Senin, 05 September 2011

Idham : Pergulatan Susun Kamus Bahasa Mandar


IDHAM KHALID BODI

Lahir : Lita, Polewali Mandar, 31 Desember 1973
Orangtua : H Bodi (ayah) dan Djamalia (ibu)
Istri : Ulfiani Rahman (36)
Anak : Naurah Fakhirah (3)
Pendidikan :
- S-1 Jurusan Bhs Arab, Fakultas Tarbiyah, IAIN Sultan Alaudin Makassar (1992-1997)
- S-2 Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Makassar (1998-2000)
- S-3 Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Makassar (2007-2009)
Pekerjaan :
- Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama di Makassar
(2005-sekarang)
Buku, antara lain :
- Mandar Pura Mai (berisi adat dan petuah Mandar masa silam) 1995
- Koroang Malaqbiq :Terjemahan Al Qur'an dalam Bahasa Mandar (2005)
- Sibaliparri :Gender dalam Masyarakat Mandar (2005)
- Local Wisdom : Untaian Mutiara Hikmah dari Mandar (2007)
- Lipa'sa'be Mandar: Tenunan Sutera Mandar (2009)

Pergulatan Idham Khalid Bodi (37) dalam dunia penelitian selama hampir dua dekade menghasilkan "Kamus Besar Bahasa Mandar-Indonesia". Ia masuk keluar pelosok Sulawesi Barat untuk memperbarui kamus Mandar yang terakhir kali dibuat 34 tahun silam. Bahasa ibu diterjemahkannya demi kelangsungan budaya Mandar.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP

Idham lebih dari sekadar peneliti. Sejak masih kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Alaudin, tahun 1992, ia telah menulis lebih dari 20 buku tentang Mandar. Kamus Besar Bahasa Mandar-Indonesia yang diterbitkan Zada Haniva tahun lalu menjadi puncak kepeduliannya terhadap budaya suku yang berdiam di daerah pesisir barat Sulawesi itu.
Mandar merupakan salah satu etnis di Sulawesi Selatan selain Bugis, Makassar, dan Toraja. Namun, suku Mandar terpisah dari ketiga etnis itu seiring berdirinya Provinsi Sulawesi Barat tahun 2005. Orang Mandar mendiami pesisir Sulbar mulai dari Polewali Mandar, Majene, hingga Mamuju.
Inisiatif menyusun kamus tak lepas dari keprihatinan Idham terhadap generasi mud Mandar yang kurang pedui terhadap bahasa ibu sendiri. Idham juga miris dengan minimnya kamus bahasa Mandar.
Kamus besar yang disusun Idham merupakan kamus bahasa Mandar ketiga.Kamus pertama berjudul Kamus Sederhana Bahasa Mandar-Indonesia yang disusun Ahmad Sahur, terbitan Ikatan Keluarga Wanita Polemaju Mandar, tahun 1975. Dua tahun kemudian, Abdul Muthalib, sesepuh masyarakat Mandar, menyusun Kamus Bahasa Mandar-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun, kedua kamus tersebut masih sangat sederhana karena jumlah suku kata dan halaman yang sedikit. Kamus pertama hanya 126 halaman, sedangkan kamus kedua 205 halaman. Setelah "terlelap" dari tidur panjang, Idham menyempurnakannya lewat kamus setebal 462 halaman yang berisi ribuan lebih banyak suku kata berikut contoh penerapan dalam kalimat.
kamus ini merupakan hasil perjuangan Idham mengumpulkan kata demi kata saat menjelajahi pelosok Sulbar sejak pertengahan tahun 1990. Upaya itu dilakukan saat putra pasangan H Bodi (60) dan Djamalia (55) mengadakan riset untuk pembuatan tesis. Kala itu Idham menelaah tentang "Sibaliparri" atau kerja sama suami dan istri kepada masyarakat nelayan di Desa Pantai Kenje Campalagian, Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas).

Kata demi kata

Kebetulan pula saat itu Idham dipercaya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk memantau program pengembangan kecamatan di Polmas. Selama dua tahun mengemban tugas tersebut, dia mengunjungi separuh lebih dari 200 desa di Polmas.
"Saya gunakan kesempatan ituuntuk mencatat kata demi kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Ya, sambil menyelam minum air," ungkap putra ke-3 dari tujuh bersaudara itu. Aktivitas mencatat kata demi kata itu juga dilakukannya saat mengunjungi kabupaten lain di pesisir Sulbar; seperti Majene, Mamuju, dan mamuju Utara.
Idham pun menyempatkan diri berkunjung ke Mamasa, satu-satunya kabupaten di Sulbar yang berlokasi di dataran tinggi. Tinjauan lapangan ke seluruh wilayah Sulbar dibutuhkan mengingat beragamnya bahasa dalam subetnis Mandar.
Dalam konteks geografis, Mandar merupakan gugusan wilayah yang merupakan eks persekutuan kerajaan-kerajaan di Pitu ulluna Salu (tujuh kerajaan di hulu atau laut) dan Pitu Baqbana Binanga (tujuh kerajaan di muara atau pegunungan).
Menurut Idham, Balanipa adalah kerajaan terbesar dari 14 kerajaan tersebut. Itulah mengapa ia menggunakan bahasa Mandar Balanipa dalam kamus yang disusunnya.
"Saya memilih bahasa Balanipa yang lebih dikenal orang Mandar pada umumnya. Kalau seluruh bahasa Mandar diakomodasi justru akan membingungkan," ujarnya.
Dari pengalaman, Idham menyadari penyusunan kamus tak hanya membutuhkan pengetahuan yang luas, tetapi juga kesabaran dan kegigihan yang mendalam. Ia pun lantas berguru dengan Abdul Muthalib yang sempat mengenyam Leksikografi 9ilmu menyusun kamus).
Lewat bimbingan Muthalib, proses penyusunan kamus berjalan lancar. Idham semakin menguasai kiat-kiat menyusun kamus yang disertai berbagai kelengkapan, seperti ejaan, bunyi dan cara mengucapkan, tekanan kata, serta afiksasi atau imbuhan. Namun, penyusunan kamus sempat terhenti seiring kesibukan Idham sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama di Makassar pada tahun 2005.
Target 3-4 laporan penelitian dalam setahun membuat pencipta logo Provinsi Sulbar ini harus secara rutin pergi ke berbagai pelosok di wilayah Indonesia timur setiap tiga bulan. Waktu Idham semakin tersita ketika pada tahun yang sama ia diminta Prof Dr Ahmad Sewang, Ketua tim penerjemahan dan penerbitan Al Quran, untuk menerjemahkan kitab suci agama Islam itu dalam bahasa Mandar.
Hasil terjemahan itu hingga kini menjadi satu-satunya Al Quran dalam bahasa daerah yang diterbitkan Maktabah al Mashahif Mujamma' Malik Fahd milik kerajaan Arab Saudi di Madinah pada tahun 2005. Al Quran yang dicetak 20.000 eksemplar itu menjadi salah satu koleksi disejumlah masjid di Madinah dan dibagikan kepada jemaah haji dari Tanah Air.
Hingga kini Idham telah menelurkan lebih dari 20 buku dan 15 laporan penelitian. Seolah melengkapi penguasaannya akan budaya Mandar, ia saat ini tengah merampungkan buku tentang konsep Mala'bi', konsep perilaku dan tutur kata ideal orang Mandar.
"Maraknya kasus korupsi dan kekerasan menunjukkan banyak masyarakat yang melupakan kearifan lokal, termasuk orang Mandar," kata lelaki yang belum lama ini meneliti penyebaran agama Islam di Buton dan Tidore ini.
Berbagai karya tersebut menjadi modal berharga bagi generasi muda yang ingin mnegenal lebih jauh tetang budaya Mandar. Selama ini kebudayaan Mandar yang bersandar pada tradisi lisan nyaris punah karena hanya dipahami segelintir masyarakat yang sudah tua.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 6 SEPTEMBER 2011

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum...
    boleh minta tolong contact number pak idham.?

    BalasHapus