Selasa, 17 April 2012

Yusuf Kristian Bobo: Pengubah Kawasan Gersang Elopada

YUSUF KRISTIAN BOBO
Lahir: Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, 20 Desember 1957
Pendidikan: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cendana, Kupang, NTT, 1983
Istri: Elisabeth Louro
Anak:
- David
- Benyamin
- Yosua
- Hana Wini Ledu
Pekerjaan: Kepala SMK Negeri 1 Wewewa Barat, NTT

Elopada adalah kawasan di tepi utara wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Bila diterjemahkan secara bebas, "Elopada" sesuai kondisi riilnya hingga tahun 1980 berarti padang gersang sejauh mata kita memandang. Kini nama itu layaknya diganti menjadi "morololo" karena perkampungan dan kawasannya sudah berubah menjadi hijau dan produktif pula.

OLEH FRANS SARONG

Sampai sekarang daerah itu tetap bernama Elopada meskipun sekarang kondisinya telah berubah. Dalam bahasa Wewewa atau bahasa setempat, "morololo" berarti hijau segar. "Morololo" memiliki arti sebaliknya dari "Elopada" yang ebrmakna padang gersang nan luas.
     Saran perubahan nama itu semata-mata karena kawasan tersebut tak lagi berupa padang gersang, tetapi sudah berbalut berbagai jenis pohon. Ini termasuk sejumlah pohon yang bermanfaat ganda, yakni menghembuskan kesejukan sekaligus bermanfaat secara ekonomi, seperti kopi, nangka, kelapa, kemiri, pinang, dan pisang.
    Di samping itu, tiga sumber air di bagian hilir kawasan tersebut sejak awal 1990-an juga mampu bertahan hidup atau tetap mengalir sepanjang tahun. Dengan demikian, krisis air bersih yang menimpa masyarakat di sekitarnya sejak lama-terutama di puncak kemarau-dapat teratasi. Ketiga sumber air itu adalah We'e Rambo, We'e Cewel, dan We'e Memala.
     Sumber-sumber air yang bisa tetap bertahan dan kehijauan di Elopada terwujud antara lain berkat campur tangan Yusuf Kristian Bobo. Tak ada yang menyangkal kalau Ama David-panggilannya sesuai kebiasaan setempat yang menunjukkan Kristian adalah ayah David, putra pertamanya-adalah sosok utama di balik keberhasilan tersebut.
     "Perubahan kondisi pada areal lebih dari 100 hektar kawasan Elopada menjadi hijau itu merupakan usaha bersama. Perubahan itu melibatkan hampir semua warga di kawasan ini. Namun, siapapun pasti mengakui bahwa Ama David adalah pembuka jalan. Dia perintisnya. Kami hanya mengikuti jejak Ama David," tutur Yakob Palaka (42), warga di Kampung We'e Rambo, Desa Kalimbu Ndara Manu, Kecamatan Wewewa Barat, yang merupakan bagian dari kawasan Elopada.
     Seperti umumnya kawasan lain di Pulau Sumba, Elopada sepanjang ingatan warga setempat berwujud padang pengembalaan lepas bagi hewan-hewan piaraan, seperti kuda, sapi, dan kerbau milik masyarakat setempat.

Sistem paron

     Kristian bercerita, ketika duduk di bangku STM Negeri Kupang sekitar tahun 1970, dia berkesempatan melihat model pemeliharaan sapi dengan sistem paron di Noesina, Kabupaten Kupang. Di tempat itu, sapi  biasanya ditambatkan di bawah pohon di sekitar rumah pemiliknya. Sementara kebutuhan pakan dan air untuk hewan tersebut didatangkan oleh pemiliknya.
     Pola itu terbukti memberikan keuntungan ganda, yakni proses penggemukan sapi bisa berlangsung lebih cepat, dan limbahnya bisa dijadikan pupuk organik sekaligus menekan potensi kerusakan lingkungan.
     Kristian remaja pun tertarik dengan model penggemukan sapi sistem paron tersebut. Maka, ketika dia kembali ke Elopada pada waktu liburan sekolah, Kristian secara perlahan-lahan mulai mengikuti apa yang dilihatnya sewaktu berada di Kupang.
     Dia lalu menanam rumput gajah  dan kaliandra di kawasan sekitar tempat  tinggalnya sebagai pakan bermutu tinggi. Namun, usahanya itu baru benar-benar ditekuninya setelah Kristian menyelesaikan kuliahnya pada Jurusan Arsitek, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Cendana, Kupang, tahun 1983.
     Kristian, anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan almarhum David Dairo Bobo dan Esther Bobo Louro itu bercerita, setelah lulus kuliah, selain  usaha beternak sapi dengan sistem paron, dia juga menanam kopi.
     Pada awalnya sekitar 10.000 anakan bibit kopi itu didatangkan dari Bali. Pada saat hampir bersamaan, di hamparan lahan milik keluarganya yang belum didayagunakan, Kristian menanaminya dengan berbagai jenis pohon, seperti mahoni, lamtoro, jati, jati putih, dan meranti atau lare.
     "Beberapa jenis pohon tersebut sebenarnya saya andalkan sebagai pelindung untuk tanaman kopi. Memang beberapa pohon itu sekaligus bisa mendukung penghijauan di sini," tutur Kristian sambil menikmati kawasan penghijauannya di Elopada.
     Ayah empat anak itu bercerita, usaha penanaman kopi dan berbagai jenis pohon lainnya itu pada awalnya meliputi areal sekitar lima hektar.
   "Kalau kawasan penghijauan yang berasal dari usaha saya sendiri hingga kini mencapai 50 hektar. Namun, penghijauan ikutan warga oleh warga lain di Elopada ini seluruhnya menjadi mungkin sudah mencapai lebih dari 100 hektar," ujarnya.

Sikap sinis

     Kristian lalu mengenang masa awal dia menekuni usahanya itu, ia sering kali harus menghadapi sikap sinis masyarakat di sekitarnya. Sebagian warga beranggapan bahwa usaha Kristian adalah kesia-siaan. Hal itu karena selama ini mereka bukan penggarap ladang yang menghasilkan padi, jagung, atau umbi-umbian untuk kebutuhan makan sebagaimana dilakukan petani pada umumnya. Namun, Kristian terus menekuni usahanya.
     Lahan yang kosong dia tanami berbagai jenis pohon. Tidak lama kemudian apa yang dia lakukan mulai diikuti penduduk di sekitarnya. Ini setelah mereka melihat sendiri manfaat yang didapat seperti saat Kristian panen kopi, pinang, dan kelapa. Mereka pun menikmati kehijauan yang menyejukkan.
     "Sikap penduduk yang awalnya negatif kemudian berubah total. Mereka mau mendukung upaya saya, terutama setelah melihat tiga sumber air di bagian hilir kawasan penghijauan terus mengalir sepanjang tahun. Padahal, sebelumnya ketiga sumber air itu biasanya mengering saat memasuki musim kemarau," katanya.
     Bagi Kristian, upaya menghijaukan Elopada memang memerlukan semangat juang tersendiri. Betapa tidak, penghijauan itu adalah kerja keras yang dia lakukan seusai tugasnya sehari-hari sebagai guru sekaligus pegawai negeri sipil berakhir.
     Semangat juang Kristian juga menghasilkan penghargaan bagi dirinya. Dia mendapat penghargaan sebagai penyelamat lingkungan tingkat Kabupaten Sumba Barat 2007, dan penghargaan sebagai perintis lingkungan tingkat Provinsi NTT tahun 2011.
     Apakah nama daerah Elopada semestinya kini berubah menjadi Morololo? "Ha-ha-ha, apakah itu perlu ya? Bagaimanapun, sebutan Elopada sudah ada sejak lama, Elopada seakan sudah melekat dengan kawasan ini," jawabnya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 16 APRIL 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar