Rabu, 18 April 2012

Barlian: Perjuangan Mantan Pembalak Liar

BARLIAN
Lahir: Mukomuko, Bengkulu, 7 November 1971
Pendidikan: Paket C (setara SMA)
Istri: Dahlia (35)
Anak:
- Selvi Lia Utami (16)
- Wines Krismone (13)
- Novelia Sagita (9)
Pekerjaan: Petani
Organisasi:
- Koordinator Aliansi Konservasi Alam Raya (AKAR) Network
- Dewan Daerah Walhi Bengkulu
- Ketua Generasi Sungai Ipuh dan sekitarnya (Genesis) Mukomuko

Masa reformasi yang berlanjut dengan krisis moneter tahun 1997-1998 membuat Barlian mulai menjadi pembalak liar. Tidak tanggung-tanggung, dia menebangi pohon-pohon yang tumbuh di Taman Nasional Kerinci Seblat, Bengkulu. Tetapi, si pembalak liar itu kemudian insaf, sekarang justru berjuang demi kelestarian hutan.

OLEH ADHITYA RAMADHAN 

Semula Barlian bekerja sebagai tukang survei kayu yang biasa diperintah cukong kayu untuk mencarikan lokasi pembalakan. Sebagai tukang survei, dia juga menjamin agar kayu tebangannya bisa dibawa keluar dari hutan. Namun, seiring berjalannya waktu, Barlian kemudian menjadi pembalak liar.
     Ia bergabung dalam satu kelompok beranggotakan lima warga Desa Sungai Ipuh, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu.
Mereka menebangi pohon di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
     "Sekali mencari kayu, kami bisa sampai 15 hari di dalam hutan. Hasilnya, 15-20 meter kubik kayu biasa kami peroleh dalam sekali masuk hutan. Kayu yang umumnya berdiameter sebesar antena parabola itu kami hanyutkan di sungai, menuju pabrik pengolahan kayu milik cukong," ceritanya.
     Dalam kurun satu-dua bulan, Barlian bisa mendapat 50 meter kubik kayu. Keuntungan bersih yang dia peroleh dari per meter kubik kayu Rp 100.000-Rp 200.000. Dengan uang hasil pembalakan liar itulah, ia menghidupi keluarganya. Menurut dia, ketika itu mendapatkan uang puluhan juta rupiah pun bukan perkara sulit bagi seorang pembalak liar.
     Menjadi pembalak liar selama lima tahun membuat hidup Barlian dan keluarga lebih dari cukup untuk ukuran penduduk desa. Bahkan, karena uangnya banyak, Barlian sering meminjamkan uang kepada tetangga yang membutuhkan.
     Kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di Desa Sungai Ipuh tahun 2004 menjadi titik balik bagi Barlian. Ketika itu, ia bersama warga di desanya bertekad menolak perusahaan yang dianggap akan mencaplok kebun kayu manis dan karet masyarakat. Luas areal yang dibutuhkan perusahaan perkebunan kelapa sawit waktu itu mencapai 4.000 hektar.
     Setahun penuh Barlian berjuang bersama masyarakat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu menolak kehadiran perusahaan itu. Perampasan alat-alat milik perusahaan dan pengusiran karyawan perkebunan menjadi hal yang kerap terjadi.
     Selama itu pula Barlian tidak pergi ke hutan menebangi pohon. Uang hasil dari pembalakan liarnya pun tersedot habis untuk  perjuangan menolak perkebunan. Ia hanya mengandalkan hasil panen dari sawah seluas 0,5 hektar. Tak ada lagi penghasilannya dari menjual kayu.
Pengorbanan mereka tidak sia-sia. Setelah setahun berjuang, akhirnya izin perusahaan perkebunan itu dicabut.

Wawasan terbuka

     Interaksi yang intensif bersama Walhi dalam upaya menolak perusahaan  perkebunan kelapa sawit membuat wawasan Barlian yang tidak lulus SMA menjadi lebih luas. Dia pun sadar, pembalakan liar akan merusak hutan dan berakibat buruk pada lingkungan. Berbagai seminar dan pelatihan yang diadakan Walhi lalu diikutinya. Dari sinilah pengetahuan dan kesadarannya akan pentingnya kelestarian hutan mulai terbangun.
     "Waktu menjadi pembalak liar, saya benar-benar tidak terpikir akan seperti apa dampaknya kalau hutan kita rusak. Waktu itu, saya hanya berpikir bagaimana menafkahi keluarga, itu saja," ujarnya.
     Memang BArlian mengaku sempat pulaterpikir untuk kembali menekuni pekerjaan sebagai pembalak liar. Namun, pikiran itu dia buang jauh-jauh saat mengingat dampak yang diakibatkan. Kerusakaan lingkungan pasti akan terjadi dan membawa akibat buruk bagi desanya. Apalagi, Barlian menambahkan, uang hasil penjualan kayu ilegal itu "panas". Ia bisa cepat mendapatkannya, tetapi cepat pula habisnya.
     Selain itu, akibat pembalakan liar pun sudah terasa di desanya. Sungai Selagan di Desa Sungai Ipuh, yang dulu airnya deras, belakangan ini debitnya menurun jauh. Padahal, kawasan Kecamatan Selagan Raya, termasuk Desa Sungai Ipuh, merupakan salah satu sentra produksi beras di Kabupaten Mukomuko.
     Maka, hari-hari Barlian sebagai pembalak liar kayu pun berakhir. Ketika waktunya bercocok tanam, dia mengolah sendiri sawahnya di desa yang luas tak sampai satu hektar. Di luar itu, dia menggunakan waktunya untuk mengadvokasi masyarakat tentang TNKS melalui lembaga Aliansi Konservasi Alam Raya (AKAR) Network.
     Barlian termasuk sosok yang gencar menyadarkan masyarakat  di desanya untuk peduli dan ikut menjaga hutan. Pertemuan warga di desanya, atau saat berkumpul dengan warga desa lainnya di warung, ladang, pesta pernikahan, dan khitanan pun, dia jadikan sarana penyampaian gagasan yang efektif.

Menjelajah TNKS

     Walaupun usianya tak lagi muda, semangat Barlian melindungi TNKS dari kerusakan patut diacungi jempol. Sudah hampir semua batas-batas TNKS seluas lebih kurang 1,3 juta hektar di empat provinsi, yakni Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, dan Bengkulu telah dijelajahinya.
     Dengan menggunakan sepeda motor, dia berkeliling untuk menjaga hutan. "Sudah habis dua motor saya. Motor saya hancur untuk menjelajahi hutan," ujar Barlian sambil tertawa.
     Belakangan ini, ambisi sejumlah pemerintah daerah yang ingin membangun 33 ruas jalan menembus TNKS menjadi fokus perhatian Barlian bersama AKAR Network. Menggunakan uang pribadi, dia pergi ke berbagai tempat guna membangun jejaring sosial penolakan ambisi politik para elite daerah itu. Hal ini termasuk berjuang ke Kementerian Kehutanan di Jakarta.
     Hasilnya, sementara ini ruas Kambang-Muara Labuh sepanjang lebih kurang 40 kilometer, yang menghubungkan Kabupaten Pesisir Selatan dan Solok Selatan di Sumatera Barat, telah ditolak Menteri Kehutanan. Namun, masih ada 32 ruas jalan tembus TNKS yang masih perlu mereka perjuangkan.
     "Di atas semua itu, saya bangga karena kesadaran warga desa akan pentingnya pelestarian hutan sudah tumbuh," kata Barlian.
     Kampanye pelestarian taman nasional yang dilakoninya, bagi Barlian, tak akan pernah menemui kata akhir. Alasannya, laju kerusakan hutan masih terlalu cepat dibandingkan dengan upaya pemulihannya.
     "Tampaknya akan selamanya hari-hari saya diisi dengan penyadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian hutan," kata Barlian menegaskan tekadnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 APRIL 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar