Minggu, 11 September 2011

Anshori Djausal : Ikon dan Kebanggaan Baru Lampung


ANSHORI  DJAUSAL

Lahir : Kotabumi, Lampung, 13 Maret 1952
Istri : Herawati Soekardi (59)
Anak :
- Alia Larasati (31)
-  Meizano A (30)
- Gita Paramita (27)
- Anisa Nuraisa (18)
Pendidikan :
- SD hingga SMP di Kotabumi, Lampung
- SMA 3 Bandung, (1970)
- Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, (198)
- Magister Teknik Sipil ITB, (1991)
Pekerjaan :
- Dosen Teknik Sipil Univeritas Lampung
- Dosen tamu Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand
- Staf Ahli Gubernur Lampung
- Wakil Ketua Komite Pariwisata Lampung

Di Lampung, nama Anshori Djausal dikenal luas sebagai tokoh yang memiliki banyak pengaruh. Itu disebabkan, selain sebagai dosen dan arsitek, ia dikenal pula sebagai pemerhati lingkungan yang menghasilkan banyak capaian atau prestasi.

OLEH YULVIANUS HARJONO

Sebagian besar capaiannya itu kini menjadi ikon baru dan kebanggaan masyarakat, khususnya di Lampung.Salah satunya adalah Menara Siger di Bakauheni, Lampung. Menara tersebut berdiri megah di atas perbukitan di Bakauheni dengan tulisan besar "Lampung", bangunan merah kuning mencolok berbentuk mahkota siger (aksesori adat Lampung). Menara yang di desain Anshori dan dibangun tahun 2005 ini dikenal pula sebagai titik nol Sumatera.
Pembangunan menara yang diprakarsai Gubernur lampung Sjachroedin ZP itu merupakan manifestasi dari keahlian khas Anshori di bidang ferosemen. Lewat teknik yang unik ini, bangunan besar seperti Menara Siger tidak menggunakan fondasi beton bertulang yang mahal, tetapi tetap kuat menahan guncangan dan terpaan angin laut yang kencang.
Teknik ferosemen menggantikan struktur beton bertulang dengan jaringan kawat-kawat dengan campuran air, semen, dan besi.Selain indah, teknik arsitektur ini diklaim mampu menekan anggaran hingga 45 persen dibandingkan dengan menggunakan beton bertulang konvensional.
"Ini merupakan teknologi alternatif (arsitektur) yang ekonomis, tetapi memiliki ketahanan dari pukulan yang tidak kalah dari beton. Ini bisa diaplikasikan luas untuk perahu, vas bunga, bahkan robotika. Sayangnya, di Indonesia belum populer," tutur Anshori, yang juga anggota Perhimpunan Ahli Ferosemen Internasional (IFS).
Jauh sebelum mengarsiteki Menara Siger, pada kurun 1990-an, Anshori telah menerapkan teknik ferosemen dalam kehidupan nelayan di Pangandaran, Jawa Barat. Ia membantu nelayan membuat kapal hemat biaya dan tahan pelapukan berkat teknik ferosemen.

Layang-layang

Di sela-sela jadwal kegiatan yang padat sebagai pengajar di Fakultas Teknik Universitas Lampung (Unila) dan Staf Ahli Gubernur Lampung, Anshori hobi bermain layang-layang dan mengumpulkan berbagai tanaman untuk melengkapi koleksi di taman botani mininya di Kemiling, Bandar Lampung.
Hobinya yang ditekuni puluhan tahun ini ternyata juga turut mengharumkan nama Lampung. Sebagian koleksi layang-layangnya kini tersimpan di salah satu museum di Australia sebagai koleksi unik. Salah satu layang-layang koleksinya tersebut diadaptasi dari layang-layang pemancing ikan yang biasa digunakan nelayan tradisional di Lempasing, Lampung.
Melalui benda terbang itu, mantan Ketua Persatuan Layang-layang Indonesia ini ingin mengenalkan luas potensi pariwisata di Lampung, tanah kelahirannya. Untuk itu, sejak tahun 1991, ia rutin menyelenggarakan Festival Layang-layang di Lampung.
Dari kegiatan itu, Anshori lalu memelopori aerial kite fotografi (foto dari udara). Ini dilakukannya sejak tahun 1993, jauh sebelum fotografi udara melalui aeromodelling menjadi tren saat ini. Selain lebih murah dari menyewa helikopter, teknik fotografi ini menghasilkan angle foto yang unik dan lebih luas.
teknik tersebut dipergunakannya pula ketika terjadi musibah tsunami di Aceh tahun 2004. Dari hasil jepretannya melalui layang-layang kesayangannya, didapatkan potret yang utuh mengenai dampak kerusakan pesisir Aceh akibat tsunami.
Saat ini, terinspirasi dari ide Anshori, Fakultas Teknik Unila mengembangkan riset wahana tanpa awak (UAV) yang bermanfaat dalam pembuatan peta lanskap-topografi, khususnya di bidang agroindustri.

Taman kupu-kupu

Berangkat dari hobi pula, lahan seluas 4,6 hektar di kaki Gunung Betung, Lampung, yang dikelolanya bersama istrinya Herawati Soekardi, yang juga dosen Unila, saat ini menjelma sebagai ikon pariwisata baru di Lampung.
Lahan yang akhir 1990-an kondisinya gundul akibat perambahan hutan yang masif kini justru memiliki identitas baru, yakni Taman Kupu-kupu Gita Persada. Sesuai dengan namanya, tempat itu kini jadi "surga" kupu-kupu sekaligus arboretum mini.
Awalnya hanya ada tujuh spesies kupu-kupu di sini. Sekarang keragamannya terus meningkat. Jumlah spesies kupu-kupunya sudah mencapai 160 spesies. Bahkan, ada spesies kupu-kupu langka, yakni Graphium agamemnon dan Troides helena.
Meskipun tidak sebesar Taman Kupu-kupu Bantimurung di Sulawesi Selatan, taman itu menjadi langganan kunjungan siswa, mahasiswa, dan pejabat Kementerian Kehutanan. Taman tersebut merupakan bukti otentik suksesnya rehabilitasi lahan kritis serta konservasi.
"Taman itu membuktikan, jika lingkungannya berhasil diperbaiki, tanaman pun tumbuh kembali. Dengan sendirinya, ekosistem kembali hidup. Kupu-kupu datang kembali," ujarnya.
Ia menambahkan, "menyulap" lahan kritis menjadi sebuah taman kupu-kupu tidak perlu biaya mahal. Tidak perlu dana lebih untuk pakan atau reboisasi besar-besaran. Kuncinya adalah menghijaukan kembali kawasan dan membuat keragaman tanaman yang berfungsi sebagai tempat berkembang biak larva kupu-kupu.
Setiap kali bepergian ke suatu daerah, Anshori tak lupa membawa pulang bibit-bibit tanaman khas untuk ditanam di taman yang dikelolanya, kemudian, istrinya yang ahli biologi membuat program penangkaran kupu-kupu. Sebagian dari gajinya dan gaji istrinya sebagai dosen digunakan untuk membiayai perawatan taman, termasuk membuat bangunan rumah kayu dan petilasan di tempat itu.
"Asal ada kemauan untuk memulai, membuat program terarah dan melakukannya serius sepenuh hati hasilnya akan terlihat (baik). Kalau tidak dimulai, tidak akan pernah ada hasil," ujar Anshori.
Atas capaian yang dibuat di taman kupu-kupu, Yayasan Sahabat Alam yang didirikannya bersama istrinya dipercaya pula untuk mengelola 174 hektar kawasan Tahura Wan Abdul Rachman lewat pendekatan konservasi ekowisata.
Anshori yang juga konsultan World Wide Fund for Nature (WWF) berharap, ke depan Lampung tidak lagi dikenal sebagai daerah yang masyarakatnya "hobi"  merusak hutan, tetapi memiliki semangat baru meestarikannya, seperti yang telah ditunjukannya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 12 SEPTEMBER 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar