Rabu, 25 April 2012

Kliwon: Pembuat Kaki Palsu Berharga Solidaritas

KLIWON
Lahir: 12 April 1966
Pendidikan:
- SD ! Milir, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun 
- SMPN Babat Ponorogo, Jawa Timur
Istri: Sumiati (40)
Anak:
- Reli Kusuma (19)
- Reni Krisnawati (12)
- Rizki (10)
- Rizka (7)

Tumpukan fiber, bedak putih, dan kertas pola berserakan di  bangku panjang di teras belakang sebuah rumah di Desa Milir, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Tepat di bawah bangku, seorang lelaki dengan kaki kiri sebatas paha sibuk mengaduk adonan. Dialah Kliwon, pria dengan tujuh jari tangan yang membuat kaki palsu bagi penyandang cacat dengan harga solidaritas.

OLEH RUNIK SRI ASTUTI

Kaki palsu bagi penyandang cacat bagaikan lentera kehidupan. Fungsinya tak sekadar menggantikan organ yang hilang, tetapi juga menjadi penentu masa depan. Hanya dengan menggunakan kaki palsu, mereka bisa beraktivitas layaknya manusia berfisik sempurna.
     Dengan kaki palsu, mereka lebih mudah membaur di tengah masyarakat. Aktivitas mereka menjadi lincah dibandingkan dengan menggunakan penyangga tongkat atau duduk di kursi roda. Pekerjaan juga lebih mudah diraih dengan kaki buatan walaupun itu "hanya" sebagai kuli angkut, kuli bangunan, atau menggarap sawah.
     Sayangnya, di negeri ini baru sebagian kecil penyandang cacat yang maampu menjangkau harga kaki palsu. Di toko alat kesehatan, apotek, dan rumah sakit, harga kaki palsu mencapai puluhan juta rupiah. Belinya pun harus tunai. Lembaga pembiayaan perbankan ataupun non perbankan enggan membuka fasilitas kredit untuk konsumen kaki palsu.
     Ironi itulah yang mendorong Kliwon membuka usaha pembuatan kaki palsu di rumah. Walaupun modal kerja pas-pasan dengan bengkel seadanya, ia tak patah semangat. Di tempat seluas tak lebih dari 3 x 6 meter, yang diapit dapur dan kamar mandi itu, Kliwon menempa diri menjadi pembuat kaki palsu sekaligus pekerja sosial.
     Ia mengandalkan bahan serat fiber yang dikombinaikan dengan bahan lain. Sebelum memulai proses, ia mengukur kebutuhan konsumen. Setelah itu ia membuat pola, menyiapkan bahan, baru memprosesnya. Sebelum diserahkan kepada konsumen, kaki palsu dipoles dengan sentuhan estetika.
     Menekuni usaha ini sejak tahun 2005, ratusan karya dihasilkannya. Dalm sehari ia mampu membuat 2-5 kaki palsu. Ia dibantu dua orang, salah satunya penyandang cacat seperti dirinya.
     Pembeli kaki palsu buatan Kliwon tak terbatas di Jawa Timur. Ia juga mendapat pesanan dari Sulawesi dan Kalimantan. Pria yang orangtuanya meninggal sejak dia berusia tiga bulan ini tak hanya menghasilkan kaki palsu fungsional, tetapi juga kaki yang nyaman dan indah bentuknya.
     "Kaki yang fungsional itu yang penting bisa dipakai jalan meski kenyamanannya kurang. Kalau kita mau nyaman, bahannya harus yang lebih bagus. Bahannya berbeda lagi buat mereka yang ingin ada keindahannya," ujarnya.
     Sebagai perajin, Kliwon harus mewadahi keinginan konsumen yang beragam. Lazimnya, kaki palsu berwarna seperti kulit, tetapi ada pula konsumen yang ingin kaki palsu dengan aneka motif, seperti motif tato dan batik.
     Bicara tentang harga, ia tak hanya memperhatikan bahan, tetapi juga ukuran. Dunia kaki palsu mengenal dua ukuran standar, di bawah lutut dan di atas lutut.
     Harga kaki palsu di bawah lutut lebih murah, Rp 500.000 hingga Rp 6 juta. Selain bahan yang dibutuhkan lebih sedikit, kaki  di bawah lutut juga tak perlu lutut buatan. Lutut buatan berbahan besi dan dirancang dengan fungsi mirip engsel lutut yang bisa ditekuk dan diluruskan.
     Harga kaki palsu di atas lutut mulai dari Rp 7,5 juta. Di toko, apotek, dan rumah sakit, harga kaki palsu itu Rp 5 juta-Rp 30 juta.

Bisa kredit

     Harga kaki palsu buatan Kliwon pun fleksibel. Harga itu bisa ditawar dengan pertimbangan kemampuan ekonomi dan tingkat kebutuhan pembeli. Sering kali hatinyalah yang menentukan harga. Itu karena ia bersimpati pada ketidakberdayaan konsumen.
     "Saya tahu rasanya menjadi orang cacat dan miskin karena saya mengalami keduanya. Itulah kenapa saya sering tak tega melihat mereka. Asalkan cukup untuk mengganti biaya bahan baku, ya, saya suruh bawa," kata penyandang cacat bawaan ini.
     Kliwon juga memberikan fasilitas pembayaran secara kredit meski ia sendiri kesulitan modal. Besar nilai kredit tak dibatasi. Konsumen pun bisa mengangsur sesuai kemampuan. Modalnya hanya rasa percaya dan berpikir positif, tak ada agunan.
     "Alhamdulillah, pelanggan yang mengkredit tak ada yang macet, paling waktu membayarnya molor. Namanya juga rezeki, sulit ditebak. Biasanya mereka kasih kabar kalau belum bisa bayar dan minta waktu lagi," ujarnya.
     Untuk menyiasati minimnya modal usaha, ia menerapkan manajemen subsidi silang. Keuntungan dari penjualan kaki palsu kepada orang mampu ia sisihkan untuk menyubsidi pembuatan kaki palsu penyandang cacat yang miskin. Ia hanya mengambil uang untuk "belanja dapur" keluarganya.
     Kliwon menyelami betul kesulitan ekonomi penyandang cacat. Alih-alih membeli kaki palsu, bisa mencukupi kebutuhan makan saja sudah bagus.
     Kebanyakan penyandang cacat bawaan (sejak lahir) ataupun cacat karena kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja sulit mendapat pekerjaan tetap. Dunia kerja, apalagi sektor formal, jarang yang mau memberikan ruang kepada mereka.
    Ketika lulus SMP, Kliwon sulit mencari kerja. Ia menjadi preman untuk menyambung hidup. Beruntung Tuhan membimbingnya kembali. Tuhan juga mencarikan sumber ekonomi yang halal.
     Bermula dari keinginan Kliwon memiliki kaki palsu agar bisa bekerja, bungsu dari dua bersaudara ini pergi ke Ambarawa, Jawa Tengah. Dia bertemu pembuat kaki palsu yang mau membocorkan ilmunya. Sesampainya di rumah, ilmu itu ia terapkan untuk membantu penyandang cacat di sekitarnya.
     Orang-orang yang dibantu Kliwon inilah yang lalu menyebarkan berita tentang kepiawaiannya membuat kaki palsu. Dari mulut ke mulut, kabar itu menyebar sampai jauh.

Kendala

     Walaupun hasil kerjanya diterima masyarakat, Kliwon merasa karyanya belum maksimal. Salah satu sebabnya adalah keterbatasan peralatan. Hampir 90 persen pengerjaan kaki palsu itu menggunakan cara manual dengan peralatan seadanya.
     Ia ingin membeli peralatan yang canggih agar kualitas karyanya lebih bagus. Kalaupun tak ada bantuan modal yang diberikan cuma-cuma untuknya, Kliwon ingin mendapat pinjaman dengan bunga. Syaratnya, bunga pinjaman tak komersial dan tanpa agunan. "Saya tak punya agunan," ujarnya.
      Ia ingin menggunakan bantuan modal sebagai pijakan awal untuk mengaryakan rekan sesama penyandang cacat. Alasannya, tak banyak pilihan kerja yang bisa mereka geluti, kecuali membuka lapangan kerja sendiri untuk merajut masa depan.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 25 APRIL 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar