MURIYANTO
Lahir : Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1970
Pendidikan :
- SD Negeri Pulu Rembang
- SMP Negeri 1 Rembang
- Sekolah Pendidikan Guru Negeri Rembang
- Jember Bible College Jawa Timur S-1 Jurusan Teologi Fakultas Teologi
Istri : Rusmawati (48)
Anak :
- Yeremiah Eliyanto Yusuf (10)
- Marshanda Eliyani Yusuf (4)
Mengubah perilaku pemuda Desa Sigi, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, yang gemar mabuk-mabukan, berkumpul membuang waktu, dan berkelahi merupakan tantangan yang luar biasa berat. Namun, Muriyanto (41) mampu memberdayakan mereka menjadi peternak.
OLEH DWI BAYU RADIUS
Sebelum tahun 2008, penebangan pohon secara liar merajalela di Desa Sigi. Hutan dan kawasan lindung di desa rusak karena mereka tak punya pilihan selain mencari kayu. Akan tetapi, menebang pohon juga tak sedemikian mudah karena polisi bisa saja mengejar dan menangkap penebang pohon.
Anak-anak muda yang enggan mencari kayu menghabiskan waktu dengan kegiatan tak jelas. Keributan pun rawan terjadi. Desa Sigi menghadapi masalah sosial yang berat. Sebagai Kepala Desa Sigi, Muriyanto dibuat pening dengan persoalan itu. Ia mau warganya lebih produktif.
"Bagaimana tidak berat, Desa Sigi dihuni 154 keluarga dan sekitar 90 persennya menggantungkan hidup pada penebangan pohon. Kondisi itu berlangsung setidaknya selama 10 tahun," ujar Muriyanto.
Ajakan agar warga lebih produktif disambut pertanyaan mengena modal dan pengetahuan untuk memulai usaha baru. Muriyanto pun harus aktif mencari informasi. "Saya tanya program yang cocok kepada Pemerintah Provinsi Kalteng ataupun Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau," cerita Muriyanto.
Akhirnya, program didapatkan. Warga diikutsertakan dalam program Ketahanan Sosial Masyarakat (Tansosmas) dari Kementerian Sosial pada tahun 2008. Program tersebut menggulirkan dana untuk kelompok peternak ayam dan babi. Setiap kelompok mendapatkan Rp 20 juta yang dibagi untuk 10 anggota.
Setiap kelompok peternak menerima 10 ayam atau satu babi. Seekor ayam yang diterima setiap anggota harus dikembalikan pula satu ekor untuk digulirkan kepada warga lain. Demikian juga anggota yang menerima babi.
Kesadaran warga
Dengan demikian, setiap ayam dan babi bisa dibudidayakan terus-menerus setelah berkembang biak. Program itu berhasil. Warga yang sebelumnya mencari kayu, tertarik untuk beternak. Kini, mereka tak lagi dikejar-kejar rasa takut ditangkap polisi.
"Dulu anak-anak muda hanya mabuk, kumpul-kumpul, dan berkelahi. Sekarang ternak harus dirawat. Jadi tak ada waktu untuk kegiatan tak jelas," kata Muriyanto. Kesadaran warga meninggalkan pembalakan liar juga disebabkan asap kebakaran. Penebangan pohon secara liar menyebabkan banyak aktivitas manusia di dalam hutan. Pencari kayu membuang puntung rokok sembarangan atau membakar lahan untuk membuka jalan. Napas menjadi sesak karena menghirup asap."Langit saat sore di Desa Sigi sudah seperti senja karena tebalnya asap," ujarnya.
Akan tetapi, menurut Muriyanto, sebagian besar kerusakan disebabkan perusahaan yang memnfaatkan warga. Mereka disuruh merambah hutan dan kawasan lindung. Luas Desa Sigi sekitar 80.000 hektar dan 25.000 hektar di antaranya berupa kawasan lindung.
"Lalu sekitar 15.000 hektar berupa hutan serta danau. Dulu hampir semua kawasan lindung dan hutan rusak akibat penebangan liar," tambah Muriyanto.
Kondisi diperparah karena kawasan hutan di Desa Sigi terdiri dari gambut yang mudah terbakar saat kemarau. Sungai Kahayan di dekat Desa Sigi pun mendangkal. Habitat biota rusak sehingga ikan semakin sulit dicari dan kelotok susah untuk melewati sungai.
"Tetapi, sekarang walaupun kemarau tak ada asap di desa ini seperti di beberapa daerah di Kalteng yang sering dilanda kebakaran," ungkapnya.
Bagi warga Desa Sigi, beternak berarti mencegah kerusakan lingkungan. Dalam mengembangkan peternakan warga, Muriyanto ikut beternak serta terjun langsung memantau warga dan memberikan saran. KAwasan lindung serta hutan pun sudah ribun dengan pepohonan dan tak pernah diganggu lagi.
"Aneka satwa yang kini tinggal di hutan lindung seperti beruang madu, pelanduk, trenggiling, ular, kera, dan landak bisa hidup tenang," kata Muriyanto.
Sumber penghasilan
Kini, peternakan menjadi sektor yang diandalkan warga Sigi sebagai sumber penghasilan. Setiap keluarga memiliki kandang babi dan ayam di samping rumahnya. "Ada pula yang beternak sapi dan itik. Selain beternak, sudah banyak warga yang mencoba bertani," katanya.
Sejak 2009, tubuh kesadaran para peternak untuk membentuk kelompok. Saat ini terapat tujuh kelompok peternak dengan total jumlah anggota sekitar 70 orang. "Peternakan pun diintensifkan. Artinya, ternak tak dilepas seperti dulu, tetapi disediakan kandang,"katanya.
Lahan warga yang sebelumnya kosong, lanjut Muriyanto, ditanami pohon produktif, seperti jeruk, mangga, rambutan, dan durian. Warga juga berinisiatif memanfaatkan lahan kosong di bantaran anak Sungai Kahayan saat kemarau. Bantaran itu tergenang air pada saat musim hujan.
Air yang mengering ketika kemarau dan menghasilkan endapan, membuat lahan subur. Sekitar 40 hektar bantaran sungai digunakan untuk budidaya jagung, padi, kacang panjang, dan labu siam dengan lama tanam tiga bulan. Saat permukaan air naik, tanaman sudah dipanen.
"Pohon-pohon seperti meranti, ramin, belangeran, dan agathis kini tumbuh subur dengan ketinggian lebih dari 10 meter," ujarnya.
Taraf hidup masyarakat juga meningkat. Sebagai gambaran, semua keluarga memiliki sepeda motor, bahkan terlihat beberapa mobil. "Sepeda motor dan telepon seluler sebelumnya barang mewah. Sekarang, di setiap rumah ada dua hingga tiga ponsel," ujarnya.
Melalui Tansosmas pula, masalah putus sekolah dan kenakalan anak muda ditangani dengan program untuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). "Mereka mengikuti kursus seperti menjahit, salon, dan montir. Pemuda juga dilatih untuk memadamkan kebakaran lahan," ujarnya.
Sebanyak 30 warga disebar dalam kelompok-kelompok untuk mendapatkan keterampilan. Lalu, mereka menyebarkan pengetahuannya kepada warga lain. Bahkan, kelompok PMKS bisa menggulirkan dana. Jumlah anggota yang awalnya sebanyak tujuh orang, kini menjadi 29 orang.
Bersamaan dengan itu, anggaran pun bertambah dari Rp 2,5 juta menjadi sekitar Rp 10 juta. Pemanfaatan anggaran yang sebelumnya digunakan untuk pelatihan itu kian berkembang. Anggota-anggotanya juga berkumpul sebulan sekali untuk mengikuti arisan.
"Adapula aktivitas simpan pinjam. Tansosmas akhirnya menjelma menjadi pemupuk kebersamaan warga desa," tutur Muriyanto.
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 27 SEPTEMBER 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar