MADROJI
Lahir : Mangkauk, 31 Desember 1958
Istri : Sumriah (44)
Anak :
- Siti Rohmah
- Mohofi
- Ridoi
- Subainah
- Syaifudin
- Norhofifah
- Mahfud
- Aliansyah
Sekolah : SD, Kejar Paket C dan B
Penghargaan :
- Piagam Kader Usaha Tani Menetap Tingkat Nasional dari Menteri Kehutanan
dan Perkebunan (1999)
- Piagam dari Bupati Banjar pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup (2010)
- Diusulkan memperoleh Kalpataru oleh pemerintah kabupaten tahun 2011
Seperempat abad silam, daerah sekitar Desa Mangkauk, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, meranggas. Yang tersisa hanya semak belukar akibat pepohonan habis dibabat untuk ladang berpindah. Atas inisiatif Madroji yang memelopori pertanian lahan tetap dengan sistem terasering dan melakukan penghijauan, alam yang sebelumnya kritis berubah teduh dan hijau.
OLEH DEFRI WERDIONO
Pepohonan besar, seperti sengon, angsana, mahoni, ketapang, jabon, karet, dan jati, kini menghiasi daerah itu. Di sekitar tempat tinggal Madroji (53), misalnya, terdapat pohon-pohon jati berumur enam tahun yang ditanam rapi berjajar atau pepohonan karet yang telah sekian kali disadap dan memberikan keuntungan bagi pemiliknya.
Sebuah bukit berjarak sekitar 2 kilometer yang dulu gundul, saat ini juga telah menghijau kembali. Bahkan, mata air di dalamnya bertambah dari sebelumnya hanya tiga buah menjadi 27 buah setelah dilakukan penggalian. Air dari bukit kemudian disalurkan ke perumahan warga menggunakan pipa paralon kecil. Sekarang air baru dinikmati 50-an rumah tangga. Rencananya, saluran pipa akan diperbanyak, tetapi masih terkendala keterbatasan biaya.
Rumah Madroji sendiri tidak berbeda jauh dengan rumah warga lain, terbuat dari kayu dan berbentuk panggung. Di belakang rumah terdapat lahan pembibitan sekitar1,5 hektar lengkap dengan media pembuatan pupuk organik. Di sebelah tempat pembibitan terdapat bangunan kecil yang dimanfaatkan sebagai Sekretariat Kelompok tani Alam Subur yang berdiri sejak 1990.
Di sisi sekretariat kelompok tani terdapat kandang ternak kecil yang dilengkapi peralatan pembuatan biogas bantuan dari badan lingkungan hidup (BLH) setempat. Perangkat yang dipasang beberapa pekan lalu itu sudah dinikmati untuk memasak.
Perlu usaha keras
Menurut Madroji, diperlukan usaha keras untuk bisa seperti sekarang. Sebelum 1990, bapak sembilan anak (salah satunya meninggal) ini masih berprofesi sebagai petani biasa yang bercocok tanam dengan cara ladang berpindah. Ketika suatu lahan tidak bisa ditanami akibat kesuburannya berkurang, petani akan berpindah ke lahan lain. Begitu seterusnya.
Jenuh dengan kondisi itu, ia kemudian berinisiatif menetap di salah satu lahan, seperti yang sudah dilakukan beberapa orang lain. Karena daerah Mangkauk, Kecamatan Pengaron, Kabupaten banjar, Kalimantan Selatan, merupakan wilayah pegunungan, lahan baru yang dibeli madroji pun memiliki kontur tidak rata dan miring.
Tidak mudah menaklukkan tanah yang permukaannya seperti itu. Apalagi ada keinginan agar kondisi lahan tetap subur dan terbebas dari erosi. Akhirnya, pria lulusan sekolah dasar ini pun membuat terasering pada lahan. Keberadaan terasering inilah yang kemudian membedakan cara bertani Madroji dengan petani lain.
Komoditas yang ditanam saat itu adalah padi dan jagung dengan air mengandalkan dari hujan. "Alasan membuat teras, terutama terasering, dengan maksud untuk mengantisipasi erosi dan mempertahankan kesuburan tanah. Bagaimanapun saya berniat tidak lagi melakukan ladang berpindah. Jadi, kesuburan tanah mutlak dipertahankan," ucapnya.
Awalnya, metode terasering ini dicemooh warg. Mereka ragu yang dikerjakan Madroji akan membuahkan hasil. Tanpa memedulikan cemoohan itu, Madroji terus berusaha hingga akhirnya mulai mendapat perhatian. Pada 1991, ia dipanggil oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar untuk mengikuti pelatihan soal konservasi lahan di Sidoarjo, JAwa Timur, selama lima hari.
Diikuti warga
Setahun kemudian, ia dikirim untuk mengikuti pelatihan serupa di Bogor, Jawa Barat, selama sepekan. Teori yang diperoleh dari pelatihan itu memperkaya pengetahuannya tentang pengolahan lahan kering. Ia pun akhirnya mengenal baik jenis teras yang lain, seperti teras individu dan teras bangku berikut cara pembuatannya.
Teras-teras itu pun diaplikasikan pada tanah dan jenis tanaman berbeda. Teras individu dimanfaatkan untuk menanam pepohonan besar pada lahan yang kemiringannya di atas 45 derajat, teras bangku untuk lahan yang kemiringannya 10-15 derajat, dan terasering sendiri untuk tanaman pangan di lahan yang kemiringannya kurang dari 45 derajat.
"Seiring waktu, model terasering banyak diikuti warga lain. Saya sendiri berusaha mengajarkan kepada mereka bagaimana cara membuatnya," tutur Madroji yang mengaku tidak pernah meminta imbalan atas jasanya tersebut.
Tidak hanya memelopori terasering, pada 1994 Madroji bersama kelompok lainnya juga melakukan penghijauan (reboisasi) secara swadaya di lahan masyarakat. Bibit pohon berasal dari pemerintah, ia hanya menanggung bibit kekurangannya karena sebagian warga di pelosok biasanya tidak kebagian bantuan bibit dari pusat.
Tercatat ada 20.000 bibit yang ditanam pada tahun pertama reboisasi, seperti mahoni, sengon, dan jati. Jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Catatan BLH Kabupaten Banjar, luas reboisasi yang telah mereka lakukan mencapai 208 hektar. Madroji pun dikenal sebagai pelestari keanekaragaman hayati lantaran mempertahankan sejumlah bibit tanaman yang dianggap langka.
Setelah hampir 10 tahun melakukan reboisasi swadaya bersama kelompok tani dan mampu menaklukkan tanah kering dengan cara terasering, akhirnya pada 2004 ia mulai dilirik perusahaan tambang batubara yang banyak terdapat di tempat itu. Setiap tahun, ada dua-tiga perusahaan yang meminta bantuannya guna mereklamasi bekas galian.
Seperti pada lahan umumnya, ia pun kerap menggunakan sistem terasering di lahan bekas tambang dan tentu saja ditambah perlakuan khusus untuk "menjinakkan" sisa batubara. Sudah ada sekitar 400 hektar bekas tambang yang direklamasi oleh perusahaan bersama Madroji.
Meski sudah dilirik perusahaan tambang, pekerjaannya sebagai ketua kelompok tani tetap ia jalankan. Jabatan sebagai penyuluh kehutanan swadaya yang diberikan pemerintah daerah pada 2005 terus ia laksanakan. Dia tetap memberikan penyuluhan kepada petani dan warga yang tinggal di sekitar hutan.
Ia juga kerap mengikuti berbagai kegiatan yang bersifat penyuluhan. Atas jasanya ini, pada 2011 dia menjadi salah satu dari dua warga Kalimantan Selatan yang diajukan oleh pemerintah daerah untuk mendapatkan penghargaan Kalpataru.
Dikutip dari KOMPAS, RABU, 14 SEPTEMBER 2011
Setelah hampir 10 tahun melakukan reboisasi swadaya bersama kelompok tani dan mampu menaklukkan tanah kering dengan cara terasering, akhirnya pada 2004 ia mulai dilirik perusahaan tambang batubara yang banyak terdapat di tempat itu. Setiap tahun, ada dua-tiga perusahaan yang meminta bantuannya guna mereklamasi bekas galian.
Seperti pada lahan umumnya, ia pun kerap menggunakan sistem terasering di lahan bekas tambang dan tentu saja ditambah perlakuan khusus untuk "menjinakkan" sisa batubara. Sudah ada sekitar 400 hektar bekas tambang yang direklamasi oleh perusahaan bersama Madroji.
Meski sudah dilirik perusahaan tambang, pekerjaannya sebagai ketua kelompok tani tetap ia jalankan. Jabatan sebagai penyuluh kehutanan swadaya yang diberikan pemerintah daerah pada 2005 terus ia laksanakan. Dia tetap memberikan penyuluhan kepada petani dan warga yang tinggal di sekitar hutan.
Ia juga kerap mengikuti berbagai kegiatan yang bersifat penyuluhan. Atas jasanya ini, pada 2011 dia menjadi salah satu dari dua warga Kalimantan Selatan yang diajukan oleh pemerintah daerah untuk mendapatkan penghargaan Kalpataru.
Dikutip dari KOMPAS, RABU, 14 SEPTEMBER 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar