Selasa, 27 September 2011

Agus Bei: Penggagas Wisata Mangrove di Balikpapan


AGUS  BEI
Lahir : Banyuwangi, Jawa Timur, 28 September 1968
Pendidikan :
- SDN Kalibaru Kulon, Banyuwangi
- SMP Islam Kalibaru, Banyuwangi
- STM PGRI 2, Banyuwangi
Pengalaman berorganisasi:
- Ketua Pokja Mangrove Balikpapan Utara, Kalimantan Timur
- Ketua KNPI Balikpapan Utara periode 2009-2012
- Ketua Pemuda Pancasila Balikpapan 2011-2014
Istri : Normina (43)
Anak :
- Reski Aprilia (17)
- Nanda Dwi Laksana (8)

Selama tiga bulan pada 2001, Agus Bei mudik ke Banyuwangi, Jawa Timur, sekaligus mengurusi bisnisnya. Begitu pulang, ia kaget dan sedih karena mangrove di depan rumahnya di tepi Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur, menghilang. Tiga hektar mangrove itu habis dibabat orang.

OLEH LUKAS ADI PRASETYO

Namun kini, sekitar 10 tahun kemudian, mangrove tak hanya menghiasi depan rumahnya, tetapi juga di sepanjang tepian Sungai Somber. Bahkan, mangrove telah menjadi bagian dari kehidupan Agus Bei melalui Mangrove Center yang dia dirikan, lalu dijalankannya bersama warga setempat.
     Mangrove Center yang luasnya sekitar 12 hektar itu kemudian beranjak menjadi ikon baru wisata di Balikpapan, Kalimantan Timur. Pada 21 Juli 2010, misalnya, Mangrove Center dicanangkan Pemerintah Kota Balikpapan sebagai kawasan konservasi.
     Tempat itu semakin dikenal orang. Setiap pekan, setidaknya dua rombongan pengunjung dan puluhan orang lain datang ke Mangrove Center yang lokasinya di RT 85, Kelurahan Batu Ampar, Balikpapan.    
Siapa pun yang datang ke lokasi itu pasti senang menyusuri sungai dengan perahu kecil bermesin. Orang seakan bisa membelah air jernih yang terlindungi kanopi mangrove nan rimbun. Udaranya segar. Tepi sungai dan laut di Balikpapan Barat, salah satunya di kawasan ini, memang daerah mangrove paling asri sepanjang pantai Balikpapan.
     Jika beruntung, pengunjung bisa melihat beberapa bekantan bergelantungan dan asyik menikmati menu favoritnya, buah mangrove. Sebagian orang juga menjumpai elang putih di rerimbunan mangrove tengah menanti saat tepat menukik ke sungai memangsa ikan-ikan. Rawa ini juga menjadi habitat buaya rawa yang juga predator bekantan saat berenang.
     Jelas bahwa mangrove menciptakan keseimbangan alam. Alasan itu pula yang membuat Agus, pria yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat dan pemasok kotak perkakas keamanan, pada 2001 pindah rumah ke kompleks Graha Indah, Batu Ampar, di tepi Sungai Somber.


Otodidak


     Maka, ketika dia melihat hutan mangrove dibabat dan merasakan dampak buruknya, Agus tergerak untuk mendalami seluk-beluk mangrove secara otodidak.
     Ia rajin bertanya, membaca buku, dan membuka internet.mangrove ternyata memang pelindung pantai dari abrasi. Akarnya mengikat sedimen sehingga membuat tanah menjadi stabil. Ikan-ikan pun terlindungi dengan adanya mangrove. Bahkan, Agus kemudian juga tahu jika tegakan mangrove yang tinggi sanggup melindungi bangunan dari terpaan angin kencang.
     "Setelah dulu mangrove hilang, sempat ada angin kencang yang menerpa ratusan rumah. Belakangan ini saya baru tahu bahwa peristiwa itu bisa terjadi karena mangrove tidak ada," katanya.
     Tidak adanya tegakan mangrove yang dulu menjulang sampai 10-an meter, hawa di dalam rumah pun semakin gerah. Air pasang ditambah tanah berlumpur lalu masuk menggenangi jalan hingga ke dalam rumah. Bahkan, pernah sampai setinggi lutut. Bekantan-bekantan pun tak bisa lagi dijumpai di dekat rumah.
     Kondisi tersebut kian membulatkan tekad Agus untuk menanam mangrove. Tekad itu mulai mewujud ketika para mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda, yang tengah kuliah kerja nyata (KKN) di kampungnya, bisa mengusahakan 1.000 bibit mangrove. Agus semakin tak sabar untuk segera menanamnya.
     "Saat itu, kalau ada orang yang mencari bibit mangrove untuk ditanam adalah hal yang aneh. Lha, biasanya orang mencari bibit tanaman buah. Namun, saya tak peduli karena ingin ada mangrove lagi di depan rumah," cerita Agus, Ketua Mangrove Center, ketika ditemui di rumahnya, Agustus lalu.


Merogoh kocek


     Setelah bibit mangrove pertama diperoleh, satu demi satu bibit mangrove keudian dia dapatkan atau beli dengan dana dari kocek sendiri. Semua bibit mangrove itu langsung ditanam, sampai lambat laun Agus mulai bisa mengembangkan bibit sendiri.
     Kerja kerasnya berbuah hasil. Memang, hamparan mangrove belum serindang dan setinggi dulu, tetapi kondisi itu tinggal menunggu waktu 5-10 tahun lagi.
     Di sisi lain, Mangrove Center mulai menjadi ikon wisata baru di Balikpapan. Bantuan demi bantuan yang diterima Agus semua dikonversi untuk mempercantik kawasan tersebut. Ia membangun pondok-pondok kayu, juga membuat tambak ikan kerapu sejak awal 2011.
     Hasilnya bisa digunakan untuk menambah penghasilan kelompok kerja Mangrove Somera yang sehari-hari mengurusi Mangrove Center. Bahkan, belakangan ini kelompoknya kewalahan memenuhi permintaan bibit mangrove yang per bulan mencapai 500-1.000 bibit. Kampungnya pun didatangi orang dari berbagai kalangan, mahasiswa hingga peneliti mangrove.
     Bisa menggerakkan warga dan memprakarsai Mangrove Cebter, bagi Agus merupakan sesuatu yag tak terbayangkan. Dulu, meyakinkan warga untuk menanam mangrove saja tak mudah.
     Pada 2005, Agus terpilih sebagai Ketua RT 85. Posisi itu memberinya kesempatan untuk "memproklamasikan" mangrove kepada warga. Ia juga terbantu saat menjadi Ketua Komite Nasional Pemuda (KNPI) Balikpapan Utara sejak 2009.
     "Mangrove sekarang bisa menjadi sesuatu yang indah dan obyek wisata. Dulu, saya sempat susah meyakinkan warga di sini. Namun, akhirnya sekitar tahun 2009 warga mulai ikut menanam mangrove. Sampai sekarang sudah lebih dari 15.000 bibit mangrove kami tanam," ujar bapak dua anak itu.
     Agus masih menyimpan segudang keinginan, antara lain mengembangkan Mangrove Center dengan menambah jalan setapak sehingga pengunjung bisa berjalan kaki. Dia juga ingin memperkenalkan mangrove kepada kalangan yang lebih luas.
     Selain itu, bersama kelompoknya, Agus juga tengah mencari peluang untuk meningkatkan nilai tambah mangrove, seperti mengolahnya menjadi berbagai produk olahan.
     Indonesia punya kawasan mangrove yang luas, sekitar 4 juta hektar. Dari luas kawasan tersebut, sekitar 1,35 juta hektar berada di Papua dan 950.000-an hektar di Kalimantan.
     "Kita punya kesempatan untuk menambah luas kawasan mangrove dan mendapat manfaatnya atau mengurangi sampai habis lantas merasakan dampak negatifnya," kata Agus, menegaskan pilihan warga dalam memperlakukan mangrove.
     Agus berharap akan muncul generasi muda yang mau melestarikan mangrove. Bagaimanapun, menurut dia, mangrove adalah harta Kalimantan yang seharusnya dilestarikan.


Dikutip dari KOMPAS, RABU, 21 SEPTEMBER 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar