Selasa, 06 September 2011

Suta Suntana : Guru Organik dari Subang


SUTA  SUNTANA

Lahir : Subang, Jawa Barat, 11 April 1947
Istri : Titi Turasih (53)
Anak :
- Opik Taupik (37)
- Enung Kusmiyani (32)
Pendidikan :
- Sekolah rakyat di Saradan, Subang, 1961
- SMP Rancaekek Bandung, 1964
Pekerjaan : Petani
Organisasi :
- Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kecamatan Cipunagara, 2005-kini
- Ketua Kelompok Tani MekarSari, 2000-kini
- Ketua Gabungan Kelompok Tani Jati Jaya, 2004-kini
- Ketua Asosiasi Pupuk Organik Subang, 2005-kini
Penghargaan :
- Petani berprestasi dari Kementerian Pertanian, 2007

Suta Santana (64) bukan sarjana pertanian. Dia juga bukan petani bermodal besar. namun, totalitasnya pada pertanian telah menginspirasi dan menghidupi keluarga petani lain, sekaligus mengantarkannya menjadi petani berprestasi.

OLEH MUKHAMAD KURNIAWAN

Di salah satu sudut lahan seluas 7.000 meter persegi di Desa Jati, Kecamatan Cipunagara, Subang, Jawa Barat, tepat di seberang rumahnya, Suta mengelola "sekolah" petani bernama Pusat Kompos Subang. Di sinilah dia membagi pengalaman, pengetahuan, dan peluang usaha secara sukarela kepada siapa saja yang datang.
Lahir dari keluarga sederhana, putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan Emod dan Edah (almarhum) ini adalah sosok yang berusaha total pada setiap pekerjaan. Ia tak pelit membagi ilmu dan peluang. Prinsipnya, rezeki sudah diatur Tuhan dan berbagi ilmu membuat dia "kaya".
Sempat menjadi kuli di perusahaan penggilingan padi, Suta memberanikan diri mengelola usaha serupa pada 1978. Modal Rp 1,2 juta hasil menabung selama bertahun-tahun dipakainya untuk menyewa mesin dan gudang penggilingan padi di Sagalaherang, Subang.
Demi mengefisienkan kerja penggilingan, Suta mempelajari seluk-beluk mesin, memperbaiki sistem pembukuan, dan "mengelola" pelanggan. Hasilnya, ia mampu membeli mesin giling dan gudang pada 1980. ia juga menangkap peluang dari banyaknya sekam sisa penggilingan padi karena hampir setiap pengusaha kesulitan membuangnya.
Dari hasil konsultasi dan survei, Suta lalu membakar sekam untuk dijadikan media tanam. Sebagai sentra padi dengan banyak penggilingan, Subang memproduksi banyak sekam, tetapi belum banyak yang memanfaatkan.
Padahal, di sentra-sentra bunga, tanaman hias, dan holtikultura, seperti Lembang (Bandung), Parung (Bogor), dan Cianjur, arang sekam dibutuhkan sebagai media tanam. Produk itu juga dipakai dalam proses pemurnian air.

Arang sekam

Semakin lama semakin banyak pembudidaya tanaman hias dari luar kota yang membeli arang sekam produksi Suta, bahkan dari Lampung dan Gorontalo. Sebanyak 5.000-10.000 karung arang sekam senilai puluhan juta rupiah, dia produksi dan dikirimkan ke pelanggan sekali dalam 4-6 bulan, sesuai periode tanam padi.
Akan tetapi, bukannya mempertahankan posisi sebagai produsen, Suta justru membagi "resep" dan teknik produksi arang sekam kepada pelanggannya, terutama mereka yang berasal dari luar Pulau Jawa.
"Dengan tahu caranya, mereka bisa mmeproduksi sendiri, tak usah repot datang ke Jawa karena biayanya mahal. Untuk ongkos angkut saja Rp 6.000-Rp 8.000 per kilogram (kg) arang sekam.Padahal, ketika itu ongkos produksi hanya Rp 4.000 per kg," ujarnya.
Dengan membagi teknik produksi, ia justru kebanjiran pesanan. Suta menyebutnya berkah. Pada 1990-1992, seorang eksportir memesan arang sekam sebanyak 40-50 ton per musim padi untuk dikirim ke Korea Selatan. Dengan pesanan itu, ia membagi pekerjaan dengan puluhan petani yang tersebar di Subang dan Indramayu.
Suta berkeliling mendatangi kelompok-kelompok tani untuk menyebarkan teknik pembuatan arang sekam mulai dari pemilihan sekam, sumber air pencucian, cara pembakaran dan penyimpanan. Ia juga mengawasi proses produksi dan mengecek hasilnya untuk memastikan kualitas arang yang akan diekspor.
Usaha pembuatan arang sekam pun marak di kedua kabupaten itu. Banyak warga lalu menggantungkan pendapatan dari usaha arang sekam. Sekam sisa penggilingan padi yang dulu gratis kini dijual Rp 1.000 per karung ukuran 15-20 kg. Pada saat tertentu, sekam bahkan sulit didapat karena tingginya permintaan.

Organik

Suta tak berhenti bereksperimen. Setelah sukses dengan penggilingan padi dan arang sekam, ia coba memproduksi pupuk organik. Dia lalu mendatangi dinas pertanian dan ahli pupuk untuk mempelajari teknik pembuatannya.
Ketekunan dan kerja keras membuahkan hasil yang baik. Pupuk organik produksi Suta dan kelompoknya dinilai unggul. Pada 2008, kelompok tani Mekar Sari yang dipimpin Suta ditunjuk Dinas Pertanian Jawa Barat menjadi pemasok 470 ton pupuk organik untuk mendukung program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanah Terpadu se-Jawa Barat tahun 2008.
Program tersebut berlanjut dan tahun ini Mekar Sari memproduksi lebih dari 100 ton. Kepercayaan dari pemerintah itu membuat sejumlah petani tertarik belajar kepada Suta.
Dengan difasilitasi Pemerintah Kabupaten Subang, Suta menyebarluaskan teknik pembuatan pupuk organik secara luas. Selain berkeliling ke kelompok-kelompok tani, ia juga melayani konsultasi dan kerja sama terkait dengan pupuk organik.
Pada 2005, bersama kelompok tani dan produsen pupuk organik, Suta membidani pembentukan Asosiasi Pupuk Organik Subang. Organisasi ini lalu membentuk Pusat Kompos Subang yang bergerak di bidang pelatihan dan pendampingan petani. Lembaga ini pula yang menjadi semacam sekolah bagi petani, mahasiswa, dan peneliti pertanian.
Sambil terus mengembangkan komposisi pupuk organik, Suta merintis teknik budidaya padi organik sejak 2004. Berawal dari 1,5 hektar sawahnya, pola organik ini berkembang menjadi 50 hektar. Sebagian besar petani yang mengikuti jejaknya adalah anggota Mekar Sari yang mengelola 66 hektar sawah.
Ia tak memaksa anggota Mekar Sari beralih pada pertanian organik. Namun, kemajuan yang dia alami menarik petani lain untuk mencoba. Sebab ongkos produksi berkurang dan harga jual beras lebih mahal. Produktivitas lahan pun membaik, dari 3,5 ton gabah kering panen (GKP) pada awal uji coba menjadi 6 ton GKP pada musim tanam lalu.
"Selain menggunakan pupuk organik, Suta dan kelompoknya juga mengembangkan pestisida nabati. Secara rutin Mekar Sari mengirim contoh beras ke Laboratorium Kimia Agro Lembang untuk mengetahui kandungannya dan ke Kementerian Pertanian guna sertifikasi.
Mekar Sari memproduksi 35 ton beras organik yang dijual Rp 10.000 per kg, lebih mahal dari harga beras umumnya di Subang yang Rp 7.200 hingga Rp 7.500 per kg. Dengan label "Beras Sehat Mekar Sari", beras ini dipasrakan di Subang, Bandung, dan Jakarta.
Meski bukan tujuan, kerja keras Suta mendapat penghargaan. Pada 2007, ia mendapat penghargaan dari Menteri Pertanian sebagai petani berprestasi.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 7 SEPTEMBER 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar