Jumat, 23 September 2011

Yana Mulyana: Membawa Kompos Kembali ke Sawah


YANA MULYANA

Lahir :  Tasikmalaya, Jawa Barat, 12 Januari 1967
Istri : Enok Hidayati (32)
Anak :
- Adam Cholid Muharam (12)
- Siti Hawa Ramadani (5)
Pendidikan :
- SMA Pasundan Tasikmalaya
- S-1 Jurusan Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam, Tasikmalaya, lulus 1993
Pekerjaan : Ketua Kelompok Tani Giri Mukti Tasikmalaya
Penghargaan : Penghargaan untuk Kelompok Tani Giri Mukti sebagai kelompok tani yang mampu menggalakkan ketahanan pangan nasional dari Presiden, 2010

Pada tahun 1996-1999, Yana Mulyana adalah distributor sekaligus penjual 20 ton pupuk kimia di Kampung Mekarjaya, Desa kalimanggis, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Usahanya terbilang menguntungkan karena petani setempat selalu membeli pupuk kimia kepadanya.

OLEH CORNELIUS HELMY

Tak hanya itu, Yana juga menjadi tempat bertanya petani setempat terkait dosis pemakaian pupuk kimia yang mereka beli.
     "Biasanya mereka bertanya bagaimana meningkatkan hasil panen. Berbagai cara sudah saya sarankan, seperti metode pupuk berimbang dengan menambahkan kuantitas pupuk hingga mendekati batas ideal," ceritanya.
     Akan tetapi, memasuki tahun 2000, Yana mulai jengah saat sarannya ternyata tak bisa memperbaiki hasil panen petani. Bahkan, sarannya menambahkan pupuk kimia justru menurunkan hasil panen petani.
     Rata-rata petani hanya mendapatkan hasil 3 ton gabah per hektar dan jumlah itu terus berkurang. dengan harga jual gabah Rp 2.700 per kilogram (kg), petani hanya mendapatkan hasil sekitar Rp 8,1 juta.
Apabila pendapatan petani dikurangi pembelian beragam pupuk, seperti urea, KCL, dan TSP, serta upah buruh tani, pendapatan mereka akan berkurang menjadi Rp 6 juta-Rp 7 juta per musim tanam.
"Uang itu masih dikurangi lagi untuk modal awal yang diperlukan petani untuk mengolah sawah. Pendapatan petani hanya tersisa Rp 1 juta- Rp 2 juta. Saya merasa bersalah karena tak bisa membantu mereka," ujarnya.

Hewan sawah

     Kegelisahan Yana mendapat jawaban saat dia bersama beberapa petani yang tergabung dalam Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Tasikmalaya menjadi peserta Pelatihan Sekolah Lapang Pembelajaran Ekologi Tanah pada 2001.
     Dalam pelatihan tersebut, Yana belajar tentang ciri-ciri tanah sakit atau tidak subur. Ada tiga indikator utama tanah sakit, yaitu tidak mampu mengikat air, tidak mampu menyerap udara, serta tekstur permukaannya cenderung kasar dan keras.
     Selepas pelatihan, Yana menerapkan ilmunya pada areal tanah sawah miliknya. Hasilnya menunjukkan, tanah itu dalam keadaan sakit. Ini terlihat dari ketidak mampuan tanah menyerap air.
Yana memperkirakan, 50 persen air yang dituangkan ke areal tanah sawah itu keluar dari tanah. Dari tes yang sama, tanah tersebut juga mengeluarkan gelembung. Ini menandakan buruknya kemampuan tanah menyerap udara.
     Indikator terakhir terlihat dari permukaan tanah yang keras dan kasar. Hal itu disebabkan endapan pupuk kimia yang tak terserap tanah.
     Strategi penyelamatan pun dimulai. Yana memutuskn meninggalkan pekerjaan sebagai pedagang pupuk kimia dan mulai mencari cara guna mengembalikan kesehatan tanah yang terlanjur rusak.
     Lagi-lagi, ilmu dari pelatihan ekologi tanah yang diikutinya memberikan ide. Yana memilih mengembangkan penanaman padi secara organik. Di sini diperlukan antara lain pengaturan air yang tepat, pemilihan benih yang tepat, dan pemeriksaan padi secara berkala.
Pada penanaman padi secara organik juga diperlukan penggunaan kompos dan mikro organisme lokal (MOL). Bahkan, ini menjadi salah satu kuncinya.
     "Saya mencoba fokus pada pembuatan kompos dan MOL. Karena saat itu belum banyak orang yang menjualnya, kami membuat sendiri kompos dan MOL dengan menggunakan sayuran atau daun yang sudah membusuk," ujarnya.
     Perlahan penggunaan kompos dan MOL memberikan hasil positif. Yana berhasil mengembalikan hewan-hewan sawah di Kampung Mekarjaya, seperti kembalinya katak hijau.
Keberadaan katak hijau diyakininya menjadi salah satu indikator kesehatan lingkungan. Saat lingkungan tak sehat, katak bisa stres sehingga "mengubah" warna tubuhnya menjadi coklat hingga menghilang akibat tidak kuat hidup dalam ekosistem yang buruk.
     Menurut Yana, katak juga berperan melahap serangga perusak padi. Karena itu keberadaan katak juga signifikan dalam menyuburkan padi. Suara katak pun menjadi vitamin yang memberikan kesuburan pada tanaman padi.
     "Kunang-kunang juga muncul lagi. Cahaya yang dihasilkan kunang-kunang itu diyakini warga bisa membantu proses fotosintesis padi," ujar Yana.

Menekan pengeluaran

     Hasil positif itu ditularkan Yana kepada petani lain. Petani pun kemudian mendapatkan hasil panen lebih banyak. Dari sekitar 1 hektar lahan sawah padi organik bisa didapat kira-kira 9-12 ton.
Di samping itu, biaya tanam yang menjadi beban petani juga lebih kecil dari sebelumnya. Kalau semula petani mengeluarkan  dana sekitar Rp 5 juta, kini hanya sekitar Rp 2 juta per hektar per panen. Pengeuaran bisa ditekan karena petani tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk pupuk dan pestisida kimia.
     Keberhasilan menghidupkan kembali kompos dan MOL membuat Yana makin dikenal orang sampai luar Kampung Mekarjaya. Bahkan, beberapa peneliti pertanian pun mengenalnya.
Mereka datang ke Mekarjaya untuk belajar mengembangkan pertanian ramah lingkungan. Dalam setahun, tak kurang dari 10 rombongan dari sejumlah daerah, seperti Aceh, Jambi, dan Lampung, datang berguru ke Kampung Mekarjaya. Satu rombongan itu biasanya terdiri dari 20-30 orang.
     Yana juga kerap diundang menjadi pembicara ke sejumlah daerah di Pulau Jawa. Statusnya pun berubah dari "guru" pupuk kimia menjadi "guru" kompos dan MOL.
"Tidak ada kewajiban bagi pengunjung untuk membayar biaya pelatihan. Hal ini saya lakukan dengan sukarela," katanya.
     Sayangnya, meski sudah dikenal sampai luar Tasikmalaya, apa yang dilakukan Yana justru tak diikuti semua petani di sekitar tempat tinggalnya. Kini, dari 80 hektar total sawah di Mekarjaya, baru sekitar 10 hektar yang dikelola dengan menggunakan kompos dan MOL.
Sisa lahan sawah yang ada di kampung itu masih mengandalkan pupuk dan pestisida kimia. Bahkan, justru nada sumbang yang didengarnya. Sosialisasi kompos dan MOL dianggap hanya upayanya mencari keuntungan pribadi.
     "Padahal, semua ilmu itu saya berikan gratis, tanpa biaya. Meski demikian, saya tidak putus asa untuk mengajak mereka ikut serta. Sebab, pertanian organik ini kunci efektif mengatasi rusaknya kualitas tanah agar petani tak terus-menerus berada dalam lingkaran kemiskinan," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 22 SEPTEMBER 2011

1 komentar:

  1. Jakarta, Aktual.com – Panitia khusus (Pansus) DPRD DKI yang menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk laporan keuangan Pemprov DKI tahun anggaran 2014 sudah mulai bekerja.

    Kamis (6/8) kemarin, rapat koordinasi pertama pansus digelar membahas poin pertama temuan BPK. Yakni terkait pengawasan dan pengendalian kerjasama pemanfaatan aset tanas seluas 30,88 Ha di Mangga Dua dengan PT. Duta Pertiwi (DP).

    Dimana berdasarkan hasil audit BPK di laporan keuangan Pemprov DKI 2014, ditemukan tanah seluas 34.095 meter persegi yang belum bersertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama pemprov namun tidak jelas keberadaannya.

    “Kalau dari audit BPK yaitu sertifikatnya ada beberapa hektar yang tidak ditemukan. Baik di Pemprov maupun di PT Duta pertiwi sebagai pihak yang diajak kerjasama,” kata politisi PKS yang akrab disapa Sani itu, usai rakor bersama eksekutif di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (6/8).

    Rapat Pertama Pansus: Bahas Lahan 30 Hektar di Mangga Dua

    BalasHapus