SUGINEP
Lahir: Desa Sokong, 23 Mei 1963
Suami: Raidep
Putra: Tri Ristiawan (10 tahun)
Orangtua: Basaman-Begianom
Pendidikan: SD, lulus tahun 1975;SMP, lulus tahun 1978
Berbagai program kesehatan dan keluarga berencana agaknya tidak bisa berjalan mulus tanpa kehadiran seorang kader pos pelayanan terpadu. Sejak ibu mengandung, memeriksakan kehamilannya ke petugas kesehatan, proses tumbuh kembang anak usia balita, hingga ibu memutuskan memasang alat kontrasepsi tidak luput dari kawalan para kader posyandu.
OLEH KHAERUL ANWAR
"Pendeknya kalau ada ibu hamil dan melahirkan perlu bantuan, kader harus siap mengantar ke puskesmas hingga menjemput kembali ke tempat tidur di rumahnya, baru kami bisa pulang," ujar Suginep, Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Desa Sokong, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tugas-tugas itu tampaknya berat, tetapi Suginep menjalaninya dengan tulus, dan kehadirannya mendapat tanggapan dari kalangan ibu. "Saya dibutuhkan orang banyak dan saya ikhlas membantu," kata Suginep yang "berdinas" sejak tahun 1980 hingga saat ini.
Keikhlasan menjalani tugas selama tiga dekade tampaknya dilatarbelakangi realitas sosial masyarakat kabupaten yang selagi bergabung dengan Kabupaten Lombok Barat seakan merepresentasikan kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertinggalan.
Jaraknya hanya sekitar 40 kilometer utara Mataram, ibukota NTB. Kabupaten ini bentang alamnya berbukit. Lokasi pemukiman penduduknya terpencar, minim sarana dan prasarana transportasi. Fasilitas dari tenaga kesehatan pun terbatas. Sementara kebiasaan masyarakat yang kurang sejalan dengan perilaku hidup sehat melengkapi prasyarat keterbelakangan dan ketertinggalan daerah tersebut.
Suginep mencoba memerangi persoalan itu lewat kesibukannya sebagai kader posyandu. Totalitas terhadap pekerjaannya itu diperlihatkan dengan kesungguhan membantu ibu hamil dan melahirkan. Hal itulah yang membuat pesan dan saran yang disampaikan Suginep mendapat respons positif dari masyarakat. "Para ibu kerap bertanya, kapan ada penimbangan, kok imunisasi bayi belum dilaksanakan," ucap Suginep tentang perubahan sikap para ibu di sana.
Dari hati ke hati
Perkembangan itu jauh berbeda dengan 20-30 tahun silam saat para ibu cenderung pasif. Dua hari sebelum penimbangan dan imunisasi anak balita di posyandu berjalan, Suginep keliling kampung/dusun, berikut mengundang mereka lewat pengeras suara di masjid.
"Kenyataannya, pada hari pelaksanaannya yangdatang cuma satu-dua orang," kata Suginep. Dia sering kali terpaksa menahan rasa jengkel mendengar celoteh para ibu, "Mereka bilang, 'sombong sekali kader itu, sudah dapat gaji, nyuruh orang ke posyandu lewat pengeras suara lagi'. Maunya, bila ada kegiatan di posyandu, mereka dijemput ke posyandu dan diantar pulang oleh kader," kenangnya.
Perilaku kaum ibu tersebut dihadapinya dengan pendekatan "dari hati ke hati". Bahwa pekerjaannya itu dilakukan secara sukarela, sekaligus memotivasi para ibu untuk merawat kesehatannya sejak hamil, melahirkan, nifas, hingga menyusui bayi.
Model pendekatan itu, di samping membikin para ibu proaktif, juga mengantarkan pedagang nasi bungkus ini mengoleksi beberapa penghargaan. Tahun 1987 dan 1997 Suginep meraih penghargaan dari Pemerintah Provinsi NTB sebagai Kader Pos Pembantu KB Desa. Tahun 1987 itu juga Suginep meraih juara I Kader PKK Teladan Provisi NTB dan juara II Lomba Bina Keluarga Balita tahun 1998.
Di luar tugasnya sebagai kader, Suginep didaulat menjadi komandan peleton pertahanan sipil (hansip) tahun 1987. Kehadiran hansip perempuan merupakan bentuk keterlibatan perempuan dalam ketahanan lingkungan masyarakat. "Waktu itu anak buah saya 15 lelaki dan 15 perempuan," ujarnya.
Menangis
Pekerjaan Suginep kini lebih ringan, yaitu melayani keperluan 138 ibu di tiga rukun tetangga Dusun Karangsobar, Desa Sokong, setelah desa ini dimekarkan tahun 2005 menjadi tiga desa, yaitu Desa Sokong (kini 9 dusun), Desa Meane (9 dusun), serta Desa Peniga (terdiri atas 5 dusun). Artinya, sebelum pemekaran ada 23 dusun di wilayah kerjanya yang disambangi secara bergilir.
Suginep umumnya mendatangi dusun-dusun itu dengan berjalan kaki, naik sepeda motor, atau naik sepeda. Jalan-jalan dusun tersebut bergelombang, naik-turun, berdebu di musim kemarau, dan sangat becek di musim hujan.
Sekali tempo Suginep dan seorang temannya perempuan) nyaris jatuh dari sepeda motor. Keduanya menumpang sepeda motor yang dikemudikan pengojek menuju Dusun Orongtengak, Desa Peniga. Mesin sepeda motor macet di tanjakan tajam, motor pun bergerak mundur. Secara refleks, Suginep dan rekannya meloncat dari kursi sepeda motor.
Terkadang dia harus menginap di sebuah dusun untuk merekrut akseptor Keluarga Berencana baru dan melakukan deteksi dini status gizi anak balita di dusun terpencil. "Saya sering menangis sebab sudah menginap semalaman tidak satu pun ibu yang mau menjadi akseptor," ceritanya.
Padahal, dalam melakukan penyuluhan itu, Suginep sudah mengobral "rayuan" dan menjaga tutur kata agar para ibu tidak "tersinggung". Pasalnya, ada dusun-dusun yang perempuannya tidak mau dipanggil inak ('ibu' dalam bahasa Sasak Lombok), tetapi lebih suka dipanggil ibu yang dianggap bergengsi ketimbang inak yang terkesan udik.
Kali lain, sekitar pukul 02.00, Suginep mendapat laporan, ada ibu yang melahirkan di Dusun Orongtengak, Desa Peniga. Suginep segera melapor ke bidan puskesmas Tanjung, kemudian mereka menggunakan sepeda motor ke rumah si ibu tersebut.
Mereka mendapati kondisi ibu itu sangat lemah. Bayinya ditidurkan beralaskan pelepah pohon sirih. Dini hari itu juga ibu dan bayinya ditandu beberapa warga dengan berjalan kaki dan tiba di puskesmas menjelang azan subuh.
Belakangan diketahui, ibu itu melahirkan pukul 23.00. dan mertuanya melarang dia melahirkan di puskesmas. "Jadi keputusan di mana melahirkan, siapa yang menolong, bidan ataukah belian nganak ('dukun beranak' dalam bahasa Sasak Lombok) ada di tangan mertua, bukan suami," tutur Suginep.
Lantaran peran dominan mertua, dalam kegiatan penyuluhan, pasangan suami-istri termasuk mertua merupakan obyek penyuluhan yang tidak bisa diabaikan. Namun, tidak jarang Suginep bersikap tegas, "mengabaikan" larangan mertua si ibu hamil yang proses persalinannya harus ditolong petugas kesehatan. Dalam kaitan itu, Suginep mengeluarkan uang pribadi untuk ongkos transportasi agar si ibu yang bersangkutan dibawa ke puskesmas.
Sikap mau berkorban, pemahamannya tentang karakteristik, realitas sosial, dan budaya lokal di kalangan para kader posyandu membuat Suginep dijuluki kader "bandel". Ia dinilai tahan uji menghadapi tantangan di wilayah kerjanya.
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 APRIL 2012
Tugas-tugas itu tampaknya berat, tetapi Suginep menjalaninya dengan tulus, dan kehadirannya mendapat tanggapan dari kalangan ibu. "Saya dibutuhkan orang banyak dan saya ikhlas membantu," kata Suginep yang "berdinas" sejak tahun 1980 hingga saat ini.
Keikhlasan menjalani tugas selama tiga dekade tampaknya dilatarbelakangi realitas sosial masyarakat kabupaten yang selagi bergabung dengan Kabupaten Lombok Barat seakan merepresentasikan kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertinggalan.
Jaraknya hanya sekitar 40 kilometer utara Mataram, ibukota NTB. Kabupaten ini bentang alamnya berbukit. Lokasi pemukiman penduduknya terpencar, minim sarana dan prasarana transportasi. Fasilitas dari tenaga kesehatan pun terbatas. Sementara kebiasaan masyarakat yang kurang sejalan dengan perilaku hidup sehat melengkapi prasyarat keterbelakangan dan ketertinggalan daerah tersebut.
Suginep mencoba memerangi persoalan itu lewat kesibukannya sebagai kader posyandu. Totalitas terhadap pekerjaannya itu diperlihatkan dengan kesungguhan membantu ibu hamil dan melahirkan. Hal itulah yang membuat pesan dan saran yang disampaikan Suginep mendapat respons positif dari masyarakat. "Para ibu kerap bertanya, kapan ada penimbangan, kok imunisasi bayi belum dilaksanakan," ucap Suginep tentang perubahan sikap para ibu di sana.
Dari hati ke hati
Perkembangan itu jauh berbeda dengan 20-30 tahun silam saat para ibu cenderung pasif. Dua hari sebelum penimbangan dan imunisasi anak balita di posyandu berjalan, Suginep keliling kampung/dusun, berikut mengundang mereka lewat pengeras suara di masjid.
"Kenyataannya, pada hari pelaksanaannya yangdatang cuma satu-dua orang," kata Suginep. Dia sering kali terpaksa menahan rasa jengkel mendengar celoteh para ibu, "Mereka bilang, 'sombong sekali kader itu, sudah dapat gaji, nyuruh orang ke posyandu lewat pengeras suara lagi'. Maunya, bila ada kegiatan di posyandu, mereka dijemput ke posyandu dan diantar pulang oleh kader," kenangnya.
Perilaku kaum ibu tersebut dihadapinya dengan pendekatan "dari hati ke hati". Bahwa pekerjaannya itu dilakukan secara sukarela, sekaligus memotivasi para ibu untuk merawat kesehatannya sejak hamil, melahirkan, nifas, hingga menyusui bayi.
Model pendekatan itu, di samping membikin para ibu proaktif, juga mengantarkan pedagang nasi bungkus ini mengoleksi beberapa penghargaan. Tahun 1987 dan 1997 Suginep meraih penghargaan dari Pemerintah Provinsi NTB sebagai Kader Pos Pembantu KB Desa. Tahun 1987 itu juga Suginep meraih juara I Kader PKK Teladan Provisi NTB dan juara II Lomba Bina Keluarga Balita tahun 1998.
Di luar tugasnya sebagai kader, Suginep didaulat menjadi komandan peleton pertahanan sipil (hansip) tahun 1987. Kehadiran hansip perempuan merupakan bentuk keterlibatan perempuan dalam ketahanan lingkungan masyarakat. "Waktu itu anak buah saya 15 lelaki dan 15 perempuan," ujarnya.
Menangis
Pekerjaan Suginep kini lebih ringan, yaitu melayani keperluan 138 ibu di tiga rukun tetangga Dusun Karangsobar, Desa Sokong, setelah desa ini dimekarkan tahun 2005 menjadi tiga desa, yaitu Desa Sokong (kini 9 dusun), Desa Meane (9 dusun), serta Desa Peniga (terdiri atas 5 dusun). Artinya, sebelum pemekaran ada 23 dusun di wilayah kerjanya yang disambangi secara bergilir.
Suginep umumnya mendatangi dusun-dusun itu dengan berjalan kaki, naik sepeda motor, atau naik sepeda. Jalan-jalan dusun tersebut bergelombang, naik-turun, berdebu di musim kemarau, dan sangat becek di musim hujan.
Sekali tempo Suginep dan seorang temannya perempuan) nyaris jatuh dari sepeda motor. Keduanya menumpang sepeda motor yang dikemudikan pengojek menuju Dusun Orongtengak, Desa Peniga. Mesin sepeda motor macet di tanjakan tajam, motor pun bergerak mundur. Secara refleks, Suginep dan rekannya meloncat dari kursi sepeda motor.
Terkadang dia harus menginap di sebuah dusun untuk merekrut akseptor Keluarga Berencana baru dan melakukan deteksi dini status gizi anak balita di dusun terpencil. "Saya sering menangis sebab sudah menginap semalaman tidak satu pun ibu yang mau menjadi akseptor," ceritanya.
Padahal, dalam melakukan penyuluhan itu, Suginep sudah mengobral "rayuan" dan menjaga tutur kata agar para ibu tidak "tersinggung". Pasalnya, ada dusun-dusun yang perempuannya tidak mau dipanggil inak ('ibu' dalam bahasa Sasak Lombok), tetapi lebih suka dipanggil ibu yang dianggap bergengsi ketimbang inak yang terkesan udik.
Kali lain, sekitar pukul 02.00, Suginep mendapat laporan, ada ibu yang melahirkan di Dusun Orongtengak, Desa Peniga. Suginep segera melapor ke bidan puskesmas Tanjung, kemudian mereka menggunakan sepeda motor ke rumah si ibu tersebut.
Mereka mendapati kondisi ibu itu sangat lemah. Bayinya ditidurkan beralaskan pelepah pohon sirih. Dini hari itu juga ibu dan bayinya ditandu beberapa warga dengan berjalan kaki dan tiba di puskesmas menjelang azan subuh.
Belakangan diketahui, ibu itu melahirkan pukul 23.00. dan mertuanya melarang dia melahirkan di puskesmas. "Jadi keputusan di mana melahirkan, siapa yang menolong, bidan ataukah belian nganak ('dukun beranak' dalam bahasa Sasak Lombok) ada di tangan mertua, bukan suami," tutur Suginep.
Lantaran peran dominan mertua, dalam kegiatan penyuluhan, pasangan suami-istri termasuk mertua merupakan obyek penyuluhan yang tidak bisa diabaikan. Namun, tidak jarang Suginep bersikap tegas, "mengabaikan" larangan mertua si ibu hamil yang proses persalinannya harus ditolong petugas kesehatan. Dalam kaitan itu, Suginep mengeluarkan uang pribadi untuk ongkos transportasi agar si ibu yang bersangkutan dibawa ke puskesmas.
Sikap mau berkorban, pemahamannya tentang karakteristik, realitas sosial, dan budaya lokal di kalangan para kader posyandu membuat Suginep dijuluki kader "bandel". Ia dinilai tahan uji menghadapi tantangan di wilayah kerjanya.
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 APRIL 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar