Senin, 23 April 2012

Rosarita Niken Widiastuti: Menyapa Rakyat, Merawat Tanah Air

ROSARITA NIKEN WIDIASTUTI
Lahir: Yogyakarta, 30 Oktober 1960
Pekerjaan: Direktur Utama Radio Republik Indonesia
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Sosiatri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah
  Mada, 1984
- S-2 Jurusan Sosiologi Komunikasi Fisipol UGM, 2004
Suami: Ir W Priyosembodo (55)
Anak:
- C Rahadian Pradana Swangga (24)
- V Nitya Wikaniswara (20)
-  Y Sista Wikaniswara (18)

Dalam sejarah Radio Republik indonesia, Rosarita Niken Widiastuti tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi direktur utama lembaga penyiaran itu. Niken bersama seluruh angkasawan RRI setia menyapa rakyat di berbagai pelosok negeri setiap hari.

OLEH CHRIS PUDJIASTUTI & FRANS SARTONO

Rosarita Niken Widiastuti rupanya kukuh benar memegang semboyan RRI: "Sekali di udara tetap di udara". Ia rela tinggal terpisah dengan keluarga demi RRI yang telah 30 tahun menjadi bagian dari hidupnya.
     Suami dan anak bungsunya tinggal di Yogyakarta, kota asal Niken dan suami. Anak sulungnya bekerja di Palu, Sulawesi Tengah. Anak keduanya kuliah di Bandung, Jawa Barat. Sedangkan Niken berada di Jakarta. Karena itulah, setiap akhir pekan Niken kembali ke Yogyakarta.
     Keterpisahan ruang bukan masalah bagi seorang angkasawan seperti Niken karena siaran RRI dengan 77 stasiun radio yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia menjangkau berbagai wilayah negeri ini.
     Bukankah tekad menyapa rakyat itu terucap setiap hari dalam pembuka siaran,   ".....Saudara pendengar di seluruh Nusantara atau di mana pun suara kami dapat ditangkap...."
     Itulah yang dilakukan  Niken bersama angkasawan RRI. Bermarkas di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, RRI berusaha merengkuh pendengar hingga ke pulau-pulau terpencil yang boleh jadi belum pernah dijamah orang-orang penting di Jakarta.
     RRI, misalnya, melayani pendengar di Tahuna. Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Sekitar 100.000 warga Tahuna menjadikan radio tak sekadar media massa, tetapi juga sarana komunikasi personal. Warga Tahuna mengudarakan kebutuhan mereka akan semen lewat RRI. lalu, pemasok di Manado mengabarkan pengapalan semen melalui RRI pula.
     "Dari Tahuna ke wilayah Filipina hanya perlu sekitar satu jam dengan speedboat, sedangkan ke Manado bisa sampai sembilan jam," katanya.
     Sedangkan di Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Malaysia, RRI lebih banyak mengudarakan informasi yang berkaitan dengan rasa kebangsaan. RRI mengudarakan lagu-lagu perjuangan untuk menumbuhkan rasa cinta Indonesia.
     Pasalnya, warga di Sebatik bisa menangkap siaran radio dari Malaysia dengan jelas. Kekuatan pemancar radio Malaysia bisa 25-40 kilowatt, cukup penetratif menjangkau telinga warga di perbatasan itu.
     "Kalau RRI tidak gencar, lalu bagaimana kita bisa menyalahkan warga kalau mereka tidak paham Pancasila, tidak tahu presidennya? apalagi berbagai kebutuhan sehari-hari warga pun praktis tersedia dari Malaysia," cerita Niken.

Sabuk pengaman

     Tak hanya melayani pendengar lewat udara, demi rasa kebangsaan, RRI pun mengadakan berbagai acara di luar studio. RRI mengadakan lomba menghafal Pancasila dan lomba menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan hadiah radio transistor dan bendera Merah Putih.
    "RRI itu bisa dibilang sabuk pengaman informasi di perbatasan. Ibaratnya, kalau patok tanah dipindahkan negara tetangga, rasa kebangsaan kita pasti tergugah," katanya.
     Niken lalu mengajak kita bertimbang rasa bagaimana kalau informasi yang dipancarkan radio negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia, mampu memengaruhi pikiran, karakter, dan perilaku warga negara Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan.
     "Kalau RRI tidak kuat, lalu 'patok pikiran' informasi warga kita di perbatasan itu diambil bangsa lain, ini berbahaya. Ini bisa mengubah pola pikir masyarakat perbatasan terhadap bangsanya sendiri, Indonesia," ujar Niken yang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk penyediaan lahan dan pembangunan stasiunnya.
     Itulah mengapa sejak tahun 2008 pendirian stasiun penyiaran di daerah perbatasan menjadi prioritas RRI. Ini pula yang terus dikembangkan Niken, yang menjadi Dirut RRI sejak Oktober 2010.
    Maka, sejak pendirian stasiun penyiaran di Entikong, Kalimantan Barat, menyusul pula pendirian stasiun di daerah perbatsan lainnya, seperti  Nunukan (Kalimantan Timur), Tanjung Pinang (Riau), Skow, Boven Digoel, Kaimana (Papua), Atambua (Nusa Tenggara Timur), dan Saumlaki (Maluku).
     Selain mendirikan stasiun di daerah perbatasan, RRI juga mendirikan perwakilan di berbagai negara. Perwakilan RRI di Hongkong, misalnya, diperlukan antara lain untuk mewadahi komunikasi bangsa ini dengan warganya yang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
     "Kami membuat acara yang memungkinkan mereka berkomunikasi dengan keluarga di Tanah Air. Kami juga memediasi bila terjadi masalah antara TKI dan perusahaan atau pejabat instansi terkait," kata Niken.
     Informasi dari para kontributor itu muncul antara lain lewat acara "Kiprah Anak Bangsa" dan "Kampung Halaman". Para kontributor RRI di luar negeri itu berasal dari latar belakang yang beragam.
     Di Hongkong, misalnya, relawannya TKI lulusan SMP. Di Taiwan, kontributor RRI adalah mahasiswa Indonesia yang tengah studi S-2 dan S-3. Di India, wakil duta besar menjadi kontributor, sedangkan di Jepang, kontributor bergelar doktor dan dosen.

Perempuan pertama

     Niken mengawali karier sebagai penyiar RRI di Yogyakarta selama sembilan tahun sejak 1982. Alkisah suatu kali Niken akan mengikuti lomba menyanyi di RRI. Saat itu secara tak sengaja ia membaca pengumuman tentang lowongan bekerja di RRI. Itulah langkah pertamanya menjadi angkasawati. Karier Niken terus menanjak hingga menjadi direktur utama.
     Kecintaannya pada radio antara lain muncul saat banyak orang mengatakan, RRI tak lagi punya pendengar. Waktu itu, tahun 1987-1988, bersama temannya, Darmanto Kecik, Niken dengan upaya sendiri mengadakan penelitian. Dia menyebarkan 1.000 kuisoner. Hasilnya, 70 persen responden masih mendengarkan RRI.
     Selain menjadi penyiar, Niken juga menjadi penulis naskah, pengarah acara, dan produser. Dia juga suka menyanyi.
     Pindah dari Yogyakarta, Niken menjadi direktur program dan produksi sejak tahun 2005 di Jakarta. Itu pilihan yang sulit karena harus meninggalkan keluarga di Yogyakarta.
     "Tetapi, suami saya bilang, inilah saatnya dia mengurus ketiga anak kami. Sebelumnya memang sayalah yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anak," ceritanya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 23 APRIL 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar