DATA DIRI
Nama : Megah HasanLahir : Pangkal Pinang, 14 Maret 1963
Istri : Maki Fukumori (37)
Anak :
- Kazuma Fukumori (12)
- Kazuki Fukumori (9)
Pendidikan :
- SD Budi Mulia Pangkal Pinang
- SMP Budi Mulia Pangkal Pinang
- SMA 1 Pangkal Pinang
Sudah lama ada anggapan bahw lahan bekas tmbang timah atau kolong di Kepulauan Bangka Belitung tidak bisa direhabilitasi, direklamasi, apalagi menghasilkan. Namun, semua itu mentah di tangan Megah Hasan. Dengan tekun dan semangat luar biasa, pria asli Pangkal Pinang itu berhasil mencetak sawah di kolong timah.
Oleh BENNY DWI KOESTANTO
Datanglah ke Kampung Jeruk, Pangkalan Baru, bangka Tengah, 15 kilometer arah selatan kota Pangkal Pinang. Hamparan hijau petak-petak sawah yang sedang ditanami padi menjadi sebuah "oase" di antara kolong-kolong timah, yakni kolam-kolam bekas gailan dan gundukan tanah di sekelilingnya. Dua tahun lalu, kawasan itu mirip tempat "jin buang anak", tandus, sepi tak dijamah orang, dan merana setelah disedot bijih timahnya.
"Timah itu berkah bagi orang Bangka. Kita boleh menambangnya, karena itu memberi nafkah. Tapi, janganlah kita serakah untuk generasi kita semata. Penambangan membabi buta hanya meninggalkan nestapa bagi anak cucu kelak," kata Megah di pondokan yang baru setengah selesai dibangun di lahan persawahannya, pekan lalu.
Pondokan itu berada di atas kolong terluas di kawasan itu. Di sinilah Megah terus memikirkan masa depan tanah kelahirannya, terutama fase "apalagi setelah masa jaya timah yang meninggalkan kerusakan lingkungan dahsyat di Bangka Belitung berakhir". Terasa sulit membayangkan kenyataan lahan kritis di Bangka Belitung akibat pertambangan timah mencapai 1.600 hektar atau sekitar seperlima dari total wilayah kepulauan itu.
Selama ini upaya penyelamatan lingkungan lebih banyak dilakukan dengan reklamasi lahan, lalu ditanami aneka pepohonan. Namun, bagi Megah, pertanian lestari yang ditopang kegigihan menjadi salah satu jawabannya.
Dari lahan seluas 24 hektar, Megah mencetak seperempatnya menjadi lahan sawah dengan tanaman padi berbagai jenis dalam kurun waktu kurang dari dua tahun terakhir. Akhir tahun lalu ia mampu menghasilkan rata-rata 4-5 ton gabah kering per hektar lahan.
"Hasil itu tidak jelek, tapi juga belum berhasil. Pada sawah normal dengan irigasi lancar hasil rata-rata 8-9 ton gabah kering per hektar, sementara saya setengahnya. Cita-cita saya, masyarakat kepulauan ini tidak tergantung dari beras luar (pulau)," katanya.
Sekitar 200 meter dari pondokan Megah, di bagian depan lahan persawahan itu terdapat peternakan sapi pedaging dan sapi perah, serta lele dumbo. Ia mencoba mempraktikkan sistem pertanian terintegrasi. namun, mencetak lahan sawah merupakan fase tersulit.
Pasalnya, tak ada irigasi teknis di sekitar kolong sawah Megah. Dia terpaksa menggunakan sumber air dari kolong-kolong yang ada. Tetapi, air kolong sangat rendah kandungan asamnya karena campuran timah dan logam-logam lain. Untuk menambah keasaman air, ia menanam eceng gondok dikolam-kolam tersebut.
Jika dirasa jumlahnya berlebihan, eceng gondok lalu diambil, dijemur, dan dijadikan pupuk kompos. Air dari kolong itulah yang digunakan mengairi sawah dengan cara dipompa.
Sebelum untuk mengairi sawah, terlebih dulu air itu ditampung pada satu kolam khusus, dicampur air kencing sapi serta air dari kolam budidaya lele. Itulah mengapa ia tak menggunakan pupuk kimia pada tanaman padi di sawahnya.
Persoalan kedua adalah tanah. Gundukan-gundukan tanah harus diratakan. Untuk itu, Megah menggunakan ekskavator.
Satu hektar lahan membutuhkan waktu dua hari, disusul seminggu untuk pencetakan sawah. Luas petakan tergantung selera, tetapi jangan terlalu luas agar air merata.
Langkah selanjutnya identifikasi tanah, terutama mengetahu ketebalan lapisan pasir. Kalau pasir terlalu tebal, air yang dialirkan tak tertampung karena meresap. Untuk menyiasati, ia menambahkan pupuk kandang dan kompos berupa jerami dan daun eceng gondok kering yang diaduk dengan traktor. Ia mendiamkan lahan itu beberapa pekan. Jika di atas tanah telah tumbuh ilalang, itu pertanda lahan siap dicetak menjadi sawah. Maka, tanah pun diaduk dan diolah kembali menjadi sawah.
Belajar dari Jepang
Upaya pencetakan sawah itu merupakan buah perjalanan Megah ke Kobe, Jepang. Hampir separuh perjalanan hidupnya dihabiskan di kota itu. Selepas SMA di Pangkal Pinang, ia merantau dan bekerja di perusahaan otomotif, hingga ia mampu mendirikan usaha berbasis otomotif pula. Ia menikah dengan gadis Jepang dan menetap di Kobe dengan dua putranya.
Sejak menjadi petani di Bangka, otomatis ia tinggalsendiri di Pangkal Pinang. Dua bulan sekali ia menemui keluarganya di Kobe. Atau dikala liburan sekolah, keluarganya berkunjung ke Pangkal Pinang. Sementara bisnisnya tetap berjalan lancar, dengan berkelakar ia mengaku mampu mengawasi usaha itu dari sawahnya di Kampung Jeruk. Di Bangka ia terdaftar sebagai komisaris salah satu perusahaan peleburan (smelter) timah swasta.
Ia memang hobi dan cinta bertani. Ia mulai bertani di Kobe sejak awal 1990-an, kala bersama dua teman membeli sepetak lahan sawah berukuran 1.000 meter di pinggiran kota. Ia bertani intensif di akhir pekan. Intensifikasi pertanian Jepang, katanya sangat jelas. Lahan sempit dibayar lunas dengan hasil maksimal karena sistem pertanian yang maju dengan sistem bimbingan petugas lapangan pertanian secara simultan.
"Setiap petugas penyuluh di Jepang mempunyai kebun atau sawah percobaan sendiri. Mereka meneliti, beruji coba, dan dipraktikkan secara cermat. Coba bandingkan dengan penyuluh di sini," katanya.
Praktik pertanian ala Negeri Sakura itulah yang diterapkannya di kampung Jeruk. Hampir sehari penuh ia berada di sawah. Merenung dan berpikir di pondokan, lalu ke sawah lagi, begitu seterusnya. tak jarang ia pergi ke sawah malam hari, sekadar melihat kondisi tanaman. maka, ia mempu menyebutkan berapa jenis hama, capung, hingga kupu di persawahan.
Salah satu hal menarik pada sistem pertanian Megah adalah jumlah petani. Untuk mengolah lahan seluas 6 hektar itu, ia dibantu tiga karyawan. Katanya, pengaturan waktu dan jadwal pengerjaan lahan adalah kuncinya. Mereka bekerja profesional layaknya pekerja kantor, pukul 08.00-16.00 dengan istirahat satu jam per hari. Mereka digaji minimal Rp 1,25 juta per bulan. Mereka juga dibuatkan rumah tinggal di sekitar area persawahan, lengkap dengan listriknya.
Megah bangga dengan salah satu pencapaiannya ini. Pencetakan sawah menjadi bagian dari Bangka Goes Green, program corporate social responsibility PT Bangka Belitung Timah Sejahtera, konsorsium beberapa perusahaan smelter timah di Pangkal Pinang.
Namun, ada hal yang menggelisahkannya, yakni bagaimana mengenalkan dan mengajak warga pemilik kolong mengikuti jejaknya. Sebab, butuh biaya tak sedikit untuk mencetak sawah. Ia telah menghabiskan Rp 600 juta untuk semua itu, di luar pembelian lahan.
"Tanpa bantuan pemerintah atau perusahaan swasta besar, pencetakkan sawah sulit terealisasi dalam waktu singkat.
Sudah saatnya pemerintah daerah di Bangka peduli lingkungan, demi generasi mendatang," kata Megah.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT 13 MARET 2009