski dengan upah hanya Rp 5.000 per hari, jadi bumbu (bisa bantu kebutuhan dapur)," ujar pria yang mengandalkan ijazah kejar Paket C (setara sekolah menengah atas) ini.
Berkat kerja keras Sutrisno, kedelai hitam menjadi komoditas yang diminati petani karena memiliki nilai jual stabil tinggi, yakni Rp 5.200 per kilogram, jauh di atas harga kedelai biasa, Rp 4.000 per kg. Kedelai hitam juga menajdi primadona ketika pangsa pasarnya jelas, yakni memasok kebutuhan bahan baku kecap di PT Unilever Tbk.

Memutus setan kemiskinan

Apabila kedelai kualitas terbaik di setorkan ke industri besar, kedelai yang pecah diolah menjadi kopi susu kedelai. Kedelai yang tidak bisa diolah dijual sebagai pakan ternak. Lalu, tinten, atau kulit kedelai yang terbawa saat panen, diolah sebagai campuran pupuk organik.
Setidaknya ada lima usaha kreatif yang dirintis Sutrisno melalui wadah kelompok taninya, yakni usaha pembuatan bubuk kopi kedelai hitam, usaha pembuatan pupuk organik, usaha jual beli gabah, serta memberikan les gratis pelajaran matematika dan bahasa Inggris untuk anak-anak petani tidak mampu.
Kegiatan yang disebutkan terakhir itu dia rintis karena menyadari bahwa masa depan anak-anak petani adalah hal penting untuk memutus lingkaran setan kemiskinan. Sebagai anak petani miskin, ia merasakan betul mahalnya bangku pendidikan dan terbatasnya akses pendidikan bagi masyarakat di pedesaan.
Buah kerja keras Ketua Kelompok Tani Margomulyo, Desa Sambirejo, Kecamatan Saradan, kabupaten Madiun, ini pun mendapat apresiasi dari kalangan petani dan pemerintah.
Meski bukan tujuan utama, penghargaan demi penghargaan mulai mendatanginya.
Pada 16 Agustus tahun ini, dia diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan sebagai juara I nasional bidang pengembangan agrobisnis kedelai. Sutrisno pun berhasil mengantarkan Kelompok Tani Margomulyo sebagai juara pertama agrobisnis kedelai tingkat Jawa Timur dan Gabungan Kelompok Tani Desa Sambirejo menyabet juara pertama bidang pengembangan usaha agrobisnis pedesaan.
Desanya juga sering menjadi tujuan studi lapangan bagi petani dari sejumlah daerah Nusantara. Sejumlah perusahaan multinasional dan negara tetangga pun tidak ketinggalan. Setidaknya, Direktur Jenderal Keuangan Timor Leste pernah menimba ilmu di tempatnya. Bahkan, puluhan petani dari 12 negara, di antaranya Amerika Serikat, China, dan Hongkong juga sempat menginap di rumahnya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 11 AGUSTUS 2011

Selasa, 09 Agustus 2011

Hasanain : Peraih Penghargaan Ramon Magsaysay


HASANAIN JUAINI

Lahir : 17 Agustus 1964
Istri : Hj Runiati Ilarti (43)
Anak :
- Akhwab Habiburrahman (22)
- Dzul Bashor (16)
- M Husni Zayyadi (11)
- Annatiya Maesun (4)
Pendidikan :
- Madrasah Ibditaiyah Nahdlatul Wathan, (NW), Narmada, lulus 1975
- Madrasah Tsanawiyah NW Narmada, 1978
- Killyatul Mu'allimin Al Islamiah Pondok Peantren Gontor, Jawa Timur, 1984
- Fakultas Hukum Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab, Jakarta 1995
- Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2006
Pencapaian :
- Pendiri dan Ketua Ponpes Nurul Haramain Narmada, 1996-kini
- Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah kabupaten Lombok Barat, 2003-2008
- Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama NTB, 2007-kini
- Anggota Forum Kerja Sama Pondok Pesantren NTB, 2007-kini
- Ketua Forum Pendidikan Anak Usia Dini NTB, 2007-kini
- Sekjen Badan Amil Zakat NTB, 2010-kini
Penghargaan :
- Ashoka International Foundation Medal for Best Fellow in Religion and Women
Empowerment, 2003
- Piagam Pelestari Lingkungan dari Pemkab Lombok barat, 2004
- Maarif Award, 2008

"Saya tak melakukan apa-apa, hanya menjalankan hobi. Puluhan tahun saya melakukan apa yang diperlukan umat karena memang senang mengerjakannya," kata Hasanain Juaini, pendiri dan Ketua Pondok Pesantren Nurul Haramain, Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

OLEH KHAERUL ANWAR

Hasanain menambahkan, "Saya cepat terinspirasi pada apa yang saya lihat dan pikirkan. Kalau tak dikerjakan, saya merasa tersiksa, terbebani, dan tidak bisa tidur."
Kesenangan Hasanain itu tak hanya diejawantahkan dalam mendidik para santri, tetapi juga diimplementasikan pada masyarakat, seperti konservasi ladangdan kebun seputar kawasan hutan. Gerak-geriknya selama ini direkam Ramon Magsaysay Foundation Award (RMFA) yang sekaligus menominasikan dia meraih penghargaan.
"Saya sedang menyiapkan makalah yang akan disampaikan saat penganugerahan nanti," ujarnya.
Tahun 2011 ada enam peraih Ramon Magsaysay Award, yaitu satu yayasan, Alternative Indigenous Development Foundation dari Filipina; Nileema Misra dan Harish Hande dari India; Koul Panha dari Kamboja; serta Tri Mumpuni dan Hasanain dari Indonesia.
Hasanain dinilai berhasil menerobos pakem menara gading pondok pesantren (ponpes) dengan menggabungkan pendidikan teori dan praktik. Ia kreatif mempromosikan nilai-nilai kesetaraan jender, membangun kerukunan beragama dan pelestarian lingkungan di daerahnya.
Penghargaan itu akan diserahkan 31 Agustus nanti di Manila, Filipina. Dalam situs resminya, selama tahun 1957-2011, RMFA memberikan penghargaan kepada 290 individu/lembaga dari 22 negara Asia.
Bagi Hasanain, penghargaan itu tak pernah terlintas di pikirannya. Selama ini ia bekerja saja, mengingat begitu banyak persoalan sosial yang harus diatasi. Apalagi masyarakat di Pulau Lombok umumnya telanjur dimanjakan kesuburan tanah dan sumber daya alam sehingga suka bersikap mele molah doang (mau enaknya saja).
"Kita mau membangun rumah tinggal tebang pohon di hutan. Padahal, hitung-hitungan kasarnya, setiap individu telah mengutang (mengambil) kayu untuk membangun rumah dan perabotan lain sebanyak 127 batang. Maka, kewajiban setiap orng membayar utangnya itu dengan menanam kembali," katanya.
Guna mengubah sikap masyarakat itu, Hasanain menemui warga dan mengajak mereka berdialog. Ia membuka cakrawala berpikir mereka, bahkan memfasilitasinya dengan dana.
"Sesungguhnya, keinginan untuk memperbaiki sudah ada pada manusia itu sendiri," ujar pendiri ponpes yang bermula dari 50 santri pada 1996 ini.
Di Dusun Gunung Jahe, kawasan Hutan Sesaot, Lombok barat, misalnya, dia menyediakan 2.000 pohon bagi satu kepala keluarga, 5 sapi, dan 1.000 ayam. dengan kewajiban menanam lahan yang gundul dengan pohon yang disediakan itu, hasil pengembangannya sapi dan ayam tersebut sebagian besar diambil warga. Hasilnya, sekitar 36 hektar kawasan itu dihutankan kembali. Untuk warga di Dusun Batumulik, dia membuatkan demplot pembibitan tanaman. Warga diajari teknis pembibitan. Sedangkan sumber bibitnya dianakan dalam hutan. Secara gratis warga mendapatkan hasil perbanyakan bibit untuk ditanam lagi di ladang dan kebun mereka.

Satu kata dan perbuatan

Sebagai panutan yang bergelar tuan guru, Hasanain tak asal bicara. Ia menunjukkan kerjanya kepada 500 santri putri dan 400 santri putra.
"Sekarang sudah ada kontainer penampung sampah. Dulu sampah berserakan di areal pondok," ceritanya.Ketika itu sampah yang diproduksi ponpes mencapai satu ton per hari.
jadilah setiap hari Hasanain bertindak sebagai "kuda" penarik gerobak, diikuti para santri putri yang mendorong gerobak itu. Sampah dalam gerobak dibuang ke lokasi yang berjarak sekitar 1 kilometer dari ponpes. Kegiatan ini berlangsung selama dua tahun.
Dengan cara itu, Hasanain menunjukkan selarasnya perkataan dan perbuatan. Itu juga merupakan upayanya menanamkan rasa tanggungjawab, etos kerja, dan solidaritas kepada para santri bahwa apa yang ada di depan mata harus ditangani bersama, tak terkecuali perempuan.
"Jangan heran jika di sini ada santriwati yang nyopir traktor atau merakit software komputer dalam tempo sekitar 15 menit," ungkapnya mencontohkan tentang pendidikan jender yang tak sekadar teori di ponpesnya.
Sikap bertanggung jawab juga ditunjukkan Hasanain saat ia belajar tentang seluk beluk hutan di Cagayan de Oro, Filipna, atas undangan Xavier University pada 2007.
Dia juga tetap mendiktekan soal ujian bagi para santri. bahkan, saat menunaikan ibadah haji di Padang Arafah pun, ia tetap mengajar dengan perantara video.

Orangtua

Beragam aktivitas yang dijalani Hasanain tak lepas dari sosok almarhum orangtuanya. Ibunya, Hajjah Jahrah, adalah guru yang tetap mengajar dan mengunjungi majelis taklim meski badannya tak sehat setelah stroke.
Begitu pula ayahandanya, Haji Muhammad Djuani, nyaris tak pernah absen mengunjungi kelompok pengajian hingga ke berbagai pelosok desa di Pulau Lombok. Padahal, sang ayah harus beraktivitas di kursi roda setelah kakinya diamputasi dan ginjalnya tinggal satu.
Satunya perkataan dan perbuatan yang dicontohkan orangtuanya itu membuat Hasanain merasa malu kalau cuma hidup "berleha-leha".
Rasa malu itu pula yang mengisi benak Hasanain, warga pertama Nusa Tenggara Barat yang dinominasikan RMFA sebagai peraih Ramon Magsaysay Award, saat mendengar kabar tersebut."Rasanya masih ada orang lain yang lebih berhak daripada saya," kilahnya.
Namun, di sisi lain, penghargaan itu dianggapnya sebagai tantangan. "Penghargaan itu seakan melecut dan menyuruh saya bekerja lebih keras lagi," tuturnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 10 AGUSTUS 2011

Senin, 08 Agustus 2011

Berry Herlambang : Juragan "Servis" Jalur Pantura


BERRY HERLAMBANG

Lahir : Bandung, 13 September 1965
Istri : Amalia Agustina (43)
Anak :
- M Widan Kusuma Perdana (17)
- M Fahmi Mirza Ibrahim (14)
- M Daffa Lazuardi (6)
Pendidikan :
- SD sampai SMA di Bandung
- Kursus otomotif di Shizuoka, Jepang, 1986-1989
Penghargaan :
- Tokoh penyelenggara kursus nasional, 2008
- Penyedia kursus otomotif terbaik nasional, 2008
- Kursus berprestasi tingkat Nasional, 2006
- Kursus berprestasi tingkat Jawa Barat, 2006
Organisasi :
- Konsorsium otomotif Kemdiknas, 2006-kini
- Ketua perumus kurikulum teknik mengemudi, Kemdiknas, 2011
- Ketua Asosiasi Kursus Mengemudi Indonesia, 2011

Sejak tahun 2006, setiap menjelang Idul Fitri, Berry Herlambang membuka layanan gratis bagi pemudik yang menggunakan sepeda motor. Sebagian pemudik dari Jakarta yang melintasi jalur pantai utara Jawa Barat mengenang dia sebagai "pelepas dahaga" di tengah teriknya matahari jalur itu. Sembari menunggu sepeda motor mereka diperbaiki, para pemudik melepas penat sambil menikmati pijatan gratis.

OLEH RINI KUSTIASIH & NASRULLAH NARA

Itulah salah satu kiprah Berry Herlambang, pemilik dan pengelola Lembaga Pendiidikan Teknik Eka Jaya Berrindo di Cirebon, Jawa Barat. Ia tengah bersiap-siap membuka layanan gratis itu di Jalan (By Pass) HR Dharsono , Cirebon.
"Beberapa calon pemudik yang pernah kami layani sudah menelpon untuk memastikan apakah layanan gratis itu kembali dibuka," ujar Berry pekan lalu.
Sebanyak 15-20 pemuda yang dia siapan untuk misi sosialnya itu adalah para murid terbaik dari lembaga kursus yang diwarisinya dari sang ayah, Haji Eddy Wanili Hardjadinata (76). Sekitar 52 tahun silam, saat sang ayah mendirikan lembaga kursus itu, semangat ebrbagi dengan sesama selalu ditekankan.
"Berbagi" di sini berarti memberikan peluang kepada anak-anak dari kalangan kurang mampu untuk mengenyam kecakapan dan keterampilan otomotif. Pada tataran yang konkret dan kontekstual, kepada pemudik yang belum mampu pulang kampung dengan mobil, semangat "berbagi" itu diberikan lewat layanan perbaikn sepeda motor tanpa meminta bayaran.
"Berjalan sejauh ratusan kilometer pastilah mesin motor itu 'kelelahan' dan perlu dicek demi keselamatan perjalanan.Kami senang bisa membantu orang yang perlu pertolongan," ujar Berry.
Lewat lembaga pendidikan non formal yang dikelolanya, Berry menampung lulusan SMP-SMA untuk diberi bekal keterampilan. Uniknya, walau berstatus kursus, lembaga ini tak sekadar menekankan muatan praktis, tetapi juga memberikan wawasan teori seputar otomotif.
Berry juga menerima calon mekanik perempuan. Fatmawati (19), misalnya, karena tak punya biaya, ia mengikuti kejar paket C di Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon. Kondisi ayahnya yang sakit-sakitan lalu meninggal menjadikan Fatmawati tulang punggung keluarga.
"Senang bisa belajar soal rangka dan isi, juga kelistrikan dalam mesin motor dan mobil," ujar Fatmawati yang sempat bekerja di sebuah bengkel modifikasi mobil di Jakarta.
Untuk menjadi mekanik otomotif andal, peserta didiknya mengikuti empat tahapan. Mereka belajar teori dan praktik di kelas, lalu diminta bedah kasus alias langsung praktik memperbaiki motor atau mobil di lingkungan tempat tinggal masing-masing.
sekalipun baru belajar, mereka tak bisa main-main sebab hasil kerja mereka dievaluasi."kalau pekerjaan mereka baik, pasti untung karena makin banyak pelanggan bakal ke rumah mereka,"kata Berry.
Setelah itu, peserta yang dinilai mumpuni dibuatkan tempat untuk membuka bengkel gratis selama waktu tertentu di kampungnya. Bengkel gratis bisa dibuka di masjid kampung, kantor desa, atau tanah lapang. Tujuannya, membangun sikap mandiri dan tanggung jawab mereka atas pekerjaan.
Tahap keempat, magang. Setiap calon mekanik harus magang kerja di bengkel swasta."Pada tiga tahapan sebelumnya mereka diajari mandiri dan menjadi manajer atas usahanya sendiri. Setelah itu, mereka diajari bagaimana bekerja pada orang lain," kata Berry.
Berbekal keterampilan otomotif, peserta kursus diharapkan berwirausaha. hingg akini, dalam usia 52 tahun Eka Jaya Berrindo sudah mencetak lebih dari 50.000 alumnus mekanik otomotif dan 150.000 alumnus teknik mengemudi.
Berry juga melatih korban gempa dan tsunami di Aceh agar bisa bangkit dengan keterampilan otomotif. Hal serupa dilakukannya untuk korban gempa di Pangandaran, Jawa Barat, dan Yogyakarta.
Pascabanjir melanda Jakarta tahun 2007, sejumlah pemuda Ibu Kota juga mengenyam pendidikan keterampilan ini. Oleh Kementerian Pendidikan Nasional, ia kerap dilibatkan untuk membekali kecakapan otomotif bagi anak-anak penghuni lembaga pemasyarakatan di sejumlah daerah.
Anak-anak dari keluarga miskin yang dulu dibimbingnya banyak yang membuka usaha bengkel sendiri. Misalnya, Iib Muhibah yang menjadi manajer pada showroom otomotif di Cirebon.

Indahnya berbagi

Jiwa sosial Berry sudah terbangun sejak masa kecil. ia mengenang ibunya, Henny Suwaendah, sebagai sosok yang diteladani.
"Saya menunggu Ibu pulang belanja, lalu membantunya membagikan sebagian barang dagangan (bahan pokok) kepada orang yang membutuhkan. Saat orang-orang menerima pemberian itu dan bergembira, saya ikut senang. Di situ saya merasakan indahnya berbagi," kata anak kelima dari enam bersaudara ini.
Aktivitas Berry di bidang otomotif tak lepas dari peran ayahnya, Eddy Wanili Hardjadinata. Usaha kursus mengemudi dan mekanik bidang otomotif dirintis ayahnya pada 1959 yang ditandai dengan pendirian Eka Jaya di Bandung. Cabang lain kemudian dibuka di Tasikmalaya (1971), Cirebon (1974), dan Garut (1985).
Berry yakin, kehidupan manusia tak pernah lepas dari transportasi. Prinsip itu terilhami oleh kutipan sebuah iklan otomotif: "Tidak semua anak bercita-cita menajdi diplomat. Tetapi setiap anak pasti memimpikan saatnya ia menjadi seorang pengemudi, tidak hanya seorang calon driver."
Di benaknya, selama sarana transportasi ada, selama itu pula diperlukan lembaga pendidikan yang membekali calon pengemudi, bagaimana berkendara dengan aman. Sebab, mengemudi bukan asal banting setir atau injak gas. Di sini diperlukan keterampilan, pengetahuan, sikap, dan kebiasaan berlalu lintas yang baik dan benar.
Fakta bahwa kecelakaan lalulintas sebagai salah satu "pembunuh masal" yang mengerikan di negeri ini mendorong Berry terus mengampanyekan standardisasi pendidikan mengemudi aman. Ia memandang standardisasi nasional mutlak agar tidak sembarang orang mengajarkan mengemudi dengan menjanjikan surat izin mengemudi (SIM). Ia menekankan prosesnya, bukan tujuan instan memperoleh SIM.

Kamis, 04 Agustus 2011

Ede Kadarusman : Mengembalikan Keunggulan Minyak Atsiri Garut


EDE KADARUSMAN

Lahir : Garut, 19 Agustus 1956
Istri : Iis Jubaedah (51)
Anak :
- Ahmad Nur Fathurudin (29)
- Iman Mutaqin (26)
- Nida Hamida (24)
- Ikhsan Taufik (22)
Pendidikan :
- SMA 1 garuta, lulus 1976
- Akademi Akuntansi Bandung, 1984
- Fakultas ekonomi Universitas Indonesia, 1987
Pencapaian :
- Ketua Asosiasi Minyak Atsiri Jawa Barat
- Anggota Dewan Atsiri Indonesia
- Ketua Koperasi Akar Wangi Garut

Minyak atsiri dari penyulingan vetiver bak emas cair bagi penduduk di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Teknik penanaman vetiver yang mudah, bebas hama, dan harga jual minyak atsiri yang tingi membuat banyak warga tertarik mengembangkannya. Minyak atsiri biasa digunakan perusahaan pembuat minyak wangi dan perisa makanan.

OLEH CORNELIUS HELMY

Menurut Ede Kadarusman, petani vetiver di Desa Sukakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten garut, terdapat 2.400 hektar lahan vetiver di Kabupaten Garut yang tersebar di Kecamatan Samarang, Bayongbong, Leles, Cilawu, dan Kecamatan Pasirwangi. Namun, yang tertanami hanya 1.700 hektar.
Dengan lahan seluas itu, Kabupaten garut menyuplai 50 ton-60 ton minyak atsiri per tahun bagi dunia dari total kebutuhan 250 ton per tahun. Ekspor sudah dilakukan ke Jerman, Perancis, India, Srilanka. Jumlah itu hanya kalah dari Haiti yang menghasilkan 100 ton minyak atsiri per tahun.
Dengan perhitungan tersebut, ada 90 ton-100 ton permintaan minyak atsiri dunia belum teerpenuhi."Celah itu yang tengah saya dan teman-teman petani vetiver di Garut coba rintis," kata Ede, yang juga Ketua Koperasi Akar Wangi Garut.
Ede bukan generasi pertama petani vetiver di Garut. Dia adalah cicit Haji Tasdiq, pribumi pionir penyulingan vetiver di Desa Sukakarya, bekerja sama dengan tuan tanah Belanda bernama Mr Haag, sejak tahun 1918. Saat itu, minyak vetiver dijual kepada tuan dan nyonya Belanda yang sengaja singgah di Garut.
"saking raminya, bahkan di sini sempat ada hotel untuk orang eropa. Tetapi sayang, bangunannya sudah hancur akibat agresi militer tahun 1947. Kini yang tersisa tinggal sedikit fondasinya," katanya.
Agresi militer Belanda juga menghancurkan bekas pabrik penyulingan dan berimbas pada hengkangnya mayoritas orang Eropa dari Garut. Akibatnya, bisnis penyuingan pun surut. Baru tiga tahun kemudian, Tasdiq kembali memulai usaha penyulingan dengan ketel buatan penyulingan sederhana yang dibuat sendiri.
"Perlahan, dengan berbagai penyempurnaan, mulai banyak warga menanam kembali minyak vetiver yang memicu tumbuhnya penyulingan di sekitarnya. Kualitas pun terjaga dilihat dari harganya yang tinggi. Kini 1 kilogram minyak vetiver dijual rata-rata di atas Rp 1 juta," kata Ede.

Petani alpa

Keuntungan besar, cerita Ede, pernah membuat petani lupa. Perlahan, keberadaan vetiver diperas tanpa henti. Perhatian pada kesuburan tanah dan kualitasnya dikesampingkan. Akibatnya, kualitas penyulingan vetiver menurun.
Bentuk alpa itu terlihat dari pola tanam yang tidak menggunakan pengukuran jarak tanam yang tepat. Mayoritas petani sembarangan menanam vetiver dengan membuat jarak terlalu dekat antartanaman. Akibatnya, pertumbuhan vetiver tidak maksimal. akar menjadi pendek dan hanya bisa dimanfaatkan sedikit untuk disuling.
Selain itu, petani juga menggunakan pupuk kimia dengan pertimbangan praktis. Akibatnya, tanah terkikis kesuburannya karena tidak kuat menahan kerasnya unsur kimia dari pupuk.
"Panen juga tidak dilakukan sesuai waktu ideal. Petani ingin mnedapatkan untung lebih cepat sehingga memanen vetiver kurang dari 12 bulan," kata Ede.
Selain itu, dengan alasan hemat bahan bakar, tingkat pemanasan penyulingan pun diperbesar. Dari idealnya 2 bar menjadi 5 bar. Di satu sisi cara itu bisa menghemat bahan bakar dan waktu.
Bila dipanaskan 2 bar, dibutuhkan 450 liter solar atau oli bekas untuk menyuling 1 ton akar kering vetiver. Waktu yang dibutuhkan sekitar 20 jam. Sementara dengan menggunakan pemanasan 5 bar, hanya dibutuhkan 350 liter solar atau oli bekas untuk menyuling 1 ton akar kering vetiver. Waktu yang dibutuhkan pun sekitar delapan jam lebih cepat.
Akan tetapi, harga minyak penyulingan 5 bar biasanya jauh lebih murah karena berbau gosong dan keruh. Harga jualnya sekitar Rp 1,2 juta per kilogram. Sementara hasil penyulingan 2 bar jauh lebih mahal, yakni Rp 1,7 juta per kilogram, karena hasilnya lebih jernih.
Kondisi seperti itu mendorong Ede mengajak petani kembali pada pola tanam berbasis warisan ilmu petani zaman dulu. Tak mudah memang, sempat muncul suara penolakan. "Kalau sudah ada cara yang mudah, mengapa harus diganti dengan yang rumit?" tutur Ede menirukan ucapan warga saat itu.

Organik

Ede tak menyerah. Di lahan seluas 20 hektar, ia mempraktikkan sendiri metode tanam yang benar. Ia memperhitungkan jarak antartanaman, sekitar 60 x 40 sentimeter.Tujuannya, memberikan kesempatan pada akar vetiver utuk berkembang biak.
Hasilnya, ia mendapatkan akar yang lebih panjang, sekitar 7 ton kering dengan panjang 50 sentimeter-1 meter. "Hasli ini masih jauh dari vetiver di Thailand yang akarnya mampu mencapai 2 meter," katanya.
Ede juga konsisten hanya menggunakan pupuk organik. Bahan-bahannya dari kotoran kambing atau pembusukan daun vetiver dan akar vetiver penyulingan. Pemupukan dilakukan rutin dan terjadwal, antara pukul 07.00 dan 12.00
Selain pola tanam, untuk meningkatkan penjualan di luar negeri, ia mulai mengembangkan metode penanaman organik demi mendapatkan sertifikasi dari The Institute for Marketology, yang berbasis di Swiss, sejak Juli 2011.
Ede bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Indonesia dan lembaga Swiss Contact mengembangkan metode yang diklaim pertama dilakukan di Indonesia. Cara itu diyakini akan meningkatkan kualitas vetiver dan harga jual minyak atsiri di Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa. Tahap pertama, penanaman organik dilakukan pada lahan vetiver seluas 5 hektar.
"Sebenarnya teknis di lapangan sama dengan yang sudah biasa dilakukan petani. Selain penggunaan kompos dan bahan alami, ada pengaturan jarak tanam dan pemilihan bibit. Namun, kami harus lebih tekun mencatat konsep dan metode tanamnya," katanya.
Ke depan, Ede berharap apa yang dilakukan bisa menginspirasi petani vetiver lainnya. Alasannya, jika menggunakan metode yang tepat, dengan sendirinya vetiver bisa memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi.
"Dengan menjaga agar lahan selalu subur dan konsumsi pasar tetap terjaga, petani tentunya sudah mewariskan 'emas' yang berharga bagi anak cucu kita kelak," katanya.

dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 5 AGUSTUS 2011

Rabu, 03 Agustus 2011

Kegelisahan Ujang dan Nasib Petani


Data Diri

Nama : Ujang Ahmad Zaenal Muttaqin
Lahir : Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 3 April 1970
Istri : Imas Nurhayati (32)
Anak :
- Elva Latifah (7)
- Gina Samsiah (4)
Pendidikan :
- Sekolah Dasar Negeri Jambenenggang, Kabupaten Sukabumi
- Madrasah Tsanawiyah Negeri Sukabumi
- Madrasah Aliyah Negeri Syamsul Ullum Sukabumi

Petani konvensional di tanah Sunda umumnya mengenal falsafah "kadenge, kadeuleu, karampa, karasa" atau mendengar, melihat, meraba, dan merasakan. Bagi Ujang Ahmad Zaenal Muttaqin, falsafah yang dianut oleh para petani tradisional tersebut menjadi hambatan serius ketika dia ingin mengajak mereka untuk bertani organik.

Oleh AGUSTINUS HANDOKO

Para petani konvensional harus mendengar, melihat, dan meraba dulu baru mereka percaya terhadap teknologi baru dalam bertani. Susahnya minta ampun untuk meyakinkan petani konvensional bahwa bertani organik dengan cara budidaya baru itu merupakan cara terbaik guna meningkatkan kesejahteraan mereka," kata Ujang, ayah dua anak ini.
Kegelisahan Ujang terhadap nasib petani di desanya Jambenenggang, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mulai muncul sekitar akhir tahun 2000. Ketika itu Ujang baru kembali dari Jepang, setelah bekerja di sebuah pabrik sejak tahun 1997.
Ketika di Jepang, setiap akhir pekan Ujang menyempatkan diri magang di sebuah sentra pertanian. Ini bisa dia lakukan dengan rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi. Di sini dia melihat pertanian yang sudah sistematis dikerjakan mesin. Petani di Jepang hanya menjadi operator sejak membajak sawah, menyemai, menanam, hingga memanen.
"Produktivitas lahan mereka tinggi, mencapai 11 ton per hektar waktu itu," ceritanya.
Pulang ke Indonesia, Ujang membuang mimpinya untuk melihat petani di kampungnya mengoperasikan mesin di sawah. Namun, muncul keyakinannya bahwa petani bisa meningkatkan taraf hidup jika mereka mau.
"Dari teknologi, jelas kita ketinggalan (dari Jepang). Tapi, kalau petani mau mengubah pola bertaninya, saya yakin mereka bisa meningkatkan taraf hidup," kata Ujang.

Petani miskin

Lulusan Madrasah Aliyah Negeri Syamsul Ullum Sukabumi itu mendapati petani di sekitarnya sebagai petani miskin yang penghasilannya amat kecil.
"Di lahan seluas 1 hektar, petani penyewa hanya mendapat pemasukkan sebesar Rp 2 juta selama satu musim, atau sekitar Rp 500.000 per bulan," kata Ujang.
Penghasilan itu dihitung dari ongkos produksi,mulai dari pupuk dan pengolahan lahan sebesar Rp 2,2 juta per hektar serta sewa lahan Rp 7 juta per hektar per musim.
hasil panen mereka hanya 5,6 ton per hektar dan dijual dengan harga Rp 2.000 per kilogram. Dengan demikian, panen semusim hanya memberi hasil Rp 11,2 juta. Setelah dikurangi ongkos produksi dan sewa lahan, petani hanya memperoleh Rp 2 juta per musim.
"Kami mengenal istilah, petani hanya timbul daki setelah bertani karena mereka memang tidak mendapat apa-apa," kata Ujang.
Dengan falsafah yang dianut oleh para petani konvensional itu, dia harus memulai lebih dulu bagaimana bertani organik dan budidaya yang baik hingga bisa memberikan keuntungan.
Ketika memulai cara bertani organik, banyak petani konvensional yang mencemooh Ujang. Apalagi, di masih termasuk "anak kemarin sore" di kampung Kebonpedes.
banyak petani yang mengatakan bahwa mereka lebih dulu bertani dripada saya, jadi tentunya merasa lebih tahu. Saya diam saja, tetapi tetap yakin ketika melihat hasilnya, mereka akan percaya," katanya.
Ujang kemudian memulainya dengan mengganti pupuk pabrik dengan pupuk kompos dari tumbuh-tumbuhan hijau dan granole (pupuk dari kotoran hewan yang dicampur dengan dekomposer). Ujang memerlukan waktu tiga musim untuk mengakhiri penggunaan pupuk pabrik karena kondisi tanah belum terbiasa.
Dia memproduksi sendiri granole dengan maksud agar tak bergantung pada pihak manapun. Dia mendapatkan kotoran hewan dari warga yang beternak sapi dan para tetangga yang memiliki kambing dan ayam.
Apabila menggunakan kompos, sawah seluas 1 hektar memerlukan sekitar 5-7 ton. Adapun dengan granole, sawah luas yang sama hanya memerlukan 500 kilogram sampai 1 ton. Kebutuhan ini tergantung dari kondisi keasaman tanah.

Beralih ke organik

Selain beralih ke pertanian organik, Ujang juga memulai budidaya bertani yang baru, yakni dengan mengurangi penggunaan benih padi.
"Petani konvensional biasanya menggunakan hingga delapan bibit dalam satu lubang. Ketika tumbuh maksimal hanya 18 anakan yang jadi karena bibit sulit tumbuh," katanya.
Adapun cara yang dilakukan Uajng adalah dengan menggunakan satu-dua bibit saja per lubang. Ternyata setelah tumbuh, tanaman itu bisa menghasilkan 25 anakan per lubang.
Dengan cara itu, dia hanya memerlukan paling banyak 8 kilogram benih per hektar. Bandingkan dengan petani konvensional yang memerlukan benih sampai 35 kilogram per hektar.
Masih belum puas, Ujang berusaha menambah pengetahuan bertaninya dengan mengikuti Sekolah Lapangan Pengelola Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kebonpedes.
Terbukti, Ujang bisa mendongkrak produktivitas tanaman padinya menjadi 8 ton lebih per hektar.
Adapun ongkos produksi yang diperlukan Ujang untuk mengolah 1 hektar lahan hanya Rp 2,1 juta. Ditambah sewa lahan Rp 7 juta, dia hanya menghabiskan biaya ssebanyak Rp 9,1 juta. Namun, hasil panen dan harganya bisa naik signifikan.
Dengan hasil panen padi organik pada musim terakhir sebanyak 8,82 ton per hektar dan harga gabah basah Rp 2.400 per kilogram, Ujang memperoleh penghasilan Rp 21,168 juta. Jumlah itu, setelah dikurangi modal kerja, masih bersisa Rp 12,068 juta dalam semusim, atau Rp 3 juta per bulan.
Melihat keberhasilan Ujang, puluhan petani konvensional dan pemuda pengangguran di Kebonpedes mulai tertarik menekuni pertanian organik.
Dalam satu musim terakhir, delapan kelompok tani setempat meminta Ujang mendampingi mereka mempraktikkan cara bertani organik. Setiap kelompok tani itu mempunyai anggota 20-25 petani.
Seiring dengan makin banyaknya petani konvensional yang menerapkan pertanian organik dan cara budidaya baru itu, Ujang yakin petani di Kebonpedes akan mandiri.
"Apa lagi yang mau dibantah? Pupuk sudah bisa kami produksi sendiri dan harga gabah padi organik juga jauh di atas harga padi nonorganik. Kalau ada kemauan, sebenarnya tidak sulit menjadi petani mandiri," kata Ujang.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 27 JULI 2009